Oleh Ngalimun, S.Pd
Mantan Ketua GP Anshor, KASI Kesra Desa Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah
Pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman bagi narapidana kasus korupsi seharusnya diperberat. Jika perlu, remisi itu harus ditiadakan alias dihapus. Remisi itu menjadi dilematis ketika diberikan kepada koruptor. Remisi itu merupakan hak, dan itu memang hak mereka, namun kalaupun diperberat pemberian remisinya, itu juga positif. Jika dikatakan diskriminasi bagi mereka, bagi penulis hal itu diskriminasi yang positif.
Pemberian remisi kepada para narapidana korupsi memang masih menjadi kontroversi. Narapidana korupsi layak diperberat hukumannya. Jika remisi itu diberikan kepada mereka, namun remisi itu harus memberikan efek jera kepada para narapidana kasus korupsi tersebut.
Kontroversi
Remisi seharusnya diberikan kepada narapidana yang baik. Jangan sampai koruptor nakal mendapatkan remisi berlebihan. Menurut, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Muji Kartika Rahayu, menyatakan sebaiknya narapidana korupsi tak diberikan remisi karena memang tak terbukti menurunkan angka korupsi di Indonesia (Kompas, 25/8/2012). Maka, perlu diberikan pemahaman dan penjeraan kepada mereka kalau korupsi itu tidak enak. Hanya permasalahannya, peraturan yang ada saat ini, memungkinkan adanya pemberian remisi kepada para koruptor tersebut.
Padahal, jika dilihat proses pemberian remisi itu sendiri menciptakan peluang terjadinya korupsi lagi. Sudah menjadi rahasia umum, jika pemberian remisi itu tak gratis dan harus membayar. Karena itu, bila memang akan diberikan remisi, perlu ada mekanisme agar proses pemberian remisi tak menciptakan korupsi baru.
Sementara itu, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Amir Syamsuddin, pihaknya sepakat kalau pemberian remisi terhadap para narapidana korupsi harus diperketat, mengingat banyaknya putusan-putusan yang begitu ringan. Yang terpenting, pemerintah harus merubah Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 2006. Artinya, tujuan perubahan itu untuk memperketat hukum di Indonesia (Tempo, 25/8/2012).
Rencana pengetatan pemberian remisi kepada para narapidana korupsi melalui revisi PP No.28 harus segara dilakukan. Pemerintah harus memperketat kriteria pemberian remisi kepada narapidana korupsi, teroris dan narkoba. Jika pelaku tindak pidana seperti narkoba, teroris, dan korupsi disamakan dengan pelaku tindak pidana biasa, berarti sama saja pemerintah “memulyakan” koruptor.
Pemerintah harus memperjelas kriteria dan ketentuan narapidana dalam menjalani setengah hukuman sebelum mendapat remisi. Sebelumnya, ketentuan mendapat remisi adalah narapidana menjalani sepertiga masa hukumannya. Dengan demikian, perlu adanya perubahan PP No.28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP No.32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan.
Tak Perlu dapat Remisi?
Seharusnya, koruptor tidak perlu mendapat hak menerima remisi. Pengetatan aturan pemberian keringanan masa tahanan atau remisi terhadap narapidana (napi) korupsiperlu dilaksanakan dengan segera. Jangan sampai pemerintah memulyakan dan mengampuni koruptor dengan memberikan remisi berlebihan.
Banyak kalangan hukum mendukung rencana mendiskriminasi koruptor dari haknya untuk mendapat remisi. Tapi sekali lagi, itu akan terbentur dengan aturan bahwa setiap orang sama di depan hukum. Untuk mengakali pemberian remisi itu, seharusnya range yang diberikan hanya dalam hitungan hari, bukan bulan. Suasana Lebaran seperti saat ini bukan alasan untuk mengobral remisi kepada koruptor. Apalagi, remisi itu dengan range 4-6 bulan, itu terlalu besar. Di mana efek jeranya jika seperti itu? Seharusnya range remisi terhadap mereka hanya hitungan hari saja.
Pengetatan remisi tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi. Prof. Dr. H. Murtir Jeddawi (2007) menjelaskan efek jera ada dua, special deterrence untuk diri koruptor itu sendiri dan general deterrence untuk orang lain yang memiliki niat korupsi. Jika remisi yang diberikan terlalu besar, itu akan menghilangkan kedua efek jera tersebut.
Pemberian remisi dengan range hingga dua bulan itu tak bisa asal-asalan. Ukuran pemberiannya juga harus diperketat. Apa ukurannya jika mereka pantas dapat remisi? Berkelakuan baikkah? Mematuhi peraturankah? Harus jelas. Tapi yang terjadi tidak demikian. Gayus Tambunan yang pernah beberapa kali jalan-jalan keluar penjara malah dapat remisi enam bulan. Sangat tidak logis.
Ada yang salah dalam pelaksanaan pemberian remisi yang membuat penerapannya terkesan tak adil dan tepat sasaran. Pasalnya, masih terdapat mafia di lembaga pemasyarakatan yang membuat koruptor mudah mendapatkan remisi dengan cara ilegal. Maka, pemerintah harus memberikan pengawasan ekstra terhadap pemberian remisi. Jangan sampai terjadi ketidakadilan pemberian remisi. Jika perlu, remisi harus dihapus, karena bukan membuat jera koruptor, justru sebaliknya. Itu pasti. Maka, penghapuasan remisi bagi koruptor harus segera dilakukan. Wallahu a’lam bisshawab.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, edisi Rabu 29 Agustus 2012
0 komentar:
Post a Comment