Menjunjung Tinggi Etika Politik
Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti
di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Dimuat diRadar Lampung, Kamis 9 Agustus 2012
Masalah
politik memang tak pernah “basi” untuk dikaji. Politik bagaikan “perawan cantik”
yang dikejar, diburu, dan didamba, karena semua kaum adam ingin memilikinya.
Maka, tak heran jika banyak cara dilakukan untuk mendapatkannya. Namun, saat
ini banyak politisi sudah keluar dari koridor dan etika politik. Oleh karena
itu, etika politik harus dikaji dan dibumikan sejak dini. Sebab, hal ini sangat
terkait kondisi terkini, apalagi saat ini banyak politisi yang “memperkosa”
keperawanan politik.
Maka
dari itu, sangat penting bila kita kembali menyimak Ketetapan (TAP) MPR No VI/2001
tentang “Etika Kehidupan Berbangsa” sebagai vocal point memperbaiki moral
bangsa. Kehadiran TAP MPR ini berlatar belakang pada keprihatinan munculnya
ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran pelaksanaan
etika kehidupan berbangsa, pascakrisis multidimensional di pengujung Orde Baru.
Lalu, kenapa saat ini banyak politisi tak beretika? Ini tentu sudah bergeser
dari cita-cita foundhing fathers bangsa ini.
Pergeseran
Pergerasan
itu tampak dari konflik sosial berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan
budi luhur, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa,
pengabaian ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya. Karena itu,
diperlukan upaya serius mengingatkan masyarakat dan mendorong revitalisasi
khazanah etika dan moral, agar menjadi acuan dasar kehidupan berbangsa. Pergeseran
cara berpolitik saat ini lahir karena kurangnya kesadaran akan berpolitik
dengan santun dan bijak.
Selanjutnya,
TAP MPR itu pun memaparkan panjang lebar ihwal etika politik dan pemerintahan.
Pada intinya, mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk
bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, dan rendah hati. Juga siap mundur dari jabatan publik jika
terbukti melakukan kesalahan dan kebijakannya bertentangan dengan hukum dan
keadilan masyarakat. Secara teoritis, etika atau filsafat moral mempunyai
tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian, etika politik
memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya.
Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan “memajukan
kepentingan umum”. Jika politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan
golongan tertentu, itu etika politik buruk.
Euforia
reformasi juga memengaruhi sikap para politisi dan pejabat negara. Di era yang “serba
boleh” ini, ironisnya justru makin menunjukkan kemunduran etika politik para
elite politik. Hal ini ditandai semakin menonjolnya sikap “pragmatisme” dalam
perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Sebenarnya, “sifat
hewani” politik itu sudah berulang kali dilarang para budayawan dan filosof di
masa lalu. Hanya saja wujudnya semakin nyata di masa reformasi, sebuah masa di
mana kebebasan bagai pisau bermata dua. Ia bisa leluasa menusuk lawan yang tak
disukai, selain bermanfaat memotong buah atau makanan untuk berbagi.
Politik yang Beretika
Karena
itulah, ada beberapa acuan pokok yang harus menjadi perhatian para politisi
untuk mengukur muatan etika politik dari sebuah politik atau pun kebijakan
publik. Pertama, ia harus menerapkan prinsip kehati-hatian, dengan
mempertanyakan secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari
sebuah tindakan atau kebijakan. Kedua, menguasai prinsip tata kelola yang
berhubungan dengan masalah etika di dalam proses pengambilan keputusan atau
penentuan tindakan. Ketiga, melakukan pilihan rasional yang secara metodologis
menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits)
dari sebuah tindakan/kebijakan dalam rangka kepentingan umum.
Selain
itu, para menteri juga harus bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Ia
harus mengawasi kinerja para dirjen dan deputi agar tak terjadi “kongkalikong”
terhadap anggaran negara. Jika ada bukti bahwa pejabat di kementerian melakukan
kongkalikong, seharusnya ia dipecat. Bila ada dirjen korupsi, menterinya harus
bertanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan pengawasan melekat bisa
berjalan, sehingga sistem pencegahan lebih ampuh daripada sibuk melakukan
penindakan.
Di
sinilah peran Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa terasa begitu
penting. Mengingatkan kembali kepada setiap pejabat dan elite politik untuk
bersikap jujur, amanah, siap melayani, memiliki keteladanan, dan siap mundur
dari jabatan publik jika terbukti bersalah. Jika perlu, TAP itu harus dibumikan
lagi, agar para politisi “melek” dan tahu tata cara berpolitik yang baik dan
santun.
Persoalan etika politik merupakan hal vital dalam demokrasi.
Pasalnya, setiap
perbuatan manusia menimbulkan dampak sesuai dengan yang dilakukan. Perbuatan
baik menghasilkan dampak baik, begitupun sebaliknya. Karena itu, sudah saatnya aktor politik di negeri ini
berpolitik dengan baik, santun, dan menjunjung tinggi UUD 1945. Wallahu a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment