Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Tulisan ini dimuat di Radar Lampung, edisi Kamis 30 Agustus 2012
Kemiskinan menjadi “musuh utama” bangsa ini. Ia harus dikutuk agar tidak menjadi penyakit yang terus mendera bangsa ini. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Jadi, pemecahannya pun harus terkait dan juga komprehensif dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Lebih jauh kemiskinan menjadi bukan sekadar masalah ekonomi tetapi masalah kemanusiaan. Hampir semua negara menghadapi masalah ini. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan negara kaya namun masih menghadapi masalah kemiskinan.
Disisi lain, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, kemiskinan merupakan masalah terberat yang harus dihadapi. Kemiskinan seakan sudah menjadi bagian dari takdir manusia. Namun menurut Muhammad Yunus (Penerima hadiah nobel perdamaian tahun 2006) yang ditulis dalam bukunya yang berjudul creating a world without poverty menjelaskan bahwa dunia bebas dari kemiskinan itu tidaklah mustahil. Kemiskinan bukan diciptakan oleh masyarakat miskin tapi diciptakan oleh sistem yang ada di masyarakat. Namun apabila kita semua tidak peduli terhadap kemiskinan berarti kita juga menjadi bagian dari sistem yang menciptakan kemiskinan itu sendiri.
Kemiskinan adalah sebuah topik yang dibicarakan hampir diseluruh dunia. kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat.
Pemerintah Stagnan
Diakui atau tidak, selama ini pemerintah tidak pernah bisa menuntaskan masalah pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, sehingga tak bisa mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai justru hanya memperlebar kesenjangan di kalangan masyarakat. Kondisi ini timbul akibat kebijakan ekonomi pemerintah yang justru mendorong penurunan kinerja sektor produktif, seperti pertanian dan industri.
Selama ini, kebijakan ekonomi pemerintah mengarah pada “liberalisasi” seluas-luasnya dan mengagungkan perdagangan bebas sehingga terjadi kontradiksi dengan upaya penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan pengentasan kemiskinan. Yang ada justru kerentanan terjadinya deindustrialisasi dan penurunan produktivitas sektor pertanian, karena skema perdagangan bebas yang secara membabi buta dijalankan pemerintah.
Klaim pemerintah terkait dengan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran tidak seluruhnya sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bahkan, data-data itu terbantah sendiri oleh pemerintah dengan pengalokasian anggaran subsidi untuk masyarakat. Yang ada, masyarakat harus membayar mahal untuk mendapatkan energi dan pangan. Permasalahan ini selalu datang dan tidak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah. Program pengentasan pengangguran dan kemiskinan tidak pernah berjalan efektif. Hanya menjadi “jargon atau retorika” pemerintah untuk menarik simpati masyarakat. Masyarakat juga tahu, tidak ada kemajuan yang dirasakan sesuai apa yang dikatakan pemerintah.
Setengah Hati
Pemerintah hanya bisa mengatakan berupaya menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan serta menggenjot pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya bekerja minimalis. Tak ada upaya ekstra yang terlaksana dengan baik dari pemerintah sehingga angka pengangguran dan kemiskinan bisa benar-benar turun. Pemerintah masih setengah hati dalam menuntaskan kemiskinan dan pengangguran di negeri ini.
Pemerintah menganggap jika masyarakat dalam satu hari bisa mengeluarkan uang Rp 8.000 per hari untuk belanja, maka tidak masuk kategori miskin. Sedangkan ukuran untuk pengangguran, digunakan bagi warga yang benar-benar tidak bekerja sama sekali. Jika masyarakat bekerja satu jam saja dalam sepekan, pemerintah tidak menganggap mereka sebagai penganggur. Ini metode pengukuran tentang pengangguran dan kemiskinan yang sudah tidak layak lagi dan memang harus diubah. Namun, dari ukuran ini, pemerintah memang selalu menyebutkan angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia terus menurun.
Bahkan, fokus kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang diusung pemerintah, sebagian besar keluar dari yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya, liberalisasi perdagangan dan sektor lainnya serta penguasaan kekayaan alam untuk kepentingan golongan tertentu dan bukan untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, liberalisasi perdagangan yang dijalankan Indonesia hanya membawa kerugian.
Pasar Indonesia yang besar seharusnya bisa dioptimalkan oleh pemerintah untuk industri serta pelaku usaha di dalam negeri. Namun, kenyataannya malah harus diacak-acak negara lain melalui produk impor. Demikian pula dengan komoditas pertanian. Sektor pertanian dan industri kita harus terus berjibaku berkompetisi dengan produk impor yang banyak mendapat subsidi dan fasilitasi dari pemerintahnya.
Jika melihat kondisi yang ada saat ini, maka perlindungan apa yang diberikan pemerintah untuk bangsa dan rakyatnya. Bahkan, pemerintah justru menyerahkan nasib bangsa dan rakyatnya ke tangan asing pemilik modal yang kian menggurita menguasai sektor ekonomi yang penting di Indonesia, termasuk sektor energi dan pangan.
Sementara itu, fokus dan keseriusan pemerintah dalam pembangunan ekonomi nasional tidak terlihat jelas. Struktur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang tidak pernah mendetail untuk pembangunan perekonomian nasional serta penggunaan APBN yang hanya untuk kepentingan-kepentingan golongan, membuat dana ribuan triliun rupiah sia-sia. Artinya, tidak berdampak positif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebagian besar masyarakat tidak mendapatkan banyak manfaat dari anggaran negara yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini. Yang menikmati hanya seseorang atau satu golongan yang bisa memanfaatkan uang dari APBN melalui proyek-proyek fiktif. Tapi, apakah proyek itu berkualitas dan memang untuk pembangunan perekonomian nasional, tentu tidak. Selain itu, pilihan untuk memasukkan barang-barang impor, mulai dari pangan hingga bahan baku ke Indonesia dibandingkan dengan meningkatkan produksi atau memperkuat industri dalam negeri, memang mencerminkan pilihan pemerintah yang menganut liberalisasi. Padahal, dampak negatifnya berupa banyaknya penganggur dan angka kemiskinan, termasuk banyaknya industri yang tutup karena kalah bersaing dengan produk impor, sudah terlihat. Wallahu a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment