Lebaran menjadi momentum berbahagia untuk semua kalangan, tak terkecuali koruptor yang masih berada di dalam tahanan. Baru-baru ini, ratusan koruptor di negeri ini mendapat remisi (pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia). Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174/1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana
Namun, bagaima jika remisi itu terlalu berlebihan? Terkesan pemerintah justru “memuliakan koruptor.” Karena itu, hal ini sangat menarik dikaji. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, remisi kepada narapidana korupsi diberikan ketika narapidana menjalani 1/3 masa hukuman pidana. Maksimal remisi umum itu enam bulan ketika sudah melewati masa tahun keenam. Keputusan Kemenkum HAM Jabar memberikan remisi terhadap tiga terpidana korupsi termasuk Gayus Tambunan disesalkan banyak pihak. Pemerintah dianggap “pro koruptor,” karena pemberian remisi itu tak layak. Seharusnya, koruptor seperti Gayus dan tiga teman lainnya mendapatkan hukuman berat, bukan sebaliknya.
Kebijakan pemerintah untuk para koruptor seperti Gayus dan tiga lainnya mendapat remisi sangat tak tepat. Pasalnya, pemberian remisi itu dinilai melanggar Undang Undang (UU) yang sudah ada. Jika demikian, sepertinya hukum di negeri ini tak ada harganya. Maka, KPK lebih baik dibubarkan. Biarkan kita hidup tanpa payung hukum, seperti hidup dijalanan. Karena pada dasarnya pemberian remisi itu tak sesuai dengan UU, kebijakan itu seperti mengada-ada. Sekadar diketahui, Kemenkum HAM Jabar memberikan remisi 4 bulan kepada 3 koruptor. Mereka adalah Gayus Halomoan Tambunan, Puguh Wirawan, dan Agus Supriadi. Belum lagi pemberian remisi di daerah lain, tentu sangat banyak koruptor dimulyakan.
Koruptor Dimulyakan?
Apakah suatu saat nanti akan lahir era penghormatan untuk para koruptor di negeri ini? Mereka bukan lagi musuh masyarakat yang dinistakan, melainkan justru dihormati. Korupsi bukan tindak kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan biasa seperti pencurian sandal. Tata cara “penghormatan” itu mulai kita rasakan, misalnya dengan menerapkan hukuman ringan (60 persen koruptor dihukum 1-2 tahun), remisi luar biasa, dan memberikan hak-hak istimewa sejak di tahanan hingga masuk penjara.
Peringatan HUT Ke-67 Kemerdekaan RI menjadi salah satu momentum melegalkan penghormatan. Saat pemerintah memberikan remisi kepada 58.595 narapidana, 583 di antaranya koruptor, dan 32 bebas. Bandingkan dengan remisi untuk narapidana teroris, hanya 94 orang, dan narkoba 135 orang. Yang keterlaluan, Gayus Tambunan, salah satu “pelopor” korupsi pajak era reformasi itu mendapat pengurangan hukuman hingga 4 bulan. Remisi ini serasa menjauhi rasa keadilan dan menyakiti rakyat.
Kenapa para elite dan kelompok tertentu tak henti-henti memuliakan koruptor? Selama ini, negara melalui aparatur sudah sibuk memanjakan mereka. Semakin besar uang negara dirampok, semakin besar pula perhatian aparat kepada mereka, dari mengubah sel menjadi ”hotel” dan menghadiahi remisi besar. Hakikat penjara bukan lagi untuk menghukum, namun mengutamakan dimensi “kemanusiaan” dengan memberikan hak-haknya, sehingga meniadakan efek jera.
Negeri ini memang pemaaf, begitu murah mengobral maaf untuk para koruptor. Penggarong uang negara dibangunkan gedung tahanan khusus dengan segala fasilitasnya, sementara terpidana “kelas teri” ditumpuk di ruang sempit seperti benda mati. Semangat korup aparatur menemukan habitatnya bersama para tahanan koruptor. Kolaborasi itu melahirkan diskriminasi. Mengapa negara tak memuliakan narapidana kelas maling sandal dan pencuri biji kakao? Pemerintah terkesan membela dan memulyakan koruptor.
Berbagai cara ditempuh untuk menghormati koruptor, termasuk memanipulasi ritual agama-budaya menjadi ritual politik. Masyarakat kita menilai, memaafkan menjadi “kata sakti” menerima dan melupakan kesalahan orang. Saat masyarakat terlena, momentum Lebaran dan HUT Kemerdekaan pun dimanfaatkan untuk memaafkan para penjahat dengan modus grasi. Bukankah dalam obat utama pidana korupsi perlu ketegasan hukum demi tegaknya supremasi hukum? Sungguh ironis fenomena ini. Padahal, banyak orang menilai bahwa remisi berlebihan pada koruptor adalah “haram,” karena koruptor menjadi musuh bangsa ini.
Lalu, bagaimana semangat penghapusan remisi yang pernah didengungkan? Mari kita hentikan retorika itu. Jika serius menerapkan hukum humanis, sepatutnya pemerintah proporsional. Penguasa hendaknya bijak memahami tradisi saling memaafkan dan menghormati penegakan hukum. Penguasa tak bisa seenaknya memberi ampunan, terutama untuk koruptor demi kelanggengan hegemoni kekuasaan. Karena itu, remisi berlebihan bagi koruptor harus dihentikan dan dihapus. Hal itu menodai semangat KPK dalam memberantas korupsi. Wallahu a’lam bisshawab.
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, Senin 27 Agustus 2012
0 komentar:
Post a Comment