Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 12 August 2012

Menyoal THR dan Nasib Buruh

Menyoal THR dan Nasib Buruh
 Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Metro Siantar, Sabtu 11 Agustus 2012

Baru-baru ini, banyak sekali buruh, karyawan, dan pegawai pemerintahan dari tingkat Desa hingga Negara menuntut untuk segera diberikan Tunjangan Hari Raya (THR). Fenomena seperti ini sudah biasa terjadi, bahkan tiap tahun saat menjelang lebaran.
Diakui atau tidak, mereka bukan menjalankan tugas dan kewajibannya dengan maksimal, namun justru hanya menuntut THR. Apalagi, di bulan puasa banyak sekali pegawai yang “aras-arasen” ketika bekerja di kantor maupun di pabrik. Tidak hanya di kota, di pelosok desa juga demikian. Ini merupakan fenomena yang harus diluruskan. Pasalnya, mereka seharusnya melayani masyarakat, bukan justru berbuat seenaknya saja ketika bekerja. Menjelang lebaran, pasti muncul permasalahan THR. Biasanya, yang mempermasalahkan THR tentu saja para buruh. Namun, saat ini tidak demikian, hampir di seluruh instansi pemerintahan, DPR, Kementerian, mereka mununtut THR. Jika wajah pejabat pemerintahan seperti ini, lalu siapa yang bertanggung jawab atas kinerja mereka? Maka, pemerintah pusat harus segera melakukan langkah preventif dan solusi cerdas atas fenomena ini.
Pertegas Regulasi
Seperti yang sudah diatur, pemberian THR keagamaan, entah untuk Idul Fitri (bagi buruh muslim) atau Natal (bagi buruh nasrani), di perusahaan diatur lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per.04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Menurut peraturan itu, pengusaha diwajibkan memberikan THR keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih mendapat THR minimal satu bulan gaji.
Sementara itu, pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tapi kurang dari 12 bulan mendapat THR secara proporsional. Yaitu, masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah (pasal 3 ayat 1 dan 2 Permenakertrans No Per.04/MEN/1994). Dari waktu ke waktu, selalu saja ada perusahaan yang tega tidak memberikan THR. Pada Lebaran tahun lalu, ternyata ada ratusan perusahaan yang nakal. Misalnya, di antara lebih dari 31.000 perusahaan di Jatim, sekitar 93 perusahaan tidak memberikan THR tahun lalu.
Terkait dengan THR, para pekerja lepas atau kontrak (outsourcing) boleh jadi paling apes sendiri. Sebab, mereka sama sekali tidak menerima THR, meski sudah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal tahun ini. Sebagaimana diketahui, salah satu ketentuan MK mengharuskan hak-hak para buruh outsourcing dipenuhi sebagaimana buruh berstatus tetap di perusahaan, termasuk dalam hal THR.
Dari perusahaan pengguna, para buruh outsourcing biasanya memang tidak mendapat THR. Sementara itu, dari perusahaan penyalur, biasanya mereka juga hanya mendapat uang dengan jumlah tertentu yang jauh di bawah ketentuan THR. Terlepas dari itu, yang terpenting bukanlah menuntut hak, namun karyawan dan pemerintah harus mengutamakan “kewajiban”. Setidaknya, UU di atas harus dipertegas implementasinya, jika perlu pemerintah harus merevisi UU itu yang sekiranya merugikan salah satu pihak.
Ketidakadilan
Seharusnya, siapa saja yang duduk di posisi karyawan maupun pegawai pemerintah harus sadar. Artinya THR memang penting, namun lebih penting lagi adalah memaksimalkan kinerja. Disadari atau tidak, jika perusahaan/pemerintah sudah memberikan THR, pasti mereka malas bekerja. Jika bekerja, jam kerja pun banyak yang “dikorupsi”. Namun, terkadang perusahaan juga tidak adil, karena masih ada perusahaan yang berkelit tidak mau memberikan THR. Kenapa demikian? Penyebabnya adalah dihapusnya pasal pidana dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial. Dua UU tersebut menilai, penangguhan pembayaran THR termasuk sengketa hubungan industrial yang tidak berimplikasi sanksi pidana.
Inilah ironi hukum di negeri ini yang selalu bisa dipakai pihak yang kuat untuk menggencet pihak yang lemah seperti para buruh. Padahal, dengan THR, para buruh akan bisa menikmati hari raya dengan sedikit kegembiraan. Setidaknya, bisa membeli gula yang harganya melambung tinggi. Karena itu, penulis agak pesimistis terhadap langkah beberapa serikat buruh yang hendak melaporkan perusahaan yang tak mau memberikan THR.
Yang menyedihkan, ketika ada satu dua buruh yang mencoba menanyakan kepada manajemen perusahaan, khususnya divisi SDM, permasalahan THR ini justru sering berujung pada hal yang tidak mengenakkan. Mulai ancaman PHK hingga kriminalisasi buruh. Memang, kriminalisasi tidak selalu dipicu persoalan THR saja. Perusahaan memakai senjata kriminalisasi dengan membawa persoalan internal perusahaan ke ranah hukum, dengan melibatkan polisi serta aparat hukum lainnya, agar buruh tidak menuntut THR. Padahal, Konvensi ILO No 87 menyatakan, kepolisian dan militer dilarang campur tangan dalam urusan perburuhan. Namun, begitulah potret buram dunia buruh kita. Hanya untuk mendapatkan THR, buruh malah dikriminalisasi.
Mengapa terulang setiap tahun? Itu semua bergantung pada kemauan politik pemerintah dan DPR. Apakah pemerintah dan DPR berani merevisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang tak mencantumkan pasal pidana untuk pengusaha yang mengemplang THR? Yang jelas harus berani. Tapi, itu jelas hanya retorika. Selama para pengemplang THR tidak diberi sanksi hukum, dipastikan masalah tersebut akan menjadi tradisi tahunan. Padahal, upah yang di dalamnya termasuk THR seharusnya sudah diberikan sebelum kering keringat para buruh (hadis sahih dirawikan Ibnu Majah). Di atas semua itu, memberikan THR juga cerminan tindakan adil. Wallahu a’lam bisshawab. (**)
Penulis adalah Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menyoal THR dan Nasib Buruh Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda