Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 12 August 2012

CERPEN; "WASIAT SANG GURU"

WASIAT SANG GURU

Oleh; Hamidulloh Ibda

Dahulu kala, di sebuah perkampungan terpencil di Kabupaten Pati, hidup seorang kiayi di pesantren bersama santri-santrinya. Pesantren tersebut bernama Al-Hamidiyyah, yang terletak di tepi sungai. Mereka hidup damai dan rukun bersama santri-santrinya. Santrinya tersebut berasal dari berbagai daerah termasuk luar Jawa.
Pada suatu hari, ada seorang santri baru yang datang dari kota bernama Mat Ngajo. Dia ingin menuntut ilmu agama Islam yang kelak bisa berguna di hari tua, karena bapaknya juga seorang kiai ditempatnya. Namun, dia masih bingung mau mondok ngaji dimana.
Setelah lama berfikir dan mencari pondok pesantren yang cocok, akhirnya ada seseorang yang memberikan informasi tentang ponpes yaitu Al-Hamidiyah. Akhirnya, tanpa berfikir panjang Mat Ngajo langsung bilang kepada bapak dan ibunya untuk menuntut ilmu di ponpes tersebut. Orang tua Mat Ngajo pun menyetujui untuk mondok di ponpes itu. Akhirnya, dia pamitan dan pergi berhijrah untuk menuntut ilmu di ponpes tersebut.
Awal Maret 2010, sampailah Mat Ngajo di ponpes tersebut. Ia terlihat gagap dan terkesima melihat keadaan dan situasi pondok yang agak kumuh dan kurang nyaman baginya. Wajar saja dia biasa hidup mewah di kota.
Hari pertama dia menghadap pada kiai dengan wajah yang agak takut dan kalem, sambil memperkenalkan diri kepada sang kiai, “saya Mat Ngajo romo yai”, oh iya saya Ahmad Alimun Al-Hamid, jawab romo yai.
Ahmad Alimun Al-Hamid merupakan pengasuh ponpes Al-Hamidiyah selama 38 tahun sejak meninggalnya bapak saya almarhum Habib Ahmad Al-Hamid.
Setelah itu, akhirnya Mat Ngajo hidup di pondok dengan damai dan tentram. Meskipun melalui proses adaptasi yang cukup lama, namun bagi dia hal itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Hari berganti , tak terasa sudah 10 tahun dia menimba ilmu bersama sang guru.
Setelah berfikir panjang, Mat Ngajo pun menyampaikan keinginanya pada romo guru untuk pulang kampung dan mengamalkan ilmu serta berdakwah di tempat kelahiranya. Romo guru pun menyetujui dan merestui kepulangannya tersebut, dengan harapan bisa menyebarkan Islam di tempatnya.
Akhirnya, tibalah Mat Ngajo di tempat kelahiranya tersebut. Dan ternyata, bapaknya sudah mempersiapkan calon istri untuknya. Dia pun menyetujui kemauan ayahnya dengan calon istri pilihan tersebut. Langsung saja, pada hari itu menikahlah Mat Ngajo dengan gadis itu meskipun dengan perayaan yang kurang meriah.
Namun, satu bulan setelah pernikahan, nasib kurang menyenangkan bagi mereka berdua. Ayah tercinta meninggal dunia. Kini, mereka tinggal berdua dengan istrinya. Karena ibunya sudah meninggal ketika dia masih berusia lima tahun.
Hari berganti, Mat Ngajo menjalani hidup bersama istrinya yang akrab dipanggil Siti dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Nasibnya pun sangat memprihatinkan, dia bertambah kurus dan miskin. Istrinya pun selalu mengeluh dengan keadaan rumah tangganya tersebut.
Pada suatu malam setelah melakukan shalat tahajjud, Mat Ngajo teringat bahwa dia masih mempunyai seorang guru yang mungkin saja bisa membantu keadaannya yang terpuruk.
Setelah selesai shalat tahajjud, dengan tekad dan niat tinggi Mat Ngajo pun memberanikan diri untuk sowan dan silaturrahmi ke rumah romo yai. Setelah sampai ke rumah romo yai dengan nada lirih dia mengetuk pintu, “Assalamualaikum romo yai”, dan romo yai pun ternyata belum tidur dan menjawab “Waalaikumussalam”, Ada apa Jo kok kamu pagi-pagi gini kesini? Silahkan duduk dulu, “injeh romo”.
Akhirnya, Mat Ngajo menceritakan alur kehidupanya setelah ia boyong dari pondok. Romo yai pun hanya tersenyum. Kemudian, romo yai memberikan saran kepada Mat Ngajo. “Jo, menikahlah lagi pasti kamu akan kaya”. Mat Ngajo pun bingung, karena dia sudah beristri. Akhirnya, ia pun pamit dengan membawa hasil yang membingungkan.
Setelah sampai rumah, dia menceritakan hasil silaturrahmi tersebut kepada istrinya. Namun, dengan lapang dada sang istri malah menyetujui apa yang diwasiatkan oleh sang guru.
Setelah berfikir panjang, akhirnya dia pun menikah dengan adiknya Siti yaitu Sata. Pesta pernikahan digelar, tamu pun berbondong-bondong di acara pernikahannya tersebut.
 Pesta pernikahan usai sudah, hiduplah mereka bertiga dengan damai. Namun, nasib sama tetap menimpa mereka, dia tetap miskin meskipun sudah menjalankan wasiat dari sang guru.
Hari pun berganti, akhirnya dia memberanikan diri untuk sowan lagi ke rumah sang guru. Namun, hasilnya pun sama seperti kemarin, sang guru tetap bilang “Menikahlah, Menikahlah, pasti kamu akan kaya raya”.
Setelah bingung dan pusing terhadap tekanan kedua istrinya tersebut, lantaran dia miskin. Ditambah lagi dengan wasiat sang guru yang menyuruh untuk menikah lagi.
Mat Ngajo berfikir untuk menikahi Sutu, yaitu adik dari Siti dan Sata. Selang satu minggu, dia pun bertekad untuk menikahi Sutu dengan meminta persetujuan dari kedua istrinya.
Kedua istrinya tersebut  akhirnya memperbolehkan dia menikah dengan Sutu. Acara pernikahannya pun lebih meriah dari pernikahan sebelumnya. Setelah menikah dengan Sutu, hidup Mat Ngajo dengan ketiga istrinya tersebut malah semakin parah dan memperhatinkan. Dia pun semakin miskin dan kere.
Oleh sebab itu, ketiga istrinya pun bertekad untuk mengusir Mat Ngajo dari rumah. Mat Ngajo diusir dari rumah karena tidak bisa memberi nafkah lahir kepada ketiga istrinya. Karena pekerjaan Mat Ngajo hanya berdiam diri di rumah, makan, tidur, merokok. Akhirnya, Mat Ngajo pun dengan lapang dada pergi dan meninggalkan rumah.
Setelah diusir dari rumah, Mat Ngajo hidup gelandangan dan compang-camping di jalanan. Badannya tambah kurus dan hitam. Dia hidup sebatang kara bagaikan tak punya siapa-siapa di dunia ini. Setiap hari, dia hanya mengemis dan meminta-minta kepada warga untuk mendapat makan dan menyambung hidupnya.
Namun, di sisi lain ketiga istrinya tersebut berfikir bagaimana caranya untuk bisa hidup mandiri tanpa suami. Akhirnya, dengan ide cemerlang ketiga istrinya tersebut mendirikan rumah makan dengan nama “Toto Tentrem” yang menjual berbagai aneka makanan khas daerah. Dengan usaha itu, Alhamdulillah laris manis dan banyak pelanggan.
Setelah mengumpulkan uang, ketiga istrinya tersebut membangun kembali rumah Mat Ngajo dan menyulap menjadi istana yang mewah.  Dan kini, ketiga istri Mat Ngajo tersebut terkenal sebagai “tiga janda kaya raya” di kampungnya.
Namun, dengan kehidupan serba mewah, warung makan  “Toto Tentrem” yang setiap hari menghasilkan uang banyak, nampaknya belum bisa membuat mereka hidup bahagia. Mereka merasa kesepian tanpa kehadiran sang suami tercinta meskipun kurang ajar kepada mereka. Di sisi lain, mereka tetap kangen dan mengharapkan suaminya kembali ke rumah dan hidup bersama seperti dahulu kala.
Akhirnya, Mat Ngajo pun mendengar berita keberadaan “tiga janda kaya raya” tersebut. Dan dia pun mencari informasi dimana tempat mereka tinggal. Ternyata, Mat Ngajo tidak ingat kalau dulu dia telah beristri tiga dan dia diusir dari rumahnya.
Setelah tahu alamat tiga janda kaya raya tersebut, dia pun datang kesana bermaksud ingin minta sumbangan kepada mereka untuk menyambung hidupnya. Setelah sampai di sana, ternyata tamu dan pelanggan rumah makan “Toto Tentrem’’ adalah orang kaya semua. Mat Ngajo yang berpakaian combang-cambing terlihat seperti orang gila.
Sesampainya di depan pintu, akhirnya dia melihat ketiga gadis yang berpakaian indah dan cantik tersebut. Dia pun teringat bahwa ketiga gadis tersebut adalah istrinya sendiri yang dulu mengusir dia dari rumah, yaitu Siti, Sata, dan Sutu.
Dengan wajah gembira, dia langsung mendatangi ketiga gadis tersebut sambil menangis. Sang istri pun tidak menduga kalau itu adalah suami mereka. Karena Mat Ngajo berpenampilan seperti orang gila, sang istri pun memanggil satpam untuk mengusirnya, dan dia pun diusir dari rumah tersebut.
Namun, setelah malam tiba ternyata Mat Ngajo  masih setia menunggu di depan rumah, sambil mengucap istriku maafkan aku.
Sang istri pun heran dan baru teringat kalau pria combing-cambing tersebut adalah suami mereka dulu yang diusir dari rumah. Dengan keadaan histeris, ketiga wanita tersebut langsung menghampiri Mat ngajo sambil memeluk dan menangis seraya berkata; “maafkan kami wahai suamiku,  kami khilaf dan salah karena dulu telah mengusirmu”. Mat Ngajo pun menjawab; “tidak apa-apa istriku, aku yang salah aku yang minta maaf”.
Kemudian Mat Ngajo dibawa masuk ke rumah oleh ketiga istri nya, lalu dirawatlah Mat Ngajo  hingga bersih. Setelah itu, dia dikasih makan sambil istirahat dan menceritakan asal muasal kenapa dia  menikah sampai tiga kali. Hal itu adalah “Wasiat sang guru”, dan ternyata memang benar. Jika kamu ingin kaya raya maka “Menikah, menikah, dan menikahlah”.
Istrinya pun baru tahu dan tertawa mendengar cerita Mat Ngajo yang telah lama meraka usir dari rumah. Dan akhirnya pun mereka hidup bahagia dan dengan keadaan kaya raya.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: CERPEN; "WASIAT SANG GURU" Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda