Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 26 September 2012
Pertikaian KPK dengan kepolisian atas kasus simulator SIM
berujung pelik. Setelah penahanan penyidik KPK di gedung Korlantas dan setelah
KPK menyita sekian banyak dokumen yang dapat dijadikan barang bukti, perdebatan
siapa lebih dulu melakukan penyidikan dan berhak atas kasus ini lalu berkembang
dalam penetapan tersangka sama. Terakhir, rencana penarikan 20 penyidik KPK
yang berasal dari instansi kepolisian.
Semua orang menyadari bahwa dengan penarikan sejumlah
penyidik KPK itu akan langsung atau pun tak langsung memperlemah KPK dalam
melanjutkan banyak kasus yang sedang ditanganinya. Berbekal hanya 58 penyidik
dengan sekitar 240 kasus yang sedang diusut, jelas hal itu membuat para
penyidik kelebihan beban dan sebagian kasus akan terbengkalai. Akibatnya,
masyarakat beranggapan bahwa KPK bekerja “lamban” dan tebang pilih. Lalu,
langkah apa yang harus ditempuh KPK? Apakah KPK hanya meratapi nasibnya atau
mencari terobosan dengan merekrut penyidik independen? Ini harus segera
dituntaskan.
Kontroversi
Sebenarnya, istilah “penyidik independen” secara hukum
kurang tepat. Namun, karena sudah telanjur dimengerti masyarakat untuk
membedakan penyidik yang berasal dari sipil di luar kejaksaan dan kepolisian, maka
KPK perlu menggunakannya. Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK, penyidik
didefinisikan sebagai penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan KPK
(pasal 45 ayat 1). Tak ada perbedaan dan pemisahan asal-usul penyidik.
Jika dicermati, cukup kencang silang pendapat yang
mengemuka terkait dengan rekrutmen penyidik independen KPK. Pertama, berkaitan
dengan dasar hukum. Sebagian pihak berpandangan bahwa perekrutan penyidik
independen KPK tak memiliki dasar hukum. Namun pandangan ini keliru, karena KPK
dimandatkan UU Nomor 30/2002 untuk memiliki penyidik independen. Kewenangan KPK
itu sama dengan instansi lainnya di republik ini yang memiliki penyidik.
Di banyak UU, beberapa instansi pemerintah/departemen telah
diberi ruang untuk memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sendiri. Misalnya,
UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP pasal 6 ayat 1. Dengan analogi di atas,
mengacu pada asas hukum lex specialis
derogat legi generalis dan lex
posterior derogat legi priori, Pasal 45 ayat 1 UU KPK diartikan berhak
memiliki penyidik independen. Penyidik independen ada di banyak institusi
negara. Jika polisi berusaha melakukan penyidikan yang berada di instansi lain
dan tak sesuai dengan kewenangannya, polisi pun tak dapat meneruskannya.
Penyidik independen di berbagai instansi memiliki jenjang
karier, tapi pada awalnya mereka tidak direkrut khusus sebagai penyidik. Selain
itu, jika sudah menjadi penyidik dan mereka memikirkan karier, posisi sebagai
penyidik diserahkan ke pihak lain di internal institusi tersebut.
Lalu, apakah penyidik independen KPK harus memiliki jenjang
karier yang sama persis dengan penyidik di institusi negara lain? tentu tidak.
KPK bisa memiliki sistem karier lain. Karier penyidik independen KPK bila
mengacu pada PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia KPK dimulai sebagai pegawai tidak tetap (pasal 3) dengan masa kerja
waktu tertentu sesuai dengan peraturan KPK, dan tak dapat menduduki jabatan
struktural (pasal 8). Jenjang karier dari pegawai tidak tetap ini dapat
saja meningkat bila penyidik itu kemudian dijadikan pegawai tetap KPK (pasal
4), sehingga dapat menduduki jabatan struktural. Dengan begitu, sesungguhnya
ada jenjang karier penyidik KPK walaupun secara terbatas. Namun, kalaupun hal
itu tidak dianggap sebagai jenjang karier, jenjang karier tersebut bisa
diantisipasi dengan remunerasi yang baik.
Akan tetapi, persis di sini problematikanya ketika penyidik
dari instansi lain yang ditugaskan/dipinjamkan ke KPK, yang juga dikategorikan
sebagai pegawai tidak tetap, mengharapkan karier/posisi lebih baik. Mereka akan
kembali ke instansinya masing-masing dan beban tugasnya di KPK ditinggalkan.
Situasi seperti ini akan menghambat tugas KPK dan dapat mengurangi kepercayaan
publik akan kemampuan kerja KPK.
Penyidik Independen
Untuk menunjukkan kinerjanya, KPK membutuhkan penyidik sendiri.
Penyidik KPK nantinya tak memiliki jenjang karier sebagaimana dipahami secara
awam selama ini. Bahwa yang disebut karier adalah posisi struktural di kantor.
Bukankah anggota DPR, DPRD, kepala daerah, hakim agung yang berasal dari
non-karier, hakim konstitusi, serta hakim ad
hoc di berbagai peradilan juga tidak memiliki jenjang karier. Bahkan, pada
tiap-tiap UU, pengaturan masa kerjanya berbeda untuk masing-masing
jabatan.
Terlalu naif bila kita selalu membatasi suatu pekerjaan
dengan jenjang karier semata. Masih banyak variabel lain yang menyebabkan
seseorang betah menekuni suatu pekerjaan. Karena itu, mempertimbangkan modus,
pelaku, dan metode kejahatan korupsi yang semakin canggih, penyidik khusus KPK
patut segera diwujudkan, sehingga persoalan teknis-administratif, sebagaimana
terjadi dalam kasus rencana penarikan penyidik Polri, tak terulang di masa
mendatang. Penyidik KPK harus memiliki SDM dengan kejelasan masa kerja,
kompetensi, dan pengetahuan yang canggih, serta perlu dilatih secara khusus dan
tidak pernah memikirkan akan ditarik kembali oleh institusi asalnya. Jadi, tak ada
alasan bagi KPK untuk tidak segera merekrut penyidik independen. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment