Mendamba
Pemimpin "Visioner" DKI Jakarta
Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Centre for Democracy and
Islamic Studies (CDIS) Semarang, Jawa Tengah
Dimuat di Media Indonesia
Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta sudah di depan mata. Pemilukada ini merupakan
momentum penting untuk perbaikan Ibu Kota lima tahun ke depan. Semua harapan
warga DKI digantungkan kepada siapa saja yang akan terpilih menjadi Gubernur.
Pasalnya, ibarat kapal yang berlayar, “mau dibawa ke mana” kapal tersebut ada
di tangan nahkoda kapal, begitu pula dengan Jakarta. Jika pemimpinya “visioner”
dan amanah, maka Jakarta akan maju. Namun jika sebaliknya, maka Jakarta akan
menjadi kota tertinggal. Padahal, Jakarta merupakan Ibu kota negara dan menjadi
kiblat bagi kota di seluruh Indonesia.
Perlu diketahui, keberhasilan dan
kemajuan Jakarta sangat tergantung pada perilaku pemimpin dan warganya.
Pemimpin punya pengaruh besar, tetapi tanpa relasi memadai antara pemimpin dan
pengikutnya, masyarakat tak dapat berkembang menjadi lebih baik.
Robert Kelley (1992) menjelaskan, followership
(kepengikutan) menggunakan dua dimensi kualitas pengikut; independen dan
berpikir kritis versus dependen dan berpikir tidak kritis; tingkah laku aktif
versus pasif. Orang independen dan pemikir kritis mampu berpikir lebih tajam,
dalam, dan luas. Mereka tak terpaku pada panduan dan prosedur, menyadari dampak
tindakan, berkehendak kreatif dan inovatif, serta menawarkan kritik
konstruktif. Maka dari itu, pemimpin untuk Jakarta ke depan harus memiliki
“visi misi” jelas, dari visi tertulis dan praktek. Kenapa demikian? karena
selama ini banyak pemimpin memiliki visi bagus, namun hanya sekadar wacana dan
janji manis belaka. Mereka miskin aksi dan kepedulian untuk pengikutnya.
Memotong Pragmatisme
Disadari atau tidak, praktik politik uang
sering menghiasi di setiap Pemilukada. Bahkan, hal ini menjelma menjadi “serangan
fajar” dan “serangan dhuha”. Padahal, hal ini justru membentuk pola pikir masyarakat menjadi pragmatis. Apalagi, warga
Jakarta tergolong berkarakter pragmatis. Hal ini seakan membuktikan bahwa
“politik uang” menjadi menu utama ketika pemilu. Ibarat orang kehausan, uang
menjadi “obat” dan pengganti air. Sungguh ironis sekali fenomena ini.
Sebetulnya, masyarakat pragmatis
memiliki kelebihan, tetapi tergantung situasi. Orang tipe ini sedikit mirip
”politikus”, tergantung angin dan menggunakan gaya kerja apa pun demi
memuluskan agenda sendiri dengan risiko minimal. Sisi positifnya, saat
masyarakat mengalami masa sulit, jamaah pragmatis dapat berkontribusi karena
tahu cara mempekerjakan sistem untuk menyelesaikan persoalan. Sisi negatifnya,
mereka memainkan politik, aturan, dan regulasi serta melakukan penyesuaian demi
keuntungan pribadi.
Sebagai jamaah pragmatis, kebanyakan
warga Jakarta memilih berada di tengah jalan. Sesekali mengkritik pemerintah
dengan tidak terlalu terbuka. Mereka menampilkan tugas yang diwajibkan, tetapi
jarang lebih dari yang diharapkan; hidup dengan slogan, ”lebih baik selamat
daripada menyesal”. Maka, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin baru ke
depannya untuk merubah pola pikir masyarakat Jakarta yang pragmatis menjadi
idealis.
Tugas Pemimpin Visioner
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi menuju arah
pencapaian tujuan tertentu (Rauch&Behling,
1984:46).
Berkaca dari pengertian ini, pemimpin Jakarta ke depan harus mampu
mensinergikan visinya dengan kepentingan masyarakat. Artinya, jika visi
pemimpin Jakarta tidak sesuai dengan basic
need warga Jakarta, maka ia akan mengalami kesulitan dalam memimpin.
Siapa saja yang terpilih dalam
Pemilukada nanti, dia harus membawa perubahan dan menjadi pemimpin visioner,
yaitu pemimpin yang memiliki visi misi dan pemetaan perubahan Jakarta. Jika
tidak visioner, maka lebih baik para calon lebih baik mundur sekarang juga.
Kenapa demikian? Karena hanya pemimpin visioner yang mampu membawa perubahan.
Gaya kepemimpinan Jakarta harus beda
dengan yang lain. Pemimpin
Jakarta harus membangun kepercayaan dan menunjukkan adanya kesempatan,
menggugah dan menginspirasi rakyat dengan visi masa depan. Agar lebih efektif,
pemimpin Jakarta perlu melibatkan masyarakat serta menyumbangkan pikiran kritis
dan inovatif mereka. Jakarta yang memiliki warga dengan beragam budaya politik
membutuhkan pemimpin visioner yang mampu menampilkan respek terhadap berbagai
perbedaan (ras, jender, etnis, orientasi seksual, usia, karier, gaya, dan
sebagainya).
Davis dan Newstrom (1995) menjelaskan
bahwa pemimpin harus menghindar dari perilaku dan bahasa diskriminatif/menyerang.
Dia perlu meminta opini sebanyak mungkin dari berbagai pihak dengan perspektif
berbeda, menghargai perbedaan saat membuat keputusan, serta berpegang pada
kebijakan yang menentang pelecehan dan kekerasan. Gubernur DKI Jakarta harus mampu
mempromosikan kerjasama di antara warga dan membuat mereka bekerja bersama untuk
mencapai tujuan bersama. Namun, semua itu tidak tercapai ketika pemimpinya
tidak memiliki kualitas, loyalitas, dan tak jelas visinya.
Maka dari itu, yang perlu diperhatikan
pemimpin Jakarta nanti adalah menciptakan perubahan. Pada intinya adalah
perubahan Jakarta, karena hanya perubahan yang akan membawa Jakarta menjadi
kota yang “bercahaya”. Perubahan itu meliputi bidang ekonomi, sosial, politik,
budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Atas permasalahan itu, pemimpin
visioner menjadi jawaban tepat untuk mewujudkan perubahan di Jakarta. Semoga
pemimpin Jakarta nanti mampu mengemban amanah tersebut. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment