Oleh Hamidulloh Ibda
Baru-baru ini, pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana tentang “advokat koruptor” menuai pro kontra di masyarakat. Sebagian pihak mendukung apa yang disampaikan guru besar Universitas Gadjah Mada tersebut, tapi ada pula yang justru menyampaikan kecaman. Mereka yang pro menilai pernyataan Denny Indrayana dalam jejaring sosial mengenai tudingan bahwa “advokat koruptor adalah koruptor” sudah tepat. Karena itu, apa yang dilakukan pengacara senior Otto Cornelis Kaligis yang melaporkan Denny ke Polda Metro Jaya justru akan melegitimasi upaya-upaya koruptor dalam memainkan hukum.
Adapun kalangan yang kontra menganggap pernyataan Denny dalam akun Twitter sudah masuk dalam kategori perbuatan “hukum penghinaan dan pencemaran serta pelecehan terhadap para advokat.” Di antara pihak yang sepakat dengan Denny adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf dan pengamat hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI) Refly Harun. Bukhori Yusuf, misalnya, menyatakan bahwa seharusnya kicauan Denny pada Sabtu, 18 Agustus 2012 harus disikapi dewasa.
Polemik
Pelaporan atas Denny itu justru semakin menimbulkan kecurigaan pada publik bahwa ada yang memang merasa terserang. Banyak yang menilai kriminalisasi menjadi semacam strategi alat menyerang balik dengan memunculkan hukuman baru agar jalan menyerang koruptor tertutup. Jika tidak setuju pernyataan Denny, semestinya dibuka lebih luas ke debat intelektual, bukannya justru membawanya ke ranah pidana. Membawa persoalan ini ke polda merupakan usaha yang sia-sia dan justru melegitimasi upaya-upaya koruptor memainkan hukum.
Pernyataan Denny seharusnya bisa dijadikan bahan introspeksi karena tidak sedikit yang berpikiran sama. Ungkapan Denny menunjuk profesi advokat yang awalnya mulia kini banyak dinodai perilaku advokat yang money oriented dan menghalalkan segala cara untuk memenangkan kliennya, termasuk kasus korupsi. Seharusnya, ini bisa menjadi bahan perenungan bersama, bukannya justru dikriminalisasi. Apalagi, pernyataan Denny tidak langsung menyebut nama oknum yang dimaksud secara jelas.
Di sisi lain, sejumlah anggota Komisi III DPR seperti Syarifuddin Suding (Fraksi Hanura), Ahmad Yani (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan), Nudirman Munir (Fraksi Partai Golkar), dan Herman Hery (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) mendukung OC Kaligis. Suding, misalnya, secara tegas mengatakan langkah Kaligis melaporkan Denny ke Polda sudah tepat. Dia mengingatkan, profesi advokat telah diatur baik dalam UU No 28 maupun dalam KUHAP tentang peranan advokat dalam memberikan bantuan hukum tanpa memandang latar belakang dan kasus yang ditanganinya (Kompas, 26/8).
Banyak kalangan menilai hal itu sama saja melecehkan dan pencemaran nama baik profesi advokat, seolah semuanya melakukan hal serupa. Ahmad Yani, Herman Hery, dan Nudirman Munir sepakat dengan penilaian Suding. Menurut mereka, ucapan Denny sangat jelas telah melecehkan dan menghina organisasi advokat. Walaupun tidak menyangkal adanya advokat yang nakal (black lawyer), mereka tetap menganggap advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum serta profesi yang mulia dan terhormat.
Seharusnya, semua pihak memahami UU Advokat dan tugas advokat dalam melaksanakan profesinya karena ada aturan, yaitu UU Advokat dan Kode Etik Advokat karena profesi advokat mulia (offecium noble). Memang benar, advokat tak bisa disamakan dengan klien. Seperti contoh advokat Yap Thiam Hiem yang membela PKI. Tentunya tidak bisa disimpulkan advokat Yap yang juga termasuk PKI. Juga seperti Adnan Buyung Nasution yang membela Abu Bakar Baasyir dan Gayus Tambunan, bukan berarti Buyung juga dianggap anggota Jamaah Islamiah dan mafia pajak.
Denny Salah?
Contoh paling nyata seperti Menkumham Amir Syamsudin juga beberapa kali membela kasus korupsi. Apa juga bisa disebut koruptor? Jadi, pernyataan Denny ngawur dan salah, sebaiknya dia minta maaf, dan minta maaf tak akan mengurangi kehormatannya. Jadi, ini bukan serangan balik koruptor. Sementara itu, pakar hukum pidana dari UI, Indrianto Seno Adji, menanggap wajar langkah Kaligis karena pernyataan Denny itu berkaitan dengan integritas profesi komunitas penasihat hukum sebagai offecium noble. Prinsip equal before the law berlaku kepada siapa pun sehingga kita serahkan pada mekanisme hukum saja (Sindo, 26/8).
Namun, Seno Adji juga menyarankan agar antara Denny dengan institusi penasihat hukum duduk bersama dan meluruskan masalah ini. Sebab, jika persoalan ini dibiarkan, tak menutup kemungkinan pertarunan akan terus bergulir. Jauh lebih baik ada solusi pertemuan antara Wamenkumham dengan institusi penasihat hukum. Masalah ini harus segera diluruskan. Semua hal bisa diselesaikan. Semua kalangan harus dewasa dan segera menuntaskan hal ini. Jika tidak, maka akan semakin memperkeruh keadaan. Wallahu a’lam bisshawab.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, edisi Selasa 28 Agustus 2012
0 komentar:
Post a Comment