Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Tragedi terorisme dan radikalisme di negeri ini harus segera dihentikan. Semua orang mengutuk perbuatan amoral itu. Untuk memutus mata rantai terorisme dan menghentikan radikalisasi, pemerintah perlu mengefektifkan program deradikalisasi. Program deradikalisasi dimaksudkan untuk menghentikan meluasnya radikalisasi terutama proses rekruitmen kepada generasi muda.
Tertangkapnya gembong teroris seperti Dr Azhari, Noordin M Top, dan Dulmaltim harus menjadi motivasi untuk memberantas dan memutus mata rantai terorisme. Pelaku teror dalam kasus Cirebon dan Solo, meski tak langsung didoktrin para pentolan teroris, namun pelaku teror tersebut hanya terinspirasi atau simpatisan saja. Target mereka tak lagi gedung milik asing tapi siapa saja yang dianggap melindungi kepentingan asing.
Target mereka juga adalah infrastruktur publik, fasilitas pemerintah dan rumah ibadah. Namun, kenapa pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) mengalami kesulitan melaksanakan program deradikalisasi? Salah satu penyebabnya adalah karena pelakunya memiliki hubungan kekerabatan. Secara geneologis atau silsilah dari pelaku teror selama ini, cenderung memiliki hubungan kekerabatan. Jika rekruitmen berdasarkan hubungan geneologis, akan sulit memberantasnya karena mereka meyakini nilai yang dianutnya untuk diteruskan.
Diakui atau tidak, fungsi intelijen selama ini belum maksimal. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari negara demokrasi. Dalam era demokrasi, ruang lingkup intelijen berbeda tak lagi melakukan tindakan represif. Intelijen dibatasi tugasnya hanya pada deteksi dan peringatan dini. Intelijen hanya bertugas memberikan informasi kepada aparat berwenang seperti pemeritah dan Densus 88 Mabes Polri. Namun, bukan berarti intelijen lengah dan malas menjalankan tugasnya.
Karena itu, seharusnya intelijen berperan sebagaimana mestinya. Jangan sampai aksi teror selalu mengganggu ketentraman masyarakat. Padahal, banyak kalangan menilai aksi teror akan terus berlangsung selama pemerintah dan penegak hukum tak maksimal bekerja. Intinya, pemerintah dan penegak hukum harus bertindak tegas.
Memutus
Nassir Abbas (2005) dalam buku “Membongkar Jaringan Jamaah Islamiyyah” menjelaskan, terorisme merupakan perilaku radikal dan sangat merugikan, dari menghancurkan fasilitas umum, membunuh manusia, dan sebagainya. Jika pemerintah hanya menindak pelaku teror yang tertangkap, itu percuma. Perlu dilakukan pemutusan mata rantai terorisme sampai ke akarnya.
Sedangkan penyebab terorisme menurut Hendropriyono (2009) dalam buku “Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, menjelaskan tentang penyebab terorisme sering dilandasi dengan hal irasional. Pertama, realitas teologis, yakni melakukan kekerasan atas perintah Tuhan. Kedua, realitas historis, yakni melakukan kekerasan karena meneruskan sejarah. Ketiga, realitas ideologis, yakni dengan mengebom, merusak, membunuh dengan visi mendirikan Negara baru. Keempat, realitas permainan logika, yakni pemutarbalikan istilah teror sebagai jihad.
Konstruksi irasional itu bisa diputus dengan tiga cara. Pertama, karena adanya irasionalitas tindakan, maka pemerintah perlu membangun kebijakan rasional yang berbasis pada keadilan sistem ekonomi, kekuasaan, dan sistem sosial. Kedua, berdasarkan pada ekpresi kebebasan hakiki manusia, maka perlu pembentukan kehendak bebas menuju hidup yang damai, karena tindakan kekerasan adalah patologi sosial. Ketiga, pencarian nilai-nilai baru sebagai resisten terhadap internasionalisme/ universalisme harus diarahkan pada kepatuhan terhadap UUD 1945 dan Pancasila.
Untuk memutus mata rantai terorisme pernah di singgung dalam sebuah simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” tahun 2010 di Jakarta. Simposium itu menelurkan beberapa rekomendasi. Pertama, dukungan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) guna memainkan peran selaku focal point dan koordinator pencegahan dan pemberantasan teror secara komprehensif.
Kedua, pemerintah perlu mengamandemen UU Tindak Pidana Terorisme no. 15 tahun 2003, terutama tentang kriminalisasi/perluasan obyek hukum dan perbaikan mekanisme hukum acara, agar mampu menjaring jaringan teroris dan bukan hanya perorangan, serta mampu menggulung sebelum beraksi. Keempat, mendukung Polri dalam hal memberantas terorisme. Kelima, himbauan kepada instansi-instansi seperti Kementerian Agama dan Kementerian Hukum dan HAM guna melakukan tugasnya terkait pencegahan dan pemberantasan terorisme secara optimal. Keenam, dukungan kepada Kementerian Pendidikan Nasional agar menjauhkan lembaga pendidikan dasar, menengah dan tinggi dari kemungkinan sebagai tempat persemaian radikalisme.
Ketujuh, aparat keamanan (khususnya TNI dan Polri) perlu waspada terhadap teror dengan modus baru (misalnya penembakan), walaupun tetap tak boleh lengah dengan modus-modus konvensional (bom mobil, bom bunuh diri). Kedelapan, dalam upaya deradikalisasi para calon teroris oleh BNPT, metode konseling perlu dioptimalkan dengan memanfaatkan teroris yang sudah bertobat. Interaksi dan dialog dengan kelompok teroris, sebaiknya fokus pada isu yang membumi daripada aspek teologis.
Di sisi lain, kewaspadaan dan kesiagaan aparat keamanan maupun masyarakat terhadap serangan teror harus tetap dijaga dan jangan sampai kendor. Pasalnya, kemungkinan serangan lanjutan masih ada, apalagi ada momen-momen peringatan hari besar keagamaan yang akan datang, seperti Hari Idul Adha, Tahun Baru Hijriah, Natal dan Tahun Baru 2013. Selain itu, berbagai pihak juga perlu bersinergi untuk bersama-sama memberantas terorisme. Yang terpenting, semua usaha di atas dilakukan maksimal, serius, dan tegas, karena tindak terorisme selalu menggangu kenyamanan masyarakat. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat Koran Pagi Wawasan, edisi Sabtu 8 September 2012
0 komentar:
Post a Comment