Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday, 3 September 2012

Terorisme dan Lemahnya Penegakan Hukum



Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo
Tulisan ini dimuat di Koran WASPADA Medan, Selasa 4 September 2012

Indonesia kembali diguncangan dengan tragedi terorisme. Setelah kasus kekerasan di Sampang, negeri ini kembali diterpa bencana terorisme. Pada Agustus 2012, tiga peristiwa teror terjadi di Solo, Jawa Tengah. Yang lebih ironis adalah, kenapa sasarannya polisi? Seharusnya mereka ditakuti dan disegani masyarakat. Namun, kenapa sebaliknya? Ini membutkikan bahwa penegakan hukum di negara ini sangat lemah.
Teror pertama pada 17 Agustus. Ketika itu, dua orang berboncengan sepeda motor memberondongkan tembakan ke arah dua polisi yang sedang berjaga di Pos Pengamanan Lebaran Gamblengan. Kedua polisi terluka. Hanya berselang satu hari, giliran Pos Pengamanan Gladag menjadi sasaran teror. Dua orang berboncengan sepeda motor melemparkan granat ke aras pos pengamanan (Kompas, 1/9).
Terakhir, Bripka Dwi Data Subekti gugur diberondong tembakan ketika berjaga di Pos Polisi Plaza Singosaren. Pelaku terdiri dari dua orang berboncengan sepeda motor. Tiga peristiwa itu memiliki tiga kesamaan. Pertama, polisi sebagai sasaran. Kedua, teror terjadi di Solo. Ketiga, pelaku terdiri dari dua orang berboncengan sepeda motor.
Pola-pola itu menunjukkan ketiga peristiwa di Solo itu jelas “serangan terorisme.” Terorisme biasanya memiliki pola atau modus dalam rentang waktu tertentu. Sebelumnya, modus teror ialah dengan bom mobil dan menjadikan kepentingan asing sebagai sasaran. Bom Bali pertama, bom Kedubes Australia, dan bom JW Marriott pertama memakai modus atau pola tersebut.
Modus teror kemudian berubah dengan menggunakan bom manusia, tapi sasarannya tetap kepentingan asing. Bom Bali kedua dan bom JW Marriott kedua menggunakan modus seperti itu. Dalam kasus ini, pertanyaannya mengapa terjadi di Solo? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mendeteksi Solo sebagai satu dari 12 daerah kantong terorisme di Indonesia. Jadi, tak ada hubungannya teror Solo dengan Wali Kota Solo Joko Widodo yang berpeluang besar menjadi Gubernur Jakarta dalam putaran kedua Pemilukada DKI.
Penegakan Hukum Lemah
Apa pun modus aksi teror, yang terpenting harus diberantas. Diakui atau tidak, penegakan hukum di negeri ini masih “lemah”. Itu terbukti dengan mencuatnya kekerasan di Sampang dan terorisme di Solo. Lalu, pertanyaan berikutnya, mengapa polisi? Polisi, melalui Densus 88, dianggap sukses memberantas terorisme. Namun, mengapa polisi menjadi musuh besar teroris? sehingga menjadi sasaran teror. Bukan dalam teror Solo saja polisi menjadi target. Sebelumnya polisi menjadi sasaran bom bunuh diri di Kantor Polresta Cirebon pada 2011. Pada 2010, tiga polisi sedang berjaga di Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, tewas diberondong tembakan teroris.
Modus berpola itu membantu polisi mengungkapkan kasus teror Solo. Terkait dengan polisi sebagai sasaran, mungkin saja pelaku teror Solo mempunyai hubungan dengan pelaku teror Cirebon dan Deli Serdang. Namun, di sisi lain, meski berpola, modus teror bisa berubah dari waktu ke waktu. Itu disebabkan kelompok teroris menerapkan strategi asymmetrical warfare. Strategi itu punya karakteristik tak adanya zona perang. Kelompok teroris tak memiliki pengendalian atas suatu wilayah. Teror bisa terjadi di mana saja dengan target siapa pun. Maka, masyarakat harus tetap waspada. Teror masih mengintai setiap saat. Karena itu, pemerintah, intelijen, polisi harus bekerja serius mengendus terorisme. Jangan sampai penegakan hukum “lemah syahwat” dan tak tegas.
Sinyal Bahaya
Rentetan teror di Solo menjadi sinyal bahaya semua elemen. Jika pemerintah dan penegak hukum masih “santai-santai” dan tak bertindak cepat dan tegas, diprediksikan aksi teror selanjutnya akan menyusul. Maka, kepolisian harus siaga 24 jam menciptakan keamanan. Kepolisian perlu meningkatkan kewaspadaan di lingkungan masing-masing. Tentunya tanpa mengecilkan peran aparat yang punya otoritas penuh pada keamanan.
Selain itu, polisi/intelijen perlu melakukan “deteksi dini kerawanan.” Menurut C. Wright Mills (1916-1962), sistem deteksi dini sangat diperlukan atas kerawanan/kerusuhan sosial. Dalam karya The Sociological Imagination (1959:17-20), Mills mengingatkan tentang empat derajat kehidupan sosial. Yakni, kesejahteraan (well-being), kegentingan (crisis), ketidakacuhan (indifference), dan kegelisahan (uneasiness). Untuk menciptakan empat derajat kehidupan di atas dan membendung terorisme, perlu dilakukan sistem deteksi dini atas kerawanan/kerusuhan sosial termasuk terorisme. Tujuannya, agar potensi kerawanan sosial tak bergerak menjadi insiden kekerasan sosial.
Yang terpenting adalah “penegakan hukum tegas dan maksimal”. Jika hukum di negeri ini ditegakkan walaupun langit runtuh, penulis yakin kekerasan dan terorisme tak akan terjadi. Jika penegakan hukum lemah, maka terorisme pasti merajalela, begitu pula sebaliknya. Jika hukum tegak dan berjalan maksimal, penulis yakin empat derajat kehidupan sosial di atas akan mudah terpecahkan. Wallau a’lam.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Terorisme dan Lemahnya Penegakan Hukum Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda