Oleh
Muntamah
Dimuat di Suara Merdeka, Rabu 3 Oktober 2012
Di era global ini, jumlah pekerja perempuan meningkat sangat signifikan. Namun ironisnya, keadaan ini sering kali bertolak belakang dengan kesejahteraan dan perlindungan yang mereka dapatkan.
Data terbaru, Bank
Dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan,
namun secara rata-rata setiap satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan
hanya menghasilkan 80 sen.
Fenomena ini terlihat
sangat jelas pada tenaga kerja wanita (TKW). Sekitar 4,2 juta perempuan
Indonesia atau sekitar 70 persen dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI)
bekerja sebagai TKW. Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan
tidak adanya akses terhadap permodalan, membuat banyak perempuan Indonesia
terpaksa menjadi TKW. Ironisnya, hanya segelintir dari mereka yang memiliki
bekal pendidikan dan keterampilan memadai. Sementara itu, sejumlah besar
lainnya tak punya banyak pilihan selain bekerja di sektor informal sebagai
pembantu rumah tangga (PRT).
Faktor Pemicu
Faktor Pemicu
Dari tahun ke tahun,
jumlah TKW meningkat signifikan. Jika pada tahun 1996 terdapat 44 persen migran
laki-laki dan 56 persen migran perempuan dari setiap 100 persen tenaga kerja
migran yang meninggalkan Indonesia, pada 2007 jumlah pekerja migran perempuan
meningkat menjadi 78 persen, sementara pekerja laki-laki justru menurun menjadi
22 persen (IOM 2010).
Selain karena
kemiskinan sebagai akar masalah utama, terdapat sejumlah faktor lain yang turut
memicu meningkatnya jumlah TKW. Pertama, akses pendidikan rendah. Data
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyebutkan, hingga 2010 jumlah
perempuan Indonesia yang belum melek huruf mencapai 5 juta lebih.
Sementara itu, data
BPS 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke
atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah, di mana mayoritas perempuan hanya
mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen).
Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen).
Angka partisipasi
sekolah perempuan memang sudah meningkat dibandingkan persentase angka
partisipasi sekolah pria, tetapi itu hanya pada tingkat pendidikan rendah.
Kedua, daya saing
rendah. Rendahnya pendidikan dan timpangnya kualitas pendidikan perempuan pada
pendidikan tinggi dibandingkan laki-laki menyebabkan daya saing perempuan di
dunia kerja juga rendah.
Rata-rata proporsi
laki-laki dan perempuan secara nasional sekitar 1:1. Namun, jumlah angkatan
kerja laki-laki kurang lebih 1,5 kali lebih banyak dibandingkan perempuan, di
mana pekerja perempuan hanya mengisi sekitar 38,23 persen dari total pekerja di
Indonesia. Artinya, masih banyak perempuan yang belum dapat menembus dunia
kerja karena lebih sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan formal.
Hal ini secara
langsung memengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh perempuan. Terdapat
12,44 persen pekerja perempuan yang berpenghasilan bersih Rp 200,000 ke bawah
per bulan dibandingkan dengan pekerja laki-laki yang hanya 4,39 persen.
Sementara itu,
mayoritas laki-laki memiliki pendapatan di atas Rp 600.000 sekitar 69,29
persen, tetap lebih besar dibandingkan wanita (50,27 persen). Data ini
menunjukkan bahwa laki-laki lebih dihargai dengan adanya perbedaan kisaran upah
yang ada.
Ketiga, permintaan pasar internasional. Salah satu permintaan pasar internasional terbesar saat ini adalah sektor pekerja rumah tangga (PRT). Sementara PRT asal Indonesia merupakan salah satu favorit di banyak negara. Fakta ini membuat Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih suka memberangkatkan pekerja migran perempuan daripada laki-laki. Besarnya permintaan pasar internasional yang dibarengi dengan ketersedian pekerja di dalam negeri yang juga besar membuka sejumlah celah kejahatan yang sangat merugikan TKW. Salah satunya human trafficking atau perdagangan manusia.
Ketiga, permintaan pasar internasional. Salah satu permintaan pasar internasional terbesar saat ini adalah sektor pekerja rumah tangga (PRT). Sementara PRT asal Indonesia merupakan salah satu favorit di banyak negara. Fakta ini membuat Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih suka memberangkatkan pekerja migran perempuan daripada laki-laki. Besarnya permintaan pasar internasional yang dibarengi dengan ketersedian pekerja di dalam negeri yang juga besar membuka sejumlah celah kejahatan yang sangat merugikan TKW. Salah satunya human trafficking atau perdagangan manusia.
Keempat, persepsi
sosial masyarakat. Ketiga faktor sebelumnya pada akhirnya memengaruhi persepsi
masyarakat tentang tenaga kerja Indonesia (TKI). Bekerja di luar negeri
kemudian identik dengan TKW, dan secara lebih spesifik identik dengan PRT.
Akibatnya, perempuan sering dikondisikan dan diprioritaskan untuk menjadi tulang punggung perekonomian keluarga dengan bekerja ke luar negeri sebagai PRT. Seiring dengan pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri ini, bermunculan sejumlah daerah pengirim TKW seperti Subang (Jawa Barat), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Blitar (Jawa Timur). Dalam tataran global, Indonesia kemudian juga dikenal sebagai pengirim PRT yang utama.
Akibatnya, perempuan sering dikondisikan dan diprioritaskan untuk menjadi tulang punggung perekonomian keluarga dengan bekerja ke luar negeri sebagai PRT. Seiring dengan pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri ini, bermunculan sejumlah daerah pengirim TKW seperti Subang (Jawa Barat), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Blitar (Jawa Timur). Dalam tataran global, Indonesia kemudian juga dikenal sebagai pengirim PRT yang utama.
Pentingnya Pendidikan
Keadaan ekonomi yang
sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan,
memaksa banyak perempuan Indonesia mengadu nasib sebagai TKW. Salah satu upaya
paling efektif untuk memutus mata rantai keadaan ini bisa dimulai dengan
memberi akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia.
Pendidikan di sini
termasuk pembekalan keterampilan dan keahlian yang memungkinkan mereka
mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Langkah selanjutnya adalah memberi
akses modal lebih besar bagi perempuan agar mereka lebih berdaya dalam
mengentaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan tanpa harus bekerja ke luar
negeri.
Jika pada akhirnya
keadaan tetap memaksa mereka bekerja sebagai TKW, maka yang harus dilakukan
pemerintah adalah memberikan perlindungan lebih optimal bagi TKI/TKW dan
keluarganya sejalan dengan tujuan ratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun 1990
tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluar-ganya yang baru diputuskan DPR
12 April lalu. Semoga ke depan, pemerintah lebih serius menangani masalah
perempuan. (24)
– Muntamah,
pengurus Muslimat NU dan Ketua TPA Nursalam, Pati.
0 komentar:
Post a Comment