Direktur Eksektif HI Study Centre
Semarang
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi
Wawasan, Sabtu 27 Oktober 2012
Pemberian grasi (pengampunan) terhadap
dua terpidana kasus narkoba Deni Satia Maharwan dan Merika Pranola oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan mengurangi hukuman keduanya dari
hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup, menyulut pro dan kontra.
Yang jelas, atas perbuatan tersebut SBY sangat berdosa besar. Kenapa demikian?
karena seharusnya penjahat itu dihukum berat, bukan diampuni.
Selain
itu, hakim yang memakai, mengedarkan, dan menjadi gembong narkoba juga berdosa
besar. Pasalnya, mereka mencoreng dunia kehakiman. Setelah berbagai kasus hakim
nakal terlibat suap dan korupsi, kini muncul kasus lebih mengiris perasaan
masyarakat. Ternyata, ada juga hakim pecandu narkoba. Hasil investigasi Komisi
Yudisial (KY) menemukan setidaknya sepuluh hakim terindikasi sebagai pecandu
narkoba. Mereka diyakini tersebar di Sumatera dan Jawa. Temuan itu semakin
membuat tanda tanya besar pada integritas penegak hukum.
Seperti
kita ketahui, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menangkap Puji Wijayanto,
seorang hakim Pengadilan Negeri Bekasi, saat berpesta narkoba. Penangkapan
tersebut, dan kemudian diikuti dengan temuan KY, tentulah menyita perhatian
masyarakat, yang selama ini sudah sedemikian tergerogoti kepercayaannya
terhadap kualitas moral para hakim. Alih-alih mendengar berita positif, rakyat
justru disuguhi dengan indikasi perilaku miring para hakim.
Kejahatan Luar Biasa
Memang benar, keputusan SBY
memberikan grasi bertentangan dengan semangat pemberantasan narkoba. Dalam
penelitian BNN 2011 dilansir sekitar 15.000 orang meninggal per tahun karena
narkoba. Atau per hari ada 40 sampai 50 orang meninggal. Sedangkan pencandu
narkoba diperkirakan mencapai 3,8 juta orang. Padahal, kejahatan narkoba
merupakan extra ordinary crime
(kejahatan luar biasa), maka harus dilawan dengan ordinary pula, salah satunya “hukuman mati.” Ini membuktikan
Presiden tak konsisten dengan janji yang pernah diucapkan 2006 untuk tak
memberikan grasi pada terpidana mati.
Ini
merupakan dosa besar SBY dan hakim narkoba. Dengan pemberian grasi, bandar narkoba akan
menilai bahwa hukum di Indonesia lunak, bisa dibeli dan dipermainkan.
Pembatalan hukuman mati Henky Gunawan oleh MA akan membuat raja-raja narkoba
lainnya tak jera. Itu merupakan angin segar anggota sindakat untuk
menghancurkan anak bangsa.
Kejahatan narkoba di Indonesia sangat
memrihatinkan. Bukan saja kondisinya darurat, tapi sudah dalam tahap bencana
narkoba. Narkotika ini bisa untuk hancurkan
generasi bangsa, hancurkan atlet berprestasi, perwira tinggi. Mereka masuk
pensantren dan barak untuk hancurkan itu. Pemerintah dan aparat keamanan belum
mampu mencegah penyelundupan narkotika dari luar negeri yang dilakukan sindikat
internasional. Omong kosong cegah masuk narkoba dari luar, karena buktinya
sampai sekarang narkoba itu masih banyak beredar di masyarakat. Omong kosong
pemberantasan itu dilakukan selama pengawasan di pantai, pelabuhan, bandara,
oleh aparat kita masih lemah. Ditambah lagi dengan dosa besar SBY dan hakim
narkoba. Lalu, kapan hal itu akan selesai? Harus dengan cara apa lagi untuk
memberantasnya?
Zero Tolerance
Keterlibatan
pada kasus narkoba bukan sebuah penyimpangan ringan. Pada kasus ini, tak bisa
lagi diajukan dalih tentang sistem remunerasi atau tingkat kesejahteraan atau sistem
profesionalitas kehakiman. Sebab, persoalan ini langsung menohok pada pokok
problema moralitas penegak hukum. Berbicara soal moral dan penegakan benteng
moralitas, kita tak bisa lagi menggunakan asumsi kuantitas, dengan berdalih
bahwa yang terindikasi hanya segelintir hakim saja.
Seharusnya,
penegakan moral harus ditegakkan dengan tagas, namun hanya mungkin diwujudkan
dengan zero tolerance. Tak ada
toleransi sama sekali apabila sudah menyangkut penyimpangan moral. Dengan
konsep zero tolerance ini,
pelanggaran seorang hakim atau sepuluh hakim sama seriusnya dengan pelanggaran
seratus hakim. Dalam kaitan dengan hukuman dan sanksi, maka pilihan yang ada
adalah menjatuhkan hukuman dan sanksi paling maksimal terhadap hakim pecandu
narkoba.
Saat
ini, masyarakat sudah semakin sadar bahwa bahaya narkoba sudah sangat merusak
generasi muda. Ancaman narkoba makin serius karena peredaran dan intrusinya ke
masyarakat justru semakin berkembang. Sementara perlindungan dari serbuan
narkoba masih lemah, ada penegak hukum yang ternyata juga mengkonsumsi
narkoba. Bagaimana mungkin hakim pecandu narkoba menegakkan hukum dan
menjatuhkan hukuman maksimal bagi para pelaku kasus narkoba?
Pihak-pihak
yang terkait dengan praktik kehakiman juga tak bisa berkelit bahwa masih jauh
lebih banyak hakim yang bersih dari kasus. Sikap relativitas permakluman itu
akan menjadi kerikil-kerikil mengganggu upaya mewujudkan dunia kehakiman yang
bersih. Kasus itu sekali lagi menunjukkan betapa kritis kondisi jagat penegak
keadilan. Tanpa kebijakan zero tolerance,
sulit diharapkan coreng-moreng itu terhapus. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment