Dimuat di SUARA KARYA, Selasa, 2 Oktober 2012
Dewasa ini, rencana revisi terhadap Undang-Undang KPK berujung
kontroversi. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Denny
Indrayana, menegaskan komitmen pemerintah dalam mendukung penguatan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan ini dikemukakan menyikapi usulan Komisi
III DPR RI terkait revisi UU KPK yang dinilai akan memperlemah kewenangan
lembaga tersebut dalam memberantas korupsi di Tanah Air.
Memang benar, jika
melihat draf (revisi) yang diajukan, sangat jelas akan 'melemahkan KPK'.
Tetapi, posisi pemerintah jelas seperti tahun-tahun sebelumnya bahwa tidak akan
setuju memperlemah KPK. Wacana merevisi UU KPK tersebut sebenarnya disuarakan
pihak-pihak yang lekat dengan perilaku koruptif.
Pihak-pihak ini akan
terus berupaya melemahkan KPK. Di antaranya melalui usulan memangkas kewenangan
KPK, seperti dalam bidang penuntutan dan penyadapan yang dituangkan dalam draf
revisi UU KPK. Kewenangan KPK dalam bidang penuntutan dan penyadapan itu
sejatinya tak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pasal-pasal tersebut
sudah 17 kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diubah.
Namun, keputusan MK
tetap konsisten bahwa kewenangan-kewenangan strategis KPK itu tidak melanggar
UUD 1945. Kewenangan penyadapan KPK memang sudah seharusnya melekat di lembaga
antikorupsi itu. Bahkan KPK saat ini merupakan lembaga yang memiliki audit
penyadapan terbaik. Penyadapan ini teknik penyamaran. Kalau perlu seizin hakim
itu sama saja tidak bisa melakukan penyidikan. Begitu juga dengan kewenangan
untuk melakukan penuntutan yang memang harus ada di KPK sebagai tanda lembaga
itu memiliki kewenangan luar biasa. Kewenangan itu banyak dicontoh oleh negara
lain, seperti Malaysia yang mengadopsi hal yang sama untuk Komisi Rasuah
mereka.
Jika penuntutan
diserahkan ke kejaksaan, di mana sisi keluarbiasaan KPK? Inilah yang harus
diperhatikan. Selain itu, secara substansi usulan pembentukan Badan Pengawas
bagi KPK tidak diperlukan karena berpotensi memunculkan intervensi terhadap
lembaga itu.
Kontroversi
Banyak kalangan partai
politik (parpol) dan anggota DPR menolak dan menerima usulan revisi UU KPK.
Sebagai contoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, memastikan tidak
menandatangani rencana revisi undang undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang telah diajukan Komisi III DPR ke Badan Legislasi DPR.
Kenapa demikian? PKS
menilai, rencana revisi tersebut merupakan pelemahan KPK yang bersikukuh
menyidik kasus simulator SIM. PKS menjadi satu-satunya fraksi yang memastikan
sikap menolak draf revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang
diajukan Komisi III DPR kepada badan legislasi, bulan lalu. Sementara itu,
sejumlah fraksi lain mengaku menolak revisi apabila melemahkan KPK, meski
memandang revisi adalah bentuk penyempurnaan.
Selain Denny dan PKS,
sebenarnya banyak elite yang menolak pelemahan KPK tersebut. Seperti halnya
dengan anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul menilai, revisi UU KPK tidak
selayaknya dilakukan. Jika ada yang mendukung revisi tersebut, dia yakin akan
berpengaruh pada popularitas. Memang KPK itu ibarat anak gadis, masih dicintai
rakyat. Siapapun mau coba-coba ganggu dia, akan tergerus (Sindo, 29/9/2012).
Politisi Partai
Demokrat itu menilai KPK sebagai salah satu lembaga negara yang sangat dicintai
rakyat. Oleh karenanya, dia yakin partai yang mengganggu KPK dengan mendukung
revisi UU KPK akan mendapat citra negatif di mata masyarakat. Ruhut mengatakan
partainya selalu menolak pelemahan KPK. Bahkan dia mengklaim sebagai pihak yang
pertama kali menolak revisi UU KPK. Dia mengaku telah menolak usulan revisi UU
KPK sejak 2009 lalu, saat usulan revisi pertama kali muncul.
Sebenarnya,
kontroversi yang terjadi bukan menjadikan KPK untuk stagnan. Namun, dalam hal
ini pemerintah dan DPR harus tegas dan bijak untuk menuntaskan kontroversi yang
terjadi. Jika perlu, pemerintah dan DPR harus menolak revisi UU KPK. Pasalnya,
dari sekian banyak kontroversi, yang paling banyak adalah penolakan, bukan
dukungan.
Ada beberapa poin krusial
dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah
didorong sejumlah anggota Komisi III DPR.
Pertama, kewenangan
penututan KPK yang akan dipangkas oleh DPR. Dalam penuntutan akan dilakukan
oleh kejaksaan. Hal ini akan membuka kemungkinan kasus yang disidik KPK akan
dihentikan oleh kejaksaan. Kedua, masalah penyadapan yang akan dipersulit.
Ketiga, DPR juga akan mempersoalkan masa jabatan pimpinan pengganti KPK dan
soal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Padahal, dalam putusan
Mahkamah Konstitusi (MK), masa jabatan pimpinan KPK menganut steger sistem.
Jadi. jika ada pimpinan KPK berhenti di tengah jalan, pimpinan penggantinya
juga punya masa jabatan sama.
Poin selanjutnya
adalah rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dibentuk DPR justru membuka
potensi intervensi politik ke KPK sekaligus memperbesar kewenangan DPR.
Terlepas dari itu semua, pemerintah harus 'cerdas mengupas' atas kontroversi
yang terjadi. Badan Legislasi (Baleg) DPR tak perlu terburu-buru memutuskan
naskah RUU KPK. Baleg perlu meminta pendapat dari Komisi III, pakar hukum,
akademisi, dan pihak lainnya.
Intinya, ada di tangan
pemerintah. Yang penting, peran pemerintah dalam menjembantani beberapa
kepentingan parpol/DPR yang terjadi. Jangan sampai rencana revisi UU KPK dan
kontroversi ini mengganggu, melemahkan, dan menumpulkan taring KPK dalam
menumpas korupsi. Wallahu a'lam bisshowab. ***
Penulis adalah
Sekretaris HI Study Centre IAIN Walisongo Semarang
0 komentar:
Post a Comment