SUDUT GELAP DEMOKRASI
INDONESIA
Oleh: Hamidulloh Ibda
Peneliti Centre For Democracy and
Islamic Studies (CDIS) Semarang
Tulisan ini dimuat di Metro Siantar, edisi 12 April 2012.
Edward
Shils (1972) mengatakan bahwa praktek politik Indonesia bukan lahan subur untuk
idealitas dan perjuangan. Meskipun
banyak ilmuwan dan praktisi politik memiliki ide kebangsaan, namun mereka tidak
berhasil membangun bangsanya sendiri.
Kenyataanya, penampilan Indonesia sebagai negara
demokrasi sepertinya belum ideal. Praktek KKN terus berlanjut, pembobolan bank
belum berhenti, penyalahgunaan wewenang merajalela, mafia hukum dan peradilan
semakin kasatmata, kekerasan semakin menghantui masyarakat. Tentu saja ada
banyak faktor penyebab. Akan tetapi, inti persoalanya berada pada terabaikanya
penataan ulang dan pembenahan kejiwaan bangsa. Dalam hal ini mencakup masalah
ideologi, paham kenegaraan, serta perubahan paradigma pendekatan dalam
penyelenggaraan negara yang kental dengan ”pragmatisme-reaksioner”.
Dengan menempatkan secara tunggal bahwa demokrasi adalah
segalanya, maka dengan mudah negara berdalih semua proses dan kebijakan negara
adalah hasil dari aspirasi warga negara melalui berbagai hal termasuk wakilnya
di parlemen. Inilah barangkali oleh para penyelengaara negara dijadikan
legitimasi.
Rasionalitas politik yang mencakup legislatif, eksekutif
dan yudikatif sesungguhnya mempunyai fungsi checks and balances dalam
paket enam lembaga negara demokrasi yaitu: partai politik, pemilu, parlemen,
eksekutif, peradian dan media bebas. Namun, kenyataanya publik sudah tidak
percaya dengan pengejewantahan nilai-nilai demokrasi. Partai politk misalnya,
sebagai salah satu instrumen demokrasi suatu negara sampai hari ini kehilangan
ruh sesungguhnya, yaitu tekad, semangat, jiwa dan cita-cita serta spirit
perjuangan untuk membela kepentingan rakyat. Yang terjadi justru meraka lebih
sibuk ngurus perutnya sendiri dan kelompoknya dengan menyedot uang negara
melalui berbagai modus. Hal ini terbukti dengan berbagai kasus seperti
Nazaruddin, hakim Syarifudin, Nunun Nurbaeti, Century, dan sebagainya.
Demokrasi yang Haram
Dalam sejarahnya, semua kekuasaan yang ada dalam
masyarakat sedikit banyak memiliki andil menitipkan kepentingan pada negara.
Namun, tak dapat dipungkiri ada kelompok yang dominan dibandingkan dengan
kelompok lainya sehingga kepentingan lebih banyak berhasil.
Meskipun
semrawut, proses demokratisasi di dunia masih terus berlanjut. Dengan dalih
demokrasi, banyak politisi dengan mudahnya mereka menyalahgunakan posisinya.
Dengan dalih demokrasi, mereka bisa berbuat sakarepe
dewe. Dengan demokrasi, mereka berdalih untuk apa pun.
Hampir
semua negara di dunia ini meyakini demokrasi sebagai tolok ukur dari keabsahan
politik. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah
menjadi basis bagi tegak kukuhnya sistem politik demokrasi. Hal itu menunjukkan
bahwa rakyat diletakkan pada posisi penting walaupun secara operasional
implikasinya tidak demikian.
Hukum Besi
Dalam
politik demokrasi, hal ini dikenal semacam black
hole dalam tata politik, populer disebut the dark-side of democracy (sisi gelap demokrasi). Melalui proses
yang demokratis, akan terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan.
Kewenangan inilah yang dimanfaatkan oleh mafia di Indonesia untuk tidak berdemokrasi
dengan baik.
Akhirnya,
hukum besi oligarki muncul. Penguasa oligarki ini berkuasa di Negara ini atas
nama rakyat yang tertindas, selalu berusaha melestarikan dan memonopoli
kekuasaan dan ekonomi yang dipegangnya dengan selubung ideologi tertentu yaitu
demokrasi. Dengan dalih konsensus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penguasa
oligarki ini menghancurkan setiap pihak yang menentang dan mempertanyakan
legitimasinya dengan berbagai macam tuduhan dan fitnah. Lantas, di mana letak
falsifikasi demokrasi.
Sesuai
dengan artinya, falsifikasi adalah teori yang gagal karena tidak dapat bertahan
terhadap suatu eksperimen dan digantikan oleh teori spekulatif lain. Ini
berarti, demokrasi berkembang melalui kesalahan dan kekeliruan yang telah
secara tidak langsung diterapkan oleh Indonesia. Oleh karena itu, demokrasi
sangat pantas untuk dikaji kembali guna ditemukan teori-teori baru yang baik
untuk kemaslahatan umat manusia.
Menurut
Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi
standar baku. Antara lain: Kebebasan berbicara setiap warga Negara, Pelaksanaan
pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali
atau harus diganti kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan
kontrol minoritas, Peranan parpol yang sangat penting sebagai wadah aspirasi
politik rakyat, Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan
apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Jika
prinsip tersebut telaksana, maka impian Indonesia menjadi bangsa yang
bermartabat bukanlah sekedar mimpi. Sejak dini kita harus mereformasi
pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment