Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday, 8 October 2012

Menggugat UU KPK



Dimuat di WASPADA Medan, Senin 8 Oktober 2012

Revisi UU KPK menjadi “alat balas dendam” DPR yang kerap menjadi target penuntasan kasus korupsi. Para anggota legislatif itu, khawatir KPK mengganggu “tambang uang” mereka menjelang pemilihan Presiden 2014.

 
Dewasa ini, kita disuguhi berita wacana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat pelik dan tak kunjung selesai.
Kalangan pegiat antikorupsi ramai-ramai menolak Rancangan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Mereka menganggap rancangan yang diusung Dewan Perwakilan Rakyat itu “mengerdilkan” KPK. Banyak kalangan menolak revisi ini. Jika rancangan UU itu disahkan, sama halnya dengan merusak independensi dan “membunuh KPK.”
Banyak kalangan Parpol mendesak Komisi Hukum DPR segera merevisi UU KPK. Bahkan, mereka sudah menyiapkan draf rancangan revisi dan menyerahkannya kepada Badan Legislasi DPR. Sejumlah poin dalam draf itu dikhawatirkan dapat melumpuhkan kewenangan komisi antikorupsi.
Ada sejumlah pasal kontroversial, antara lain pembentukan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk DPR, pengembalian fungsi penuntutan KPK ke Kejaksaan Agung, penyadapan harus dengan persetujuan pengadilan, dan pemberian kewenangan penghentian perkara melalui surat perintah penghentian penyidikan.
Aturan baru itu membuat KPK tak berdaya. Penuntutan dan penyadapan layak menjadi hak luar biasa KPK, karena lembaga ini bertugas memberantas korupsi yang notabene termasuk kejahatan luar biasa. Jika kedua hak itu dihilangkan, kewenangan KPK tak akan berbeda dengan penegak hukum lainnya dan bisa “mandul.”
Polemik
Rencana revisi UU KPK memang menjadi “buah bibir” dan menimbulkan polemik di kalangan elit politik. Sejumlah Parpol dan anggota dewan ada yang mendukung, dan ada yang menolak dengan tegas. Misalnya, seperti Partai Golkar disebut-sebut yang mengusulkan revisi UU KPK. Para pegiat antikorupsi menilai langkah ini sebagai upaya untuk melemahkan fungsi KPK.
Namun, banyak juga kalangan elit Parpol menolak revisi UU KPK. Seperti halnya Partai Demokrat. Partai berlambang Mercy ini menolak adanya revisi tersebut. Pasal-pasal yang direvisi seperti mengembalikan penuntutan di kejaksaan, dihapuskan penyadapan dan dibentuk dewan pengawas.
Di sisi lain, aktivis Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko, berpendapat bahwa penyadapan KPK efektif memberantas praktek penyuapan. Penyadapan menjadi bukti. Kalau menunggu mendapatkan bukti kuat sebelum penyadapan, bagaimana caranya? Karena itu, revisi UU KPK harus dihentikan.
Begitu pula dengan mengembalikan fungsi penuntutan ke Kejaksaan. Danang menilai langkah itu akan memperlemah penuntasan kasus korupsi yang selama ini cukup baik. Revisi UU KPK menjadi “alat balas dendam” DPR yang kerap menjadi target penuntasan kasus korupsi. Para anggota legislatif itu, khawatir KPK mengganggu “tambang uang” mereka menjelang pemilihan Presiden 2014.
Menolak Atau Mendukung?
Perlu diketahui, UU KPK yang lama dibentuk berdasarkan semangat reformasi. Bila diubah, spirit reformasi menjadi hilang. Oleh karena itu, banyak kalangan menolak karena tak ada yang perlu diubah dalam UU KPK.
Diakui atau tidak, DPR sangat gesit merevisi UU tersebut. Pada awalnya, draf perubahan UU KPK itu diusulkan oleh Komisi III DPR. Saat ini, draf RUU itu masih dalam tahapan harmonisasi. Siapa yang memelopori usul perubahan UU KPK, banyak yang menyatakan tidak mengetahuinya. Namun, yang jelas usul perubahan berasal dari Komisi III DPR.
Di balik gencarnya isu tentang niat Komisi III DPR membonsai KPK, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Dari isu itu, kita semua semakin disadarkan bahwa posisi komunitas koruptor dan para simpatisannya memang sangat kuat. Serangan bertubi-tubi itu hanya membuahkan satu kesimpulan, betapa beratnya tantangan memerangi korupsi di negara ini.
Tidaklah berlebihan jika kita saat ini bersyukur atas kemampuan KPK menyerang komunitas koruptor, baik kelas teri maupun kelas kakap. Dari segi keberanian, progres KPK dirasakan sangat signifikan. Untuk menuntaskan polemik UU KPK, seharusnya seluruh anggota fraksi Parpol di Baleg DPR tidak melanjutkan proses pembahasan revisi RUU KPK. Jika ingin tetap direvisi, mereka perlu melakukan kajian mendalam, bertemu dengan berbagai elemen masyarakat termasuk berdiskusi dengan para pakar tentang UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Yang paling penting, dalam hal ini pemerintah, DPR, dan seluruh Parpol harus “dewasa” dan “bijaksana” dalam menghadapi revisi UU KPK. Artinya, mereka tak perlu saling menyalahkan dan mencari untungnya sendiri. Di samping itu, “ketegasan pemerintah” menjadi kunci tuntasnya polemik UU KPK. Jika tegas, pasti polemik tak berkepanjangan, begitu pula sebaliknya. Wallahu a’lam. ***** ( Hamidulloh Ibda : Penulis adalah Pegiat Antikorupsi di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang. )

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menggugat UU KPK Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda