Mengkaji
Ulang RUU PT
Oleh: Hamidulloh Ibda
Pimred Bulletin INSANI Semarang, Master
of Training HMI Cabang Semarang.
Tulisan ini dimuat di Harian Vokal, edisi 11 April 2012.
Dunia pendidikan kita baru-baru ini memang diguncangkan oleh
beberapa problem. Tak ketinggalan RUU PT terkait Liberalisme juga ikut andil
mengisi masalah dunia pendidikan. Maka dari itu, penulis tak mempermasalahkan
diterima atau ditolak terkait RUU tersebut, namun penulis lebih cenderung memaknai
substansi dari RUU PT tersebut.
Di sisi lain, dunia pendidikan kita masih banyak kasus yang belum
terselesaikan dengan tuntas. Akan tetapi, malah ditambah dengan masalah baru.
Kasus –kasus itu seperti polemik jurnal ilmiah, komersialisasi pendidikan,
pendidikan antikorupsi, dan sebagainya. Itu artinya, RUU PT akan menambah
daftar problem dunia pendidikan. Maka dari itu, kita harus mengkaji ulang
terkait RUU tersebut.
Menjadi Polemik
Sebenarnya, wacana
mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya
General Agreement on Trades in Services (GATS) oleh negara anggota WTO (World Trade
Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk
diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Dengan adanya liberalisasi
sektor jasa tersebut termasuk sektor pendidikan tinggi arus globalisasi menjadi
kian tak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses
internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerja sama dengan pihak
luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi.
Masuknya
proses globalisasi itu sendiri tak serta merta berdampak positif. Liberalisasi
pendidikan tinggi juga akan bermakna transformasi pendidikan sebagai
“komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari
sentralitas negara. Mengapa? Karena pendidikan telah menjadi public goods komoditas proses pendidikan
tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan
tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang
mandiri dari universitas.
Konsekuensi
dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai
pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan
lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian,
kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah
kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas
fasilitas pendidikan. Ini yang kemudian terjadi dalam konsep PT BHMN maupun BHP
yang telah dibatalkan.
Kembali ke Aturan
Jika
kita lacak konsep pendidikan, UU Sisdiknas No 20 tahun 2004 telah menegaskan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujdkan suasana
belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Artinya,
pendidikan bukan semata-mata usaha seorang warga negara untuk memastikan
dirinya secara individual dapat memenuhi kualitas hidup yang lebih baik, melainkan juga ada
dimensi etik dan transformasi sosial di dalamnya. Dimensi etik itu
diwujudkan ke dalam pendidikan karakter dan kepribadian, sementara transformasi
sosial diwujudkan dalam pengabdian kepada masyarakat. Hal ini telah ditegaskan
dalam cita-cita bersama bagi pendidikan tinggi negeri di Indonesia.
Artinya,
nilai-nilai etika dan transformasi sosial tersebut akan berlawanan dengan
semangat liberalisasi pendidikan yang dibawa oleh GATS. Dengan demikian,
usaha-usaha memasukkan unsur liberalisasi pendidikan tinggi dalam RUU yang akan
disahkan harus dilawan agar tidak berdampak sistemik terhadap konsep pendidikan
tinggi.
Liberalisasi?
Dalam
Rancangan UU Pendidikan Tinggi kali ini, jeratan liberalisasi pendidikan
ternyata masih menghimpit. Beberapa klausul yang ditawarkan oleh perumus masih
saja memuat beberapa hal yang bertendensi pada liberalisasi sektor pendidikan.
Sebagai
contoh, di pasal 77, pemerintah melakukan pemilahan perguruan tinggi menjadi
tiga jenis: (1) otonom; (2) semi-otonom; (3) otonom terbatas. Konsep
otonomisasi perguruan tinggi masih menjadi hal yang problematis karena memuat
“liberalisasi” dalam pembiayaan.
Di
pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan
tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta
mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h). Dalam hal
pemenuhan hak mahasiswa (pasal 90), pemerintah memiliki opsi yang cukup aneh,
yaitu memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa (ayat 2
huruf c). Pinjaman dana kepada mahasiswa ini diberikan tanpa bunga atau dengan
bunga (ayat 3) dan dilunasi selepas lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan.
Sudah jelas, klausul ini melegitimasi
kapitalisme pendidikan yang melihat pendidikan bukan sebagai tanggung jawab
negara, tetapi dalam kerangka profit. Dalam bahasa lain, UU ini mengajarkan
warga negara untuk berutang. Padahal, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2),
pendidikan adalah hak rakyat.
Secara
sosiologis, kita bisa memotret pola relasi pembiayaan seperti ini sebagai upaya
mendidik warga negara untuk berutang. Artinya, alih-alih menyiapkan subjek
pendidikan agar piawai melakukan transformasi sosial bagi masyarakatnya (sebagaimana
dikehendaki UU Sisdiknas dan cita-cita perguruan tinggi), pemerintah justru
membuat warga negara “berpikir keras” melunasi utangnya kepada warga
negara. Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita mulia pendidikan, apalagi
dalam konteks semangat kerakyatan yang diharapkan tampil dalam perguruan
tinggi. Jadi, dari paparan di
atas, penulis lebih sepakat untuk menolak RUU tersebut.
0 komentar:
Post a Comment