Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan,
25 September 2012
Kemenagan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok)
sangat menjadi sorotan publik. Banyak yang belajar dari kemenangan mereka dan
tentu menjadi pelajaran dan hikmah bagi politis di negeri ini. Mereka resmi
dinobatkan sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017
versi hitung cepat. Kemenangan Jokowi mendobrak hegemoni partai politik yang
selama ini menguasai pesta politik di Tanah Air. Kemenangan Jokowi juga
membuktikan kepada para elite politik di Tanah Air bahwa keinginan perubahan
rakyat dalam ruang demokrasi tak bisa dibendung. Meski menggunakan segala cara,
namun calon yang diharapkan mengubah Ibukota tetap mulus melenggang.
Joko Widodo bukan hanya muncul sebagai harapan rakyat, juga
menimbulkan asa positif terhadap ruang demokrasi di negara ini. Kerelaan calon
incumbent untuk mengakui kekalahan dalam pemilukada DKI Jakarta kemarin juga
bisa menjadi contoh baik pelaksanaan pesta demokrasi di Tanah Air. Apalagi, DKI
Jakarta adalah barometer politik nasional yang bisa jadi dilihat seluruh daerah
di Tanah Air.
Kembali kepada persoalan Jokowi - Ahok, kesepakatan tidak
tertulis yang membuncah dari lubuk hati warga DKI Jakarta turut membantu Jokowi
menuju singgasana di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Partai-partai besar
yang mendukung Foke di putaran kedua juga tampak setengah hati melihat harapan
masyarakat yang ditujukan kepada Jokowi begitu besar. Mungkin hanya PKS yang
suara pemilihnya relatif bergeser mendukung Foke-Nara, selebihnya mengalir
untuk Joko Widodo.
Kini, setelah melewati tantangan politik jalanan, Jokowi
mesti dihadapkan lagi dengan tantangan politik di “Kebon Sirih” yang
kemungkinan bisa menjegal kebijakan pak gubernur. Dalam hitung-hitungan kursi
di DPR, koalisi PDI Perjuangan dan Gerindra yang mengusung Jokowi-Ahok hanya
punya kekuatan 15 persen di kursi dewan. Tentu jumlah ini tidak begitu kuat
jika Jokowi tak permisi dengan partai-partai yang kalah. Toh, dalam dunia
politik semua bisa terjadi asal ada kesepakatan.
Hikmah Kemenangan
Banyak hikmah yang bisa dipetik dan dipelajari dari
kemenangan Jokowi. Pertama,
bahwa figur kandidat merupakan faktor penting dalam pencalonan kepala daerah.
Partai politik benar-benar hanya menjadi perahu. Kemampuannya untuk memobilisasi
pemilih kalah dibandingkan dengan figur yang ada. Figur bersih, dan memiliki
sejarah panjang yang mengabdi kepada masyarakat menjadi ukuran.
Gejala partai
politik makin tidak diminati sesungguhnya sudah terbaca sejak putaran pertama.
Hal itu terlihat dari salah satu calon dari koalisi parpol yang berada di bawah
perolehan suara calon independen. Putaran kedua ini makin memperkuat fenomena
tersebut. Parpol makin tak berwibawa, makin tak bisa menjelaskan pemilihnya.
Kedua, pemilih
semakin independen dan kepercayaan mereka terhadap parpol semakin rendah.
Pemilih juga semakin kebal dari rayuan politik uang. Bahkan, untuk sikap
independen tersebut, pemilih dapat melakukan relawan dengan pengertian
sesungguhnya. Mereka berkreasi dengan berbagai cara, dan dengan mempergunakan
banyak media, tanpa dukungan dana dari para kandidat.
Ketiga,
masyarakat semakin rasional dalam memilih calon pemimpinnya. Isu SARA yang
marak berhembus saat masa kampanye ternyata tidak banyak mempengaruhi pemilih
dalam menentukan pilihan mereka. Keempat, ada harapan pluralisme makin diterima
masyarakat. Kenyataan bahwa isu SARA tidak banyak mempengaruhi pemilih
merupakan sinyal penting bahwa penerimaan atas pluralisme makin membesar.
Perkembangan ini tentu sangat penting. Penerimaan atas pluralisme merupakan
syarat penting bagi tegaknya demokrasi.
Kelima, arogansi
dikalahkan, pemilik dana kampanye besar ditumbangkan. Ada harapan, politik
dengan kesantunan yang bukan basa-basi makin diterima. Uang besar bukan lagi
menentukan. Kemenangan Jakarta adalah kemenangan di mana uang bukan menjadi
alat perekayasa.
Selain itu,
sebenarnya sosok Jokowi pantas untuk dinobatkan sebagai tokoh pembaharu. Ia
mengajarkan kesederhaan kepada seluruh pemimpin di negeri ini. Maka, tak ayal
jika banyak buku ditulis oleh beberapa kalangan untuk menghormati dan meniru
kearifannya. Selama ini, banyak pemimpin yang mengutamakan “hedonisme,
individualisme, mementingkan kepentingan kelompok,” sedangkan Jokowi
tidak. Inilah yang seharusnya dilakukan
para elit di negeri ini.
Tak hanya secara
personal, namun tim yang mendukung Jokowi juga solid dan komitmen. Ini
merupakan indikator keberhasilan Jokowi dalam mempengaruhi dan memimpin rakyat.
Bahkan, ueforia atas kemenangan Jokowi terkesan irasional. Ada apa di balik itu?
Dan inilah wujud kehebatan Jokowi. Semoga Jokowi-Ahok bisa memimpin Jakarta dan
membawa perubahan. Jangan sampai ia mengecewakan rakyat Jakarta. Karena hanya
dialah yang menjadi pionir perubahan di Jakarta. Janji-janji yang ia lontarkan
harus dilaksankan, jangan sampai janji itu hanya “bualan manis” ketika
kampanye. Semoga demikian. Wallahu a’lam
bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment