Politik Hantu Vs Politik Malaikat?
Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti
di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang,
Tulisan
ini dimuat di Radar Lampung, edisi 19 Juli 2012
Dewasa ini, banyak masyarakat memandang politik sebagai
suatu hal kotor dan buruk. Paradigma ini lahir akibat tindakan buruk yang
dilakukan para pemimpin, pejabat Negara, dan kader partai politik. Mereka telah
menumpahkan noda hitam dalam dunia politik. Sehingga, rakyat menjadi apatis
terhadap pelaksanaan demokrasi di Negeri ini. Padahal, politik hanya suatu cara
atau strategi untuk mencapai tujuan tertentu.
Pada dasarnya, politik merupakan suatu jalan untuk menuju
kekuasaan. Sehingga, cara apa pun dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Jadi,
dalam hal ini, apa pun bentuk tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang atau
kelompok, pasti mereka menggunakan politik. Maka dari itu, berpolitik menjadi keniscayaan
dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Namun, seiring berjalannya roda kehidupan, politik sudah
dikonotasikan seperti makhluk yang menakutkan. Politik membuat rakyat resah,
galau, dan gelisah. Maka, ketika masyarakat mendengar kata “politik” pasti
mereka takut dan malas membahasnya. Kontruksi ini lahir dari kenyataan yang
ada, artinya masyarakat menganggap politik sebagai hantu adalah karena
kenyataan memang demikian, bukan karena mimpi atau “mitos” belaka.
Politik Hantu
Layaknya hantu, politik telah menjadi teror tersendiri bagi
masyarakat. Seperti halnya dengan pocong dan kuntilanak yang mengganggu orang, namun
politik juga demikian. Contohkan saja pada saat pemilu, banyak teror politik
yang berkeliaran, baik menjelma sebagai sogokan, ancaman, fitnah, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, politik berarti
Politik merupakan
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Sebenarnya, ilmu dan teori
politik sangat ideal jika pelaksanaannya ideal, namun kenyataanya banyak sekali
praktek politik yang melenceng dari atusan yang ditentukan.
Politik sangat erat
kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan
alokasi atau distribusi. Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak
dipengaruhi filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles yang beranggapan
bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Usaha
untuk mencapai masyarakat yang terbaik ini menyangkut bermacam macam kegiatan
yang diantaranya terdiri dari proses penentuan tujuan dari sistem serta
cara-cara melaksanakan tujuan itu.
Menurut Andrew Heywood,
politik merupakan kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur
kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Sedangkan Rod Hague (1998) mengatakan politik
sebagai kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai
keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha
mendamaikan perbedaan diantara anggotanya.
Dari beberapa definisi
di atas, sebenarnya politik merupakan sesuatu yang “suci” dan “mulia”. Lalu,
bagaimana jika praktek politik di Indonesia sering menakuti masyarakat? tentu
hal ini melenceng dari cita-cita para foundhing
fathers bangsa ini. Maka, untuk menghilangkan asumsi bahwa politik itu
seperti hantu, dibutuhkan hadirnya “politik malaikat” yang selalu menyeru pada
kebaikan dan membawa pencerahan.
Politik
Malaikat
Segala sesuatu di dunia
ini memang terdiri dari dua bagian, ada putih ada hitam, ada air ada api, ada
atas ada bawah, begitu pula dengan politik, ada politik hantu, ada pula politik
malaikat (Political Angels). Maka,
tak heran jika dunia perpolitikan di Indonesia akan selalu diwarnai oleh kedua jenis
politik tersebut. Namun, kenyataanya politisi di Indonesia lebih cenderung
mengamalkan politik hantu sebagai jalan untuk menuju kemenangan.
Kenapa demikian?
Praktek politik di lapangan tak akan lepas dari manipulasi, money poitic, hingga strategi yang
menghalalkan segala cara. Nah, hal inilah yang membuat masyarakat “apatis”
terhadap pelaksanaan demokrasi. Padahal, pada hakikatnya politik itu suci dan
bersih, hanya pelaksananya saja yang terkadang mengotori substansi dari politik
itu sendiri.
Relasai
Politik dan Uang
James Kerr Pollock (1932) menyatakan bahwa relasi antara
uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan
pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, ketika
uang secara tanpa batas terus berbicara dalam kehidupan politik.
Diakui atau tidak, peran uang sangat vital dalam demokrasi
modern, selain digunakan dalam pembiayaan iklan dan kampanye, uang juga digunskan
biaya seleksi kandidat, penyelenggaraan survei dan mobilisasi pemilih. Namun,
sejatinya peran uang sangat membahayakan bagi proses demokrasi ketika parpol
dan kandidat berlomba-lomba mengumpulkan uang dengan berbagai cara. Beragam
sumber uang haram, praktik pencucian uang, dan politik uang terus dijalankan
parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Masifnya politik uang serta
perolehan dan pengelolaan dana kampanye dalam pemilu, akan semakin menambah
cermin buruk pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Hampir dapat dipastikan,
setiap pemilu berlangsung, politik uang selalu terjadi.
Menata Ulang
Jika pelaksanaan demokrasi bisa ideal, maka cara-cara di
atas harus ditata ulang. Pertama,
dengan memperketat seleksi sosok calon kepala daerah/presiden. Hal itu terutama
terkait dengan integritas dan kualitasnya. Kedua,
ketegasan pemerintah untuk membuat dan memaksimalkan undang-undang pelarangan money politic. Ketiga, pemberian sanksi atas mekanisme perolehan dan pelaporan
dana kampanye. Keempat, pendidikan
politik dari kalangan bawah hingga atas secara maksimal.
Pada intinya, pemerintah harus membuat regulasi ketat dalam
hal dana kampanye dan politik uang. Selain itu, pemerintah harus tegas terhadap
parpol atau kandidat yang menghalalkan berbagai cara untuk kemenangannya. Perlu
diketahui, berpolitik merupukan harga mati, namun harus mengutamakan etika
berpolitik dengan baik dan santun. Jika politisi di Indonesia masih mengutamakan
poltik hantu, maka bersiaplah Indonesia akan runtuh, karena mereka telah
meruntuhkan proses demokrasi. Wallahu
a’lam bisswab.
0 komentar:
Post a Comment