Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 12 August 2012

Politik Hantu Vs Politik Malaikat?


Politik Hantu Vs Politik Malaikat?

Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang,
Tulisan ini dimuat di Radar Lampung, edisi 19 Juli 2012

Dewasa ini, banyak masyarakat memandang politik sebagai suatu hal kotor dan buruk. Paradigma ini lahir akibat tindakan buruk yang dilakukan para pemimpin, pejabat Negara, dan kader partai politik. Mereka telah menumpahkan noda hitam dalam dunia politik. Sehingga, rakyat menjadi apatis terhadap pelaksanaan demokrasi di Negeri ini. Padahal, politik hanya suatu cara atau strategi untuk mencapai tujuan tertentu.
Pada dasarnya, politik merupakan suatu jalan untuk menuju kekuasaan. Sehingga, cara apa pun dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Jadi, dalam hal ini, apa pun bentuk tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang atau kelompok, pasti mereka menggunakan politik. Maka dari itu, berpolitik menjadi keniscayaan dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Namun, seiring berjalannya roda kehidupan, politik sudah dikonotasikan seperti makhluk yang menakutkan. Politik membuat rakyat resah, galau, dan gelisah. Maka, ketika masyarakat mendengar kata “politik” pasti mereka takut dan malas membahasnya. Kontruksi ini lahir dari kenyataan yang ada, artinya masyarakat menganggap politik sebagai hantu adalah karena kenyataan memang demikian, bukan karena mimpi atau “mitos” belaka.
Politik Hantu
Layaknya hantu, politik telah menjadi teror tersendiri bagi masyarakat. Seperti halnya dengan pocong dan kuntilanak yang mengganggu orang, namun politik juga demikian. Contohkan saja pada saat pemilu, banyak teror politik yang berkeliaran, baik menjelma sebagai sogokan, ancaman, fitnah, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, politik berarti hanya bisa memberikan kegelisahan, kepanikan dan ketakutan bagi semua orang. Padahal, pada hakikatnya politik tidaklah demikian, hal itu terjadi karena pelaku politik yang jauh dari “koridor” etika berpolitik yang baik. Akibatnya, masyarakat semakin “jijik” ketika berurusan dengan politik.
Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Sebenarnya, ilmu dan teori politik sangat ideal jika pelaksanaannya ideal, namun kenyataanya banyak sekali praktek politik yang melenceng dari atusan yang ditentukan.
Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi. Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles yang beranggapan bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik ini menyangkut bermacam macam kegiatan yang diantaranya terdiri dari proses penentuan tujuan dari sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.
Menurut Andrew Heywood, politik merupakan kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Sedangkan Rod Hague (1998) mengatakan politik sebagai kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha mendamaikan perbedaan diantara anggotanya.
Dari beberapa definisi di atas, sebenarnya politik merupakan sesuatu yang “suci” dan “mulia”. Lalu, bagaimana jika praktek politik di Indonesia sering menakuti masyarakat? tentu hal ini melenceng dari cita-cita para foundhing fathers bangsa ini. Maka, untuk menghilangkan asumsi bahwa politik itu seperti hantu, dibutuhkan hadirnya “politik malaikat” yang selalu menyeru pada kebaikan dan membawa pencerahan.
Politik Malaikat
Segala sesuatu di dunia ini memang terdiri dari dua bagian, ada putih ada hitam, ada air ada api, ada atas ada bawah, begitu pula dengan politik, ada politik hantu, ada pula politik malaikat (Political Angels). Maka, tak heran jika dunia perpolitikan di Indonesia akan selalu diwarnai oleh kedua jenis politik tersebut. Namun, kenyataanya politisi di Indonesia lebih cenderung mengamalkan politik hantu sebagai jalan untuk menuju kemenangan.
Kenapa demikian? Praktek politik di lapangan tak akan lepas dari manipulasi, money poitic, hingga strategi yang menghalalkan segala cara. Nah, hal inilah yang membuat masyarakat “apatis” terhadap pelaksanaan demokrasi. Padahal, pada hakikatnya politik itu suci dan bersih, hanya pelaksananya saja yang terkadang mengotori substansi dari politik itu sendiri.


Relasai Politik dan Uang
James Kerr Pollock (1932) menyatakan bahwa relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, ketika uang secara tanpa batas terus berbicara dalam kehidupan politik.
Diakui atau tidak, peran uang sangat vital dalam demokrasi modern, selain digunakan dalam pembiayaan iklan dan kampanye, uang juga digunskan biaya seleksi kandidat, penyelenggaraan survei dan mobilisasi pemilih. Namun, sejatinya peran uang sangat membahayakan bagi proses demokrasi ketika parpol dan kandidat berlomba-lomba mengumpulkan uang dengan berbagai cara. Beragam sumber uang haram, praktik pencucian uang, dan politik uang terus dijalankan parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Masifnya politik uang serta perolehan dan pengelolaan dana kampanye dalam pemilu, akan semakin menambah cermin buruk pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Hampir dapat dipastikan, setiap pemilu berlangsung, politik uang selalu terjadi.
Menata Ulang
Jika pelaksanaan demokrasi bisa ideal, maka cara-cara di atas harus ditata ulang. Pertama, dengan memperketat seleksi sosok calon kepala daerah/presiden. Hal itu terutama terkait dengan integritas dan kualitasnya. Kedua, ketegasan pemerintah untuk membuat dan memaksimalkan undang-undang pelarangan money politic. Ketiga, pemberian sanksi atas mekanisme perolehan dan pelaporan dana kampanye. Keempat, pendidikan politik dari kalangan bawah hingga atas secara maksimal.
Pada intinya, pemerintah harus membuat regulasi ketat dalam hal dana kampanye dan politik uang. Selain itu, pemerintah harus tegas terhadap parpol atau kandidat yang menghalalkan berbagai cara untuk kemenangannya. Perlu diketahui, berpolitik merupukan harga mati, namun harus mengutamakan etika berpolitik dengan baik dan santun. Jika politisi di Indonesia masih mengutamakan poltik hantu, maka bersiaplah Indonesia akan runtuh, karena mereka telah meruntuhkan proses demokrasi. Wallahu a’lam bisswab.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Politik Hantu Vs Politik Malaikat? Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda