Dimuat di WASPADA
Medan, Senin 8 Oktober 2012
Revisi UU KPK menjadi
“alat balas dendam” DPR yang kerap menjadi target penuntasan kasus korupsi.
Para anggota legislatif itu, khawatir KPK mengganggu “tambang uang” mereka
menjelang pemilihan Presiden 2014.
Dewasa ini, kita disuguhi berita wacana revisi Undang-Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat pelik dan tak kunjung selesai.
Kalangan pegiat antikorupsi ramai-ramai menolak Rancangan UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Mereka menganggap rancangan yang diusung Dewan
Perwakilan Rakyat itu “mengerdilkan” KPK. Banyak kalangan menolak revisi ini.
Jika rancangan UU itu disahkan, sama halnya dengan merusak independensi dan
“membunuh KPK.”
Banyak kalangan Parpol mendesak Komisi Hukum DPR segera merevisi
UU KPK. Bahkan, mereka sudah menyiapkan draf rancangan revisi dan
menyerahkannya kepada Badan Legislasi DPR. Sejumlah poin dalam draf itu
dikhawatirkan dapat melumpuhkan kewenangan komisi antikorupsi.
Ada sejumlah pasal kontroversial, antara lain pembentukan Dewan
Pengawas KPK yang ditunjuk DPR, pengembalian fungsi penuntutan KPK ke Kejaksaan
Agung, penyadapan harus dengan persetujuan pengadilan, dan pemberian kewenangan
penghentian perkara melalui surat perintah penghentian penyidikan.
Aturan baru itu membuat KPK tak berdaya. Penuntutan dan
penyadapan layak menjadi hak luar biasa KPK, karena lembaga ini bertugas
memberantas korupsi yang notabene termasuk kejahatan luar biasa. Jika kedua hak
itu dihilangkan, kewenangan KPK tak akan berbeda dengan penegak hukum lainnya
dan bisa “mandul.”
Polemik
Rencana revisi UU KPK memang menjadi “buah bibir” dan
menimbulkan polemik di kalangan elit politik. Sejumlah Parpol dan anggota dewan
ada yang mendukung, dan ada yang menolak dengan tegas. Misalnya, seperti Partai
Golkar disebut-sebut yang mengusulkan revisi UU KPK. Para pegiat antikorupsi
menilai langkah ini sebagai upaya untuk melemahkan fungsi KPK.
Namun, banyak juga kalangan elit Parpol menolak revisi UU KPK.
Seperti halnya Partai Demokrat. Partai berlambang Mercy ini menolak adanya
revisi tersebut. Pasal-pasal yang direvisi seperti mengembalikan penuntutan di
kejaksaan, dihapuskan penyadapan dan dibentuk dewan pengawas.
Di sisi lain, aktivis Indonesia Corruption Watch, Danang
Widoyoko, berpendapat bahwa penyadapan KPK efektif memberantas praktek
penyuapan. Penyadapan menjadi bukti. Kalau menunggu mendapatkan bukti kuat
sebelum penyadapan, bagaimana caranya? Karena itu, revisi UU KPK harus
dihentikan.
Begitu pula dengan mengembalikan fungsi penuntutan ke Kejaksaan.
Danang menilai langkah itu akan memperlemah penuntasan kasus korupsi yang
selama ini cukup baik. Revisi UU KPK menjadi “alat balas dendam” DPR yang kerap
menjadi target penuntasan kasus korupsi. Para anggota legislatif itu, khawatir
KPK mengganggu “tambang uang” mereka menjelang pemilihan Presiden 2014.
Menolak Atau Mendukung?
Perlu diketahui, UU KPK yang lama dibentuk berdasarkan semangat
reformasi. Bila diubah, spirit reformasi menjadi hilang. Oleh karena itu,
banyak kalangan menolak karena tak ada yang perlu diubah dalam UU KPK.
Diakui atau tidak, DPR sangat gesit merevisi UU tersebut. Pada
awalnya, draf perubahan UU KPK itu diusulkan oleh Komisi III DPR. Saat ini,
draf RUU itu masih dalam tahapan harmonisasi. Siapa yang memelopori usul
perubahan UU KPK, banyak yang menyatakan tidak mengetahuinya. Namun, yang jelas
usul perubahan berasal dari Komisi III DPR.
Di balik gencarnya isu tentang niat Komisi III DPR membonsai
KPK, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Dari isu itu, kita semua semakin
disadarkan bahwa posisi komunitas koruptor dan para simpatisannya memang sangat
kuat. Serangan bertubi-tubi itu hanya membuahkan satu kesimpulan, betapa
beratnya tantangan memerangi korupsi di negara ini.
Tidaklah berlebihan jika kita saat ini bersyukur atas kemampuan
KPK menyerang komunitas koruptor, baik kelas teri maupun kelas kakap. Dari segi
keberanian, progres KPK dirasakan sangat signifikan. Untuk menuntaskan polemik
UU KPK, seharusnya seluruh anggota fraksi Parpol di Baleg DPR tidak melanjutkan
proses pembahasan revisi RUU KPK. Jika ingin tetap direvisi, mereka perlu
melakukan kajian mendalam, bertemu dengan berbagai elemen masyarakat termasuk
berdiskusi dengan para pakar tentang UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Yang paling penting, dalam hal ini pemerintah, DPR, dan seluruh
Parpol harus “dewasa” dan “bijaksana” dalam menghadapi revisi UU KPK. Artinya,
mereka tak perlu saling menyalahkan dan mencari untungnya sendiri. Di samping
itu, “ketegasan pemerintah” menjadi kunci tuntasnya polemik UU KPK. Jika tegas,
pasti polemik tak berkepanjangan, begitu pula sebaliknya. Wallahu a’lam. *****
( Hamidulloh Ibda : Penulis adalah Pegiat Antikorupsi di Centre for
Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang. )
0 komentar:
Post a Comment