Selesaikan Pertarungan KPK vs Polri
Oleh Hamidulloh Ibda
Pertarungan yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian kian memanas. Pihak Polri terus menyerang KPK, dan KPK terus berargumen bahwa polisi tak berhak menangani kasus simulator SIM yang sebelumnya sudah ditangani KPK. Kisruh pun terus berlanjut ke media. Pada halaman depan ramai memberitakan kasus Cicak vs Buaya jilid terbaru ini. Sayangnya, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diminta menengahi kisruh ini belum juga memberi solusi konkrit.
Padahal, banyak kalangan
berharap “ketegasan pemerintah” untuk menguak tuntas kasus ini. Jika
tidak, perseteruan itu akan terus meruncing. Kasus seperti ini memang
harus ada sikap jelas, untuk hal-hal seperti ini adalah wewenang
pemerintah. Selama ini, penuntasan kasus yang berbau korupsi selalu
ditangani KPK. Jadi, agar persoalan kewenangan antarpenegak hukum tidak
terus menggelinding harus diselesaikan secara santun.
Di sisi lain, Menko Polhukam Djoko Suyanto kemarin secara khusus
menggelar jumpa pers terkait kisruh KPK-Polri. Menurutnya, perebutan
kewenangan dalam menangani kasus alat simulasi mengemudi di Korlantas
ini sudah mengarah kepada polemik yang tak sehat. Polemik ini harus
dicarikan solusinya. Apalagi, kedua lembaga ini adalah lembaga penegak
hukum.Pelanggaran KPK-Polri Kabareskrim Komjenpol Drs Sutarman, menyatakan bahwa KPK telah melanggar etika antarlembaga ketika melakukan penyitaan barang bukti kasus dugaan korupsi Simulator Ujian SIM di Markas Korlantas Mabes Polri, Senin-Selasa (30-31/7/2012) lalu. Pasalnya, Polri dan KPK telah diikat MoU dalam penanganan kasus korupsi yang dilakukan bersama-sama. Setelah dipelajari, substansi kesepakatan Polri-KPK dalam MoU ternyata melanggar ketentuan dalam Pasal 50 UU No 30/2002 tentang KPK.
Alasannya, dalam MoU tersebut KPK-Polri melakukan bagi-bagi tugas penyidikan kasus korupsi. Sedangkan dalam Pasal 50 UU KPK jelas disebutkan penyidikan kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan jika KPK telah mulai melakukan penyidikan yang sama. Artinya, UU KPK melarang duplikasi penyidikan kasus antara KPK-kepolisian-kejaksaan demikian.
Secara hukum, MoU merupakan perikatan keperdataan yang mengikat kedua belah pihak yang membuat dan menandatanganinya. Syarat-syarat supaya perikatan demikian sah menurut hukum salah satunya adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum (vide KUH Perdata Pasal 1320 jo 1337). Intinya, pelanggaran Sutarman Cs tersebut berdimensi pidana dan administrasi (disiplin) sekaligus.
Di mana selain bisa berakibat sanksi hukum pidana (penjara dan denda), juga sanksi disiplin (teguran, pencopotan dari jabatan, pemecatan, dll). Simpulannya, KPK tidak melanggar norma hukum dan etik apapun karena MoU tersebut dinilai batal demi hukum. Sebaliknya, Polri cq. Kabareskrim jelas dan tandas melanggar UU Tipikor dan UU KPK.
Butuh Ketegasan Pemimpin
Berbagai elemen masyarakat mengharapkan agar SBY bertindak tegas menengahi perseteruan KPK vs Polri. KPK merasa berhak menangani, karena merasa sudah mendahului penyidikan, dan Polri pun mempunyai alasan yang sama untuk terus melanjutkan penyidikan. Menurut penjelasan Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, SBY membatasi diri untuk tidak masuk ke dalam ranah hukum, namun Presiden hanya mengimbau agar Kepolisian Negara RI dan KPK jangan saling berkompetisi dalam penanganan kasus hukum (Kompas, 4/8). Padahal, seharusnya tidaklah selalu kepedulian SBY menengahi perseteruan itu diterjemahkan sebagai bentuk intervensi seorang Kepala Negara dalam persoalan hukum.
Inilah yang menyebabkan penegakan hukum di republik ini sulit ditegakkan, karena Presiden menjadi “ambigu” ketika berhadapan dengan kemelut yang terjadi menyangkut persoalan hukum. SBY seakan tak mengetahui apa yang bisa dia lakukan dan apa yang menjadi haknya untuk bisa campur tangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut hukum.
Kegamangan SBY ini tidak saja hanya menyangkut hukum, tapi menghadapi berbagai persoalan yang ada di dalam negeri. Menyelesaikan konflik di internal Partai Demokrat saja, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY tak mampu, bagaimana mungkin masyarakat bisa berharap agar SBY bisa mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia secara umum.
Belum ada sikap seorang “Negarawan” yang diperlihatkan SBY dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi, SBY hanya bisa mengeluarkan Instruksi yang tidak dibarengi dengan ketegasan dalam pelaksanaannya, SBY hanya bisa mengimbau dan seterusnya-seterusnya. Inilah yang menyebabkan segala perintah dan imbauan SBY tidak pernah dipatuhi dan dilaksanakan oleh bawahannya.
Kalau menyelesaikan kemelut KPK vs Polri saja SBY tak sanggup, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan kepedulian SBY terhadap masalah Muslim Rohingnya di Myanmar. Selama SBY tak tegas dan cerdas, maka selama itu pula SBY tak bisa melakukan segala hal yang dialami negara ini. Wallahu a’lam bisshawab. (**)
Penulis adalah Direktur Eksekutif HI
Study Centre Semarang
0 komentar:
Post a Comment