Puasa Yes, Pertikaian No!
Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies/CDIS IAIN
Walisongo Semarang
Dimuat di Waspada Medan, Senin 30 Juli 2012
Umat Islam di seluruh dunia kembali menyambut bulan suci
Ramadan. Umat muslim Indonesia juga menyambut gembira kedatangan bulan yang
penuh rahmat ini. Meskipun penentuan awal Ramadan berbeda, namun hal itu tidak
boleh menjadikan motivasi untuk bertengkar. Intinya, perbedaan yes, pertikaian no. Perbedaan merupakan keniscayaan, karena ini sudah ditakdirkan
oleh Tuhan. De Fleur juga menyebutkan, setiap individu tidak sama perhatiannya,
kepentingannya, kepercayaan maupun nilai-nilainya. Maka dengan sendirinya
pandangan mereka terhadap sesuatu juga berbeda.
Atas dasari di atas, sudah seharusnya umat Islam harus dewasa
menyikapi perbedaan yang ada. Bahkan, Ramadan bukan hanya milik umat Islam,
pemeluk agama lain di Indonesia juga menghormati bulan ini. Kehidupan saling
menghormati ini sudah terjalin secara turun temurun di Tanah Air dan
sepantasnya untuk terus dijaga. Penentuan tanggal 1 Ramadan yang menjadi tanda
dimulainya puasa juga tidak dipersoalkan lagi. Kaum muslimin sudah menyadari,
bahwa memang ada keberagaman metode dalam menentukan awal puasa. Hal itu
menyebabkan awal puasa bisa berbeda.
Penentuan awal Ramadan memiliki dasar hukum dan metode
masing-masing. Sehingga klaim sah dan tidak sah tidak diperlukan dan
dibesar-besarkan. Jangan sampai ada yang merasa paling benar, karena semua ada
dasar hukumnya. Meski terjadi perbedaan awal Ramadan, tapi semua umat muslimin
sepakat bahwa di bulan mulia ini adalah saat tepat untuk untuk penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) maupun untuk
pengembangan kualitas kejiwaan. Daripada meributkan masalah awal puasa, umat
Islam lebih baik berkonsentrasi untuk memusatkan diri dalam meramaikan
masjid-masjid, pengajian, tadarus Al Quran, menyantuni yatim piatu dan fakir
miskin, dan sebagainya.
Di dalam bulan puasa, seluruh warga selayaknya menjunjung tinggi
sopan santun dan saling menghormati. Kepolisian tentu saja harus tegas terhadap
mereka yang menganggu kskhusukkan puasa, seperti tempat-tempat hiburan, pesta
petasan dan sebagainya. Sekiranya ada pelanggaran yang terjadi, biarlah hanya petugas
keamanan yang turun tangan. Aksi sweeping atau razia justru akan
menambah masalah. Bila razia dilakukan oleh masyarakat sipil, hal ini berdampak
pada kenyamanan dan masalah aturan. Forum dialog dengan pemuka agama, tokoh
masyarakat dan instansi terkait perlu terus dilakukan agar kemuliaan Ramadan
bisa tetap terjaga.
Selain terkait pelaksanaan ibadah, bulan Ramadan juga menjadi
ajang rumah tangga untuk meningkatkan keharmonisan keluarga. Para orang tua
bersedia mengeluarkan anggaran lebih untuk belanja kebutuhan sehari-hari yang
berimplikasi kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga menjelang Ramadan
sudah sangat wajar karena kenaikan permintaan. Tapi beberapa pihak seringkali
melakukan penimbunan untuk mencari keuntungan atau menaikan harga secara tidak
wajar. Inilah yang harus selalu menjadi perhatian khususnya Kementerian
Perdagangan, agar kenaikan harga tidak sedemikian tinggi sehingga maresahkan
masyarakat.
Tentu di lain pihak, umat Islam juga harus mengendalikan belanja
yang berlebihan. Pada bulan puasa, kaum muslimin selayaknya menahan diri dari
perilaku pemborosan. Puasa merupakan wujud dari kepatuhan, dan ketaatan kepada
Tuhan yang ditunjukkan dengan memperbanyak ibadah. Berpuasa juga merupakan
sarana untuk berjihad melawan nafsu, menahan dari berbagai gemerlapnya surga
duniawi, dan mengajarkan sifat sabar. Bulan Ramadan juga menjadi saat yang
tepat untuk meningkatkan persaudaraan dan menolong sesama. Selama
sebulan, umat Islam akan menjalani ujian lahir batin sehingga jika lulus pada
akhir puasa, manusia akan menjadi fitri kembali. Semoga pelaksanaan ibadah
Ramadan tahun ini akan berjalan lancar. Amin
Toleransi dan Kebersamaan
Perbedaan tersebut wajar terjadi karena metode penghitungan
falak pun beragam. Metode hisab yang digunakan tidak hanya satu landasan,
melainkan sesuai dengan interpretasi dalil yang digunakan oleh para pakar
falak. Sementara metoda rukyat pun diperkirakan akan mengalami perbedaan pula
karena ketidaksepahaman akan tinggi derajat hilal. Dengan demikian, menggunakan
satu metoda, baik hisab maupun rukyat, tentunya telah menghasilkan catatan dan
keputusan awal bulan yang berbeda.
Banyak faktor penyebab terjadinya perbedaan, bisa disebabkan
adanya dikotomi metode hisab dan rukyat, perbedaan kriteria penetapan,
bermacam-macamnya acuan hisab, dan adanya kecenderungan egosentris berbagai
pihak. Keempat hal itu menjadi sebuah catatan bahwa masing-masing pihak yang
berbeda tersebut tidak akan bisa menyamakan perhitungan karena interpretasi
yang diambil pun berbeda. Penafsiran ayat demi ayat dan hadits demi hadits
tentang falakiyah tidak sama, sehingga perbedaan tidak bisa dihindari.
Itu dipertegas bahwa apa yang telah ditetapkan pemerintah tidak
diamini oleh berbagai pihak. Ketetapan pemerintah terkait awal Ramadhan dan
bulan-bulan Hijriah adalah tinggi hilal tidak kurang dari 2 derajat, jarak
sudut hilal ke matahari tidak kurang dari 3 derajat, dan umur hilal tidak
kurang dari 8 jam setelah ijtima terjadi.
Ketiga hal yang ditetapkan pemerintah tersebut belum sepenuhnya
'diiyakan' oleh ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam tertentu. Hal ini menjadi
perbedaan tersendiri bagi masing-masing pihak. Ada yang mengatakan bahwa tinggi
1.5 derajat pun sudah dinyatakan masuk awal bulan. Bahkan ada yang mengatakan
bahwa kurang dari 1.5 derajat juga sudah dinyatakan masuk awal bulan, padahal
pemerintah memberikan standar 2 derajat, tidak kurang. Perbedaan tentang konsep
tersebut antara masing-masing pihak, akan membuat perhitungan awal Hijriah
tidak bisa disamakan. Jika demikian halnya, perbedaan tersebut selamanya tidak
bisa disamakan. Pemerintah yang gagal mengakomodasi dan memfasilitasi pun
terkesan tidak memiliki kekuatan. Akhirnya, umat Islam di Indonesia selamanya
akan mengalami perbedaan dan tidak pernah bisa disatukan.
Keniscayaan
Bagaimanapun toleransi adalah satu-satunya gerbang untuk menuju
persatuan di tengah perbedaan umat Islam. Meski perbedaan itu kadangkala
menjadi sensitif, tetapi jika seluruh umat Islam di Indonesia lebih
mengedepankan toleransi maka perbedaan tersebut dijamin tidak akan menimbulkan
perselisihan. Dengan demikian, kerukunan sesama umat pun bisa tetap terwujud.
Toleransi dalam Islam merupakan keniscayaan. Artinya, toleransi
sudah ada sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di
dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya
secara konsisten. Toleransi merupakan wujud implementasi mu’amalah (interaksi
sosial). Jadi, hidup toleransi merupakan harga mati bagi setiap umat Islam.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah
sikap kolonial, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal.
Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam
telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah
peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment