Oleh Hamidulloh Ibda
Dipublikasikan NU Online, 21 Agustus 2012
Peristiwa proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 memang patut diambil energinya. Waktu itu kemerdekaan Indonesia dideklarasikan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, bertepatan hari Jum‘at, tanggal 9 Ramadhan 1364 H (Agus Salim Sitompul; 1998, hal. 89). Bahkan, desakan waktu sholat Jum‘at ikut mempercepat proses perumusan dan pengucapan naskah proklamasi itu.
Hari Jum‘at dalam Islam dikenal sebagai penghulu semua hari (sayyid al-ayyam) dan bulan Ramadhan dikenal sebagai penghulu seluruh bulan (sayyi al-syahr). Hari dan bulan ini bangsa Indonesia mendapatkan Lailatul Qadr. Siapa yang bisa membayangkan Indonesia bisa mendeklarasikan kemerdekaannya lebih dini dari negara-negara tetangganya yang sudah lama dipersiapkan pemerintah kolonialnya? Siapa yang bisa membayangkan Indonesia berani mendeklarasikan kemerdekaannya justru pasukan sekutu sedang kuat-kuatnya?
Belanda, Jepang, dan negara-negara Eropa lainnya yang sekian lama mengincar negeri puluhan ribu pulau subur ini hanya bisa tercengang seolah tak percaya akan kejadian ini. Mereka seolah sedang mimpi buruk di siang bolong. Gaung proklamasi ini seolah dibantu oleh jutaan malaikat yang kebetulan sedang bertandang ke bumi mengantar bulan suci Ramadan.
Hari keramat Jum‘at dan bulan kramat Ramadan seolah ikut membuyarkan aspirasi dan isnpirasi negara-negara pengintai Indonesia. Mereka hampir tidak percaya, bagaimana mungkin senjata bambu runcing bisa mendeklarasikan kemerdekaannya di depan moncong tank dan deru pesawat tempur. Bagaimana mungkin negara yang seluas Indonesia bisa dengan mudah mendeklarasikan sebuah kemerdekaan? Tentu butuh perjuangan.
Dua Energi
Tidak dapat disangkal bahwa energi hari Jum‘at dan energi Ramadan menjadi salah satu faktor terjadinya peristiwa monumental ini. Dalam sejarah Islam, ternyata memang hampir semua negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim meraih kemerdekaan pada bulan Ramadan. Banyak sekali peristiwa ajaib dan menakjubkan terjadi di dalam bulan suci Ramadan. Seolah-olah sejarah dunia Islam ialah sejarah Ramadan itu sendiri.
Di antara peristiwa dan kejadian menakjubkan terjadi di dalam bulan Ramadhan antara lain: pertama kali turunnya ayat suci Al-Qur‘an dan sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw sebagai Nabi, kemenangan besar pasukan Rasulullah di dalam Perang Badar yang bersejarah (17 Maret 624M/17 Ramadan tahun ke 7 H), perebutan kembali kota Mekah/fathu Makkah (Ramadhan 8 H), perjanjian Tsaqif yang monumental (Ramadhan 9 H), diplomasi Qadasiayah yang membawa keuntungan besar bagi umat Islam (Ramadhan 15 H), penaklukan Rodesia (Ramadhan 53 H), perang Andalusia Spanyol (Ramadhan 91 H) dan Penaklukan kota Spanyol (h92 H).
Selain itu, selama Ramadhan, peristiwa menakjubkan lainnya antara lain runtuhnya Daulat Bani Umayyah yang dinilai sudah banyak korup digantikan rezim baru Bani Abbasia, (Ramadhan 132 H), pemisahan diri Mesir dari Dinasti Abbasia (Ramadhan 253 H), pendirian Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Universitas tertua di dunia oleh Dinasti Fatimiyah/Syi‘ah (Ramadhan 361 H), Salahuddin al-Ayyubi menghalau pasukan Salib dan merebut kota Surya, (Ramadhan 584 H), dan pasukan Salib dikalahkan di Baibars (Ramadhan 675 H).
Di bulan Ramadhan juga membawa berhak bagi beberapa negara Islam yang memperoleh kemerdekaan dari penjajah dalam bulan Ramadhan, termasuk Negara Republik Indonesia, memproklamirkan kemerdekaannya dalam bulan Ramadhan yang bertepatan (17 Agustus 1945), dan sejumlah pusat kerajaan lokal di kepulauan Nusantara yang menyerah kepada sistem pemerintahan yang bercorak Islam (Kesultanan), termasuk di antaranya Kerajaan Bone Sulawesi Selatan, kerajaan terakhir di kawasan Timur Indonesia yang menyerah ke pemerintahan baru bercorak yang Islam.
Semangat Ramadhan inilah juga yang membuat seluruh negara-neraga Islam berlomba-lomba memberikan dukungan internasional kepada PBB agar kemerdekaan Indonesia diberikan pengakuan sesegera mungkin. Mesir sebagai negara paling awal dan paling getol menggalang dukungan internasional agar Indonesia segera diakui sebagai sebuah negara baru, yang pada akhirnya berhasil secara gemilang.
Semangat dan energi Ramadhan dan momen Lebaran ini terlukis di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Demikian pula di dalam batang tubuh UUD 45, ditetapkan agama sebagai dalam suatu bab khusus (XI) dan pada pasal 29 ditegaskan bahwa (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang MahaEsa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Meskipun Indonesia diproklamirkan pada hari Jum‘at dan di dalam bulan suci Ramadhan, para proklamator, penggagasnya, dan orang-orang yang gugur di medan perang mayoritas umat Islam, ditambah lagi penghuni mayoritas mutlak bangsa ini adalah umat Islam, namun para founding father kita tidak tertarik membentuk negara Islam. Indonesia tetap dideklarasikan sebagai negara republik, tepatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan negara Islam. Ini bukti kebesaran jiwa umat Islam Indonesia yang harus diakui semua pihak dan sekaligus kebesaran jiwa seperti itu perlu dipertahankan.
Indonesia semenjak kelahirannya sampai sekarang selalu mengundang tanda tanya pemimpin negara-negara lain. Setidaknya ini bisa diketahui sejumlah disertasi yang ditulis oleh orang-orang luar Indonesia memberikan pengakuan tersebut. Indikator yang digunakan sebagai alasan ialah, sejak awal Indonesia ditempa oleh berbagai krisis besar, baik krisis politik mau pun krisis ekonomi, namun Indonesia selalu saja lulus dari berbagai ujian tersebut. Sudah barang tentu ada nilai-nilai dasar yang perlu dilestarikan oleh bangsa ini jika ingin terus keluar dari berbagai krisis.
Salah satu nilai itu ialah prinsip yang tertera di dalam simbol negara, “Bhinneka Tunggal Ika‘, berbeda-beda tetapi tetap utuh di dalam satu kesatuan dan keutuhan. Bangsa Indonesia juga harus senantiasa bersyukur akan seluruh nikmat dan karunia yang Allah SWT berikan. Kesyukuran itu bisa diwujudkan dalam bentuk pemberian pengakuan eksistensi hak dan otonomi orang lain, sekalipun itu berbeda dengan pandangan dan pikiran kita. Kesediaan memberi pengakuan terhadap orang lain wujud dari kesadaran berbangsa paling tinggi. Terlalu mahal resiko yang harus dipikul bangsa ini jika setiap orang bebas memaksakan kehendaknya tanpa mau dibatasi oleh konstitusi yang telah dirumuskan bersama.
Dalam Islam pun ditegaskan, lebih baik dipimpin oleh pemimpin zalim 100 tahun ketimbang kosong kepemimpinan sehari. Kekosongan kepemimpinan dalam masyarakat yang terhimpun dalam suatu negara bangsa seperti Indonesia bisa jauh lebih berbahaya, karena boleh jadi hukum rimba yang akan berdaulat. Pengalaman sejarah umat Islam juga sudah cukup kenyang, bagaimana resikonya jika setiap kali suksesi harus diselesaikan dengan kekerasan. Kita berharap bangsa Indonesia bisa menjadi model alternatif, khususnya bagi negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam, nilai-nilai Islam bisa seiring dan sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Wallahu a’lam bisshawab.
* Aktivis Muda NU, Peneliti Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Dipublikasikan NU Online, 21 Agustus 2012
Peristiwa proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 memang patut diambil energinya. Waktu itu kemerdekaan Indonesia dideklarasikan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, bertepatan hari Jum‘at, tanggal 9 Ramadhan 1364 H (Agus Salim Sitompul; 1998, hal. 89). Bahkan, desakan waktu sholat Jum‘at ikut mempercepat proses perumusan dan pengucapan naskah proklamasi itu.
Hari Jum‘at dalam Islam dikenal sebagai penghulu semua hari (sayyid al-ayyam) dan bulan Ramadhan dikenal sebagai penghulu seluruh bulan (sayyi al-syahr). Hari dan bulan ini bangsa Indonesia mendapatkan Lailatul Qadr. Siapa yang bisa membayangkan Indonesia bisa mendeklarasikan kemerdekaannya lebih dini dari negara-negara tetangganya yang sudah lama dipersiapkan pemerintah kolonialnya? Siapa yang bisa membayangkan Indonesia berani mendeklarasikan kemerdekaannya justru pasukan sekutu sedang kuat-kuatnya?
Belanda, Jepang, dan negara-negara Eropa lainnya yang sekian lama mengincar negeri puluhan ribu pulau subur ini hanya bisa tercengang seolah tak percaya akan kejadian ini. Mereka seolah sedang mimpi buruk di siang bolong. Gaung proklamasi ini seolah dibantu oleh jutaan malaikat yang kebetulan sedang bertandang ke bumi mengantar bulan suci Ramadan.
Hari keramat Jum‘at dan bulan kramat Ramadan seolah ikut membuyarkan aspirasi dan isnpirasi negara-negara pengintai Indonesia. Mereka hampir tidak percaya, bagaimana mungkin senjata bambu runcing bisa mendeklarasikan kemerdekaannya di depan moncong tank dan deru pesawat tempur. Bagaimana mungkin negara yang seluas Indonesia bisa dengan mudah mendeklarasikan sebuah kemerdekaan? Tentu butuh perjuangan.
Dua Energi
Tidak dapat disangkal bahwa energi hari Jum‘at dan energi Ramadan menjadi salah satu faktor terjadinya peristiwa monumental ini. Dalam sejarah Islam, ternyata memang hampir semua negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim meraih kemerdekaan pada bulan Ramadan. Banyak sekali peristiwa ajaib dan menakjubkan terjadi di dalam bulan suci Ramadan. Seolah-olah sejarah dunia Islam ialah sejarah Ramadan itu sendiri.
Di antara peristiwa dan kejadian menakjubkan terjadi di dalam bulan Ramadhan antara lain: pertama kali turunnya ayat suci Al-Qur‘an dan sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw sebagai Nabi, kemenangan besar pasukan Rasulullah di dalam Perang Badar yang bersejarah (17 Maret 624M/17 Ramadan tahun ke 7 H), perebutan kembali kota Mekah/fathu Makkah (Ramadhan 8 H), perjanjian Tsaqif yang monumental (Ramadhan 9 H), diplomasi Qadasiayah yang membawa keuntungan besar bagi umat Islam (Ramadhan 15 H), penaklukan Rodesia (Ramadhan 53 H), perang Andalusia Spanyol (Ramadhan 91 H) dan Penaklukan kota Spanyol (h92 H).
Selain itu, selama Ramadhan, peristiwa menakjubkan lainnya antara lain runtuhnya Daulat Bani Umayyah yang dinilai sudah banyak korup digantikan rezim baru Bani Abbasia, (Ramadhan 132 H), pemisahan diri Mesir dari Dinasti Abbasia (Ramadhan 253 H), pendirian Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Universitas tertua di dunia oleh Dinasti Fatimiyah/Syi‘ah (Ramadhan 361 H), Salahuddin al-Ayyubi menghalau pasukan Salib dan merebut kota Surya, (Ramadhan 584 H), dan pasukan Salib dikalahkan di Baibars (Ramadhan 675 H).
Di bulan Ramadhan juga membawa berhak bagi beberapa negara Islam yang memperoleh kemerdekaan dari penjajah dalam bulan Ramadhan, termasuk Negara Republik Indonesia, memproklamirkan kemerdekaannya dalam bulan Ramadhan yang bertepatan (17 Agustus 1945), dan sejumlah pusat kerajaan lokal di kepulauan Nusantara yang menyerah kepada sistem pemerintahan yang bercorak Islam (Kesultanan), termasuk di antaranya Kerajaan Bone Sulawesi Selatan, kerajaan terakhir di kawasan Timur Indonesia yang menyerah ke pemerintahan baru bercorak yang Islam.
Semangat Ramadhan inilah juga yang membuat seluruh negara-neraga Islam berlomba-lomba memberikan dukungan internasional kepada PBB agar kemerdekaan Indonesia diberikan pengakuan sesegera mungkin. Mesir sebagai negara paling awal dan paling getol menggalang dukungan internasional agar Indonesia segera diakui sebagai sebuah negara baru, yang pada akhirnya berhasil secara gemilang.
Semangat dan energi Ramadhan dan momen Lebaran ini terlukis di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Demikian pula di dalam batang tubuh UUD 45, ditetapkan agama sebagai dalam suatu bab khusus (XI) dan pada pasal 29 ditegaskan bahwa (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang MahaEsa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Meskipun Indonesia diproklamirkan pada hari Jum‘at dan di dalam bulan suci Ramadhan, para proklamator, penggagasnya, dan orang-orang yang gugur di medan perang mayoritas umat Islam, ditambah lagi penghuni mayoritas mutlak bangsa ini adalah umat Islam, namun para founding father kita tidak tertarik membentuk negara Islam. Indonesia tetap dideklarasikan sebagai negara republik, tepatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan negara Islam. Ini bukti kebesaran jiwa umat Islam Indonesia yang harus diakui semua pihak dan sekaligus kebesaran jiwa seperti itu perlu dipertahankan.
Indonesia semenjak kelahirannya sampai sekarang selalu mengundang tanda tanya pemimpin negara-negara lain. Setidaknya ini bisa diketahui sejumlah disertasi yang ditulis oleh orang-orang luar Indonesia memberikan pengakuan tersebut. Indikator yang digunakan sebagai alasan ialah, sejak awal Indonesia ditempa oleh berbagai krisis besar, baik krisis politik mau pun krisis ekonomi, namun Indonesia selalu saja lulus dari berbagai ujian tersebut. Sudah barang tentu ada nilai-nilai dasar yang perlu dilestarikan oleh bangsa ini jika ingin terus keluar dari berbagai krisis.
Salah satu nilai itu ialah prinsip yang tertera di dalam simbol negara, “Bhinneka Tunggal Ika‘, berbeda-beda tetapi tetap utuh di dalam satu kesatuan dan keutuhan. Bangsa Indonesia juga harus senantiasa bersyukur akan seluruh nikmat dan karunia yang Allah SWT berikan. Kesyukuran itu bisa diwujudkan dalam bentuk pemberian pengakuan eksistensi hak dan otonomi orang lain, sekalipun itu berbeda dengan pandangan dan pikiran kita. Kesediaan memberi pengakuan terhadap orang lain wujud dari kesadaran berbangsa paling tinggi. Terlalu mahal resiko yang harus dipikul bangsa ini jika setiap orang bebas memaksakan kehendaknya tanpa mau dibatasi oleh konstitusi yang telah dirumuskan bersama.
Dalam Islam pun ditegaskan, lebih baik dipimpin oleh pemimpin zalim 100 tahun ketimbang kosong kepemimpinan sehari. Kekosongan kepemimpinan dalam masyarakat yang terhimpun dalam suatu negara bangsa seperti Indonesia bisa jauh lebih berbahaya, karena boleh jadi hukum rimba yang akan berdaulat. Pengalaman sejarah umat Islam juga sudah cukup kenyang, bagaimana resikonya jika setiap kali suksesi harus diselesaikan dengan kekerasan. Kita berharap bangsa Indonesia bisa menjadi model alternatif, khususnya bagi negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam, nilai-nilai Islam bisa seiring dan sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Wallahu a’lam bisshawab.
* Aktivis Muda NU, Peneliti Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
0 komentar:
Post a Comment