Solusi dari Pertikaian KPK-Polri
Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur LAPMI Cabang Semarang,
Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo
Dimuat di Koran
Wawasan, Sabtu 11 Agustus 2012
Dewasa
ini, media massa masih ramai oleh perebutan kewenangan antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kedua lembaga ini bertikai dalam
menangani kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM)
yang dilakukan Korlantas Polri pada tahun anggaran 2011. Padahal, pers sudah
diminta untuk tidak memosisikan kedua lembaga itu secara head to head dalam masalah tersebut. Namun, kenyataanya tidak
seperti harapan.
Memang
pemerintah tidak dapat mendikte media massa, sepanjang pemberitaan tersebut
telah memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik. Karena itu, resep yang paling mujarab
adalah terselesaikannya “mediasi” di antara kedua lembaga tersebut serta
kedewasaan dan kesadaran mereka. Yang tak boleh dilupakan dalam hal ini adalah
rasa keadilan masyarakat. Karena sesungguhnya, inilah tujuan dari hukum.
Sampai
hari ini, para pengamat hukum, tokoh politisi, dan beberapa kalangan masih
belum melihat adanya perkembangan signifikan dari penyelesaian “sengketa”
kewenangan antara KPK dan Polri. Polri masih melihat pemahaman kesepakatan
untuk bersinergi dalam penanganan kasus itu dengan membagi jatah penyidikan.
Sementara KPK tampaknya terpaksa menerima kesepakatan berbagi itu demi menjaga
harmoni antarlembaga.
Akan
tetapi, fakta ini bagaikan sebuah ironi penegakan hukum pidana di Indonesia.
Pasalnya, bagaimana mungkin peristiwa pidana yang sama diberkaskan oleh dua
penyidik dari lembaga berbeda? Tentu sangat lucu dan tidak masuk akal. Seperti
diketahui, sengketa kewenangan penyidikan ini mencuat setelah terungkapnya
kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian SIM di Korlantas Polri pada 2011
senilai Rp196 miliar. Kerugian negara dalam kasus ini ditengarai sekitar Rp 100
miliar.
Yang
menjadi sorotan dalam kasus ini adalah dugaan keterlibatan anggota Polri,
bahkan termasuk petinggi di Korlantas, yakni Irjen Pol Djoko Susilo (eks Kepala
Korlantas Polri) dan Brigjen Pol Didik Purnomo (Wakil Kepala Korlantas Polri).
Tak heran bila proses penggeledahan dan penyitaan dokumen di kantor Korlantas
sempat diwarnai dengan perang urat syarat, hingga akhirnya mereda setelah
petinggi kedua institusi penegak hukum itu bertemu dan sepakat bersinergi dalam
proses penyidikan.
Namun,
persoalan berlanjut pelik dan panjang. Polri menyatakan bahwa tersangka Djoko
Susilo merupakan jatah KPK, karena sudah berstatus tersangka oleh KPK, sedangkan
untuk tersangka lainnya merupakan jatah Polri. Dalam kasus tersebut, KPK telah
menetapkan empat tersangka. Mereka adalah Irjen Pol Djoko Susilo, Brigjen Pol
Didik Purnomo, Budi Susanto (Presiden Direktur PT Citra Mandiri Metalindo
Abadi), dan Sukotjo Bambang (Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia).
Sementara
Bareskrim Mabes Polri, hanya dalam hitungan hari langsung menetapkan lima orang
tersangka. Tiga di antaranya juga berstatus tersangka di KPK, yakni Brigjen
Didik, Budi Susanto, dan Sukotjo Bambang. Dua tersangka lain adalah AKBP Teddy
Rismawan dan Kompol Legimo. Mereka pun sudah ditahan di rumah tahanan Polri.
Lihatlah,
bagaimana mungkin untuk satu perkara dengan tersangka yang sama diberkaskan
oleh dua penyidik dari institusi yang berbeda. KPK berpendapat bila pihaknya
yang berhak menyidik dengan berlandaskan pada Pasal 50 ayat (3) UU KPK. Di situ
disebutkan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang melakukan penyidikan
terhadap kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan KPK. Menurut KPK,
pihaknya telah mengusut kasus itu sejak Januari 2012. Lantas, pada 27 Juli
2012, mereka menetapkan Djoko dkk sebagai tersangka. Di lain pihak, Mabes Polri
baru bergerak setelah kasus ini merebak di media pada April 2012. Sementara
itu, Polri pun punya alasan. Pihaknya mempunyai status yang jelas dalam
penegakan hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 30 UUD 1945.
Menanggapi
perdebatan itu, mayoritas pengamat dan ahli hukum, terlebih-lebih para penggiat
antikorupsi, berpendapat bahwa penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota
Polri bahkan jenderal bintang satu dan bintang dua, seharusnya ditangani KPK. Untuk
Polri, tak perlu “ikut campur” menanganinya. Kenapa demikian? Ada beberapa
alasan logis, yakni Pasal 50 ayat (3) UU KPK, serta menghindari konflik
kepentingan dan imparsialitas mengingat tersangkanya adalah anggota Polri,
bahkan petinggi di Polri.
Semua
orang berharap, para pihak bersengketa tersebut dapat membuka diri mencari
penyelesaian terbaik dan secepatnya. Berbagai ketentuan peraturan perundangan,
bahkan konstitusi, yang diajukan hendaknya dikembalikan pada tujuan hukum itu
sendiri. Tujuan hukum itu bersifat universal, yakni menciptakan ketertiban,
ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Semoga perdebatan ini berakhir dengan melihat kembali pada asas
keadilan dan manfaatnya bagi masyarakat, bukan justru melakukan hal bodoh yang
merugikan. Wallahu a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment