UU PT dan
Tanggung Jawab Pemerintah
Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti
di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo
Tulisan
ini dimuat di Koran Wawasan, edisi Senin-16 Juli 2012
Setelah
dua tahun diperdebatkan, akhirnya Rancanan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU
PT) disahkan menjadi Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT) pada Jumat (11/7).
Meskipun sudah disahkan, namun banyak kalangan akademisi menolak dan menggugat
UU PT, mereka menilai UU ini memarjinalkan kampus swasta, serta memuat liberalisasi
dan komersialisasi pendidikan.
UU
PT yang disahkan terdiri 12 bab dan 100 pasal dengan pokok pengaturan. Seperti
ketentuan umum, dasar, asas, fungsi, dan tujuan pendidikan tinggi. UU PT juga
membuat penyelenggaraan pendidikan tinggi, kerjasama internasional, otonomi
perguruan tinggi, serta pendanaan dan pembiayaan pendidikan tinggi. Namun, masyarakat
menilai UU PT tetap merugikan dan membunuh “kebebasan akademik.” Pasal-pasal
dalam UU PT sebenarnya tak semuanya buruk. Ada pasal yang meneteskan air segar bagi
dunia pendidikan, seperti penghargaan mahasiswa kurang mampu dan kebebasan
menyampaikan pendapat di dunia kampus. UU ini memberi ruang positif bagi kedua
hal itu.
Penolakan dan Gugatan
Sebelum disahkan, banyak gugatan/penolakan
bermunculan. Seperti aksi oleh aktivis mahasiswa di beberapa wilayah di
Indonesia. Bahkan, ada beberapa guru besar (GB) menolak UU PT. Seperti GB
Fakultas Ilmu Hukum Universitas Parahyangan Johannes Gunawan, GB Universitas
Indonesia Chan Basaruddin, GB Institut Teknologi Bandung Harijono, Anita Lie
Universitas Widya Mandala Surabaya (Kompas, 12/7/2012). Para GB itu berdiskusi
dan membuat pernyataan bahwa ada sejumlah pasal "mengebiri" otonomi
perguruan tinggi.
Mereka menilai ada 9 pasal harus ditolak dalam
UU PT. Ke-9 pasal itu terdapat pada Pasal 1 ayat 5, Pasal 7 ayat 4, Pasal 9
ayat 2, dan Pasal 23 ayat 1. Selanjutnya Pasal 31 ayat 2, Pasal 35 ayat 1,
Pasal 41 ayat 1 & 2, dan Pasal 51 ayat 1, ayat 2, serta ayat 3. Seperti
contoh Pasal 41 ayat 1 yang sebelumnya terdapat pada Pasal 79 ayat 1 dan 2
dalam draf RUU PT 4 April 2012. Pasal ini bertuliskan, "Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak
mahasiswa kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai
dengan peraturan akademik." Pasal
41 ayat 2 "Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara memberikan; a) beasiswa kepada mahasiswa berprestasi, b) bantuan
atau membebaskan biaya pendidikan, dan c) Pinjaman Dana tanpa bunga yang wajib
dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan."
Dalam pasal itu, secara nyata kampus
mengajarkan “utang piutang.” Maka, pasal 41 ayat 2c harus dihapus. Jika
mahasiswa tak mampu membayar SPP, kampus harus tetap mengakomodasi dengan
memberikan beasiswa dan subsidi tanpa pinjaman. Pasalnya, hal itu merupakan
tanggung jawab pemerintah. Begitu juga dengan Pasal 35 ayat 1 berbunyi,
"PTN yang didirikan pemerintah dapat berbentuk satuan kerja, satuan kerja
dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, atau Badan Hukum." Pasal
itu membuka peluang bagi setiap PTN menjadi BHMN dengan pengelolaan kampus ala
korporasi.
Dari Pasal-pasal itu, sudah jelas
memuat Liberalisme, Komersialisme, Kapitalisme, dan pemasungan kebebasan akademik.
Maka, tak heran jika banyak kalangan menggugat dan menolak UU PT. Karena itu,
pemerintah harus melakukan langkah preventif dan bertanggung jawab atas
disahkannya UU ini. Jika tidak, maka pendidikan di Indonesia semakin suram.
Tanggung
Jawab Pemerintah
Setelah UU PT disahkan, tanggung jawab pemerintah
yang dipegang Kemendikbud semakin berat. Pertama, melakukan sosialisasi dan
rasionalisasi, khususnya pada mereka yang menolak UU PT. Kedua, memberikan
pemahaman dan meredam derasnya penolakan dari masyarakat. Ketiga, merealisasikan
seluruh pasal dalam UU PT, dan tidak “memarjinalkan” kampus swasta. Keempat, mengkaji
ulang dan jika perlu merevisi sejumlah pasal UU PT yang dinilai membawa
pendidikan Indonesia ke arah liberal dan komersial.
Yang paling penting adalah merevisi
sejumlah pasal yang merugikan kampus swasta, dan pasal yang mengandung
komersialisasi, liberalisasi, serta pemasungan kebebasan akademik. Jika tidak,
maka penolakan dan gugatan pasti tak akan selesai. Hal ini menjadi tugas berat
pemerintah pasca-disahkannya RUU PT. Karena itu, pemerintah harus cerdas
merealisasikan, mengakomodir, dan melayani kepentingan publik. Tidak sepatutnya
pemerintah hanya cerdas mengesahkan/membuat UU saja, namun mereka juga harus
“cerdas mengupas” polemik UU PT.
Pemerintah juga harus menuntaskan
usulan kampus swasta yang belum diakomodasi dalam UU PT. Misalnya, terkait
bantuan operasional, penegerian kampus swasta, serta diperbolehkannya perguruan
tinggi asing menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Mereka mengkhawatirkan
beberapa kebijakan itu akan mengancam eksistensi kampus swasta. Maka, sudah
saatnya pemerintah bertindak tegas, cerdas, serta segera menuntaskan polemik UU
PT, karena itu menjadi tanggung jawab mereka. Wallahu a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment