Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Radar Bangka,
Senin 8 Oktober 2012
Baru-baru ini,
rencana Komisi III DPR merevisi UU KPK ditentang banyak kalangan, termasuk
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Dia menilai belum ada urgensi merevisi
UU tersebut (Kompas, 28/9). Logika menolak revisi tersebut karena revisi
dinilai tidak menyempurnakan dan memperkuat posisi KPK, bahkan justru
melemahkannya. Seharusnya, revisi itu bertujuan memperkuat KPK. Artinya, harus
mempertahankan bahkan menambah berbagai kewenangan luar biasa (extraordinary)
yang dimiliki lembaga itu.
Dalam draf revisi usulan DPR, ada dua poin penting
yang menjadi perdebatan hangat berbagai kalangan, yakni “penyadapan dan
penuntutan.” Dalam draf itu, KPK harus meminta izin pengadilan negeri jika
ingin menyadap. DPR juga ingin menghilangkan kewenangan penuntutan pada KPK dan
mengembalikan ke kejaksaan, serta mengusulkan pembentukan Dewan Pengawas KPK.
Anggota Dewan Pengawas direncanakan berjumlah lima orang yang terdiri atas
wakil kepolisian, kejaksaan, LSM antikorupsi, dan media massa.
Banyak kalangan yang tak setuju kewenangan KPK
menyadap dikurangi dengan harus minta izin lebih dulu ke pengadilan. Kewenangan
penuntutan pada KPK tetap diperlukan dan tak perlu dioper ke kejaksaan. Dewan
Pengawas pun juga tidak diperlukan. Intinya, KPK harus berbeda. Kalau
kewenangan luar biasa yang menjadi ciri KPK justru tidak dimiliki, bahkan tidak
perlu ada KPK lagi.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai, revisi UU
KPK bukan keinginan seluruh legislator di Senayan. Itu sebenarnya kemauan
beberapa oknum di DPR saja. Bisa dilihat beberapa orang yang gemar dan getol
atau mempermasalahkan kewenangan KPK(Sindo, 28/9).
Kepentingan 2014
DPR dinilai takut diawasi KPK dengan mempersulit
aturan penyadapan. Apalagi, partai politik terus memenuhi kebutuhan logistik
menjelang Pemilu 2014. Dikhawatirkan banyak transaksi terkait kepentingan
pemilu. Menjelang pemilu merupakan waktu bagi partai untuk menggalang dana
sebesar-besarnya. Hingga saat ini, tidak ada partai politik yang berdiri atas
pembiayaan pengurus maupun kadernya. Apalagi, banyak usaha yang dimiliki
petinggi partai justru merugi di lantai bursa. Yang menjadi sasaran tentu APBN
yang disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang.
Selama ini, kasus tangkap tangan yang melibatkan
sejumlah anggota DPR terungkap berkat penyadapan oleh KPK. Berbagai kasus
berhasil diungkap melalui penyadapan, tetapi justru penyadapan akan dipersulit.
Inilah salah satu penyebab “main mata” dan agenda politik yang diharapkan DPR
untuk melemahkan KPK.
Dukungan Masyarakat
Diakui atau tidak, saat ini KPK berada di ujung
tanduk. Jika DPR nekat menghilangkan fungsi penyadapan, penyidikan, dan
penuntutan, maka lembaga yang dibentuk pada 2003 ini akan segera “mati suri.”
Jika institusi ad hoc ini tak lagi memiliki hak-hak istimewa, bagaimana
memainkan peran sentral dalam perang melawan korupsi? Memang masih ada fungsi
supervisi dan pecegahan, namun kejahatan luar biasa itu harus dihadapi dengan
cara-cara yang tidak biasa.
Lalu, dengan cara apa kita bisa menghentikan niat para
wakil rakyat di Senayan agar tidak memperlemah KPK? Saat KPK membutuhkan
penguatan, legislator seolah-olah menentang kehendak sebagian besar rakyat
dengan merencanakan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perilaku yang
seperti mati rasa itu berpotensi mendorong masyarakat bersikap permisif,
membiarkan ulah para elite, dan ujungnya acuh dengan persoalan bangsa ini.
Sejujurnya, kita belum menemukan resep mujarab untuk
memberantas korupsi. Realitasnya, korupsi menggunung, ribuan kasus terungkap
hanya di permukaan. Patutkah kita menghabiskan energi setiap hari dengan
membuat kegaduhan, berdiskusi, memperdebatkan pasal demi pasal, saat korupsi
sudah mencapai titik membahayakan; merusak tatanan kehidupan masyarakat,
menghambat pembangunan berkeadilan sehingga membawa negeri ini ke tubir
kehancuran?
Akar korupsi kita bukan masalah ekonomi. Mentalitas
serakahlah yang menjadi pemicu sehingga korupsi sulit dikendalikan. Dalam
keterpurukan mental, upaya pemberantasan melalui pendekatan hukum tidak akan
membuahkan hasil maksimal. Orang-orang dengan keterpurukan mental, tidak akan
pernah jera dipenjara seumur hidup, bahkan diancam hukuman mati sekalipun.
Begitu berat tugas KPK, maka dukungan nyata rakyat dan seluruh elemen
masyarakat sangat dibutuhkan.
Dukungan moral sejumlah tokoh saat ini, rasanya belum
cukup untuk melawan rencana revisi. Kita membutuhkan gerakan massa yang
melibatkan semua elemen masyarakat, terutama kaum muda dan mahasiswa. Kita
melawan kelompok-kelompok yang kuat, mempunyai jaringan kepentingan
politik-ekonomi-kekuasaan. Mereka bukan hanya ingin melemahkan KPK, melainkan
sejatinya ingin menghancurkan institusi yang dipercaya rakyat untuk memberantas
korupsi.
KPK jelas butuh penguatan. Adapun kekurangan dan
kelemahan dalam fungsi penyadapan, penyidikan dan penuntutan, dengan niat baik
kita perbaiki agar lembaga ini bisa bekerja optimal. Tiga fungsi itu ”roh” KPK.
Akhirilah retorika-retorika tak bermakna, dan tanamkan mind set korupsi sebagai
kejahatan luar biasa. Sebagai pemegang amanat rakyat, coba tanyakan pada hati
nurani Anda sebelum merevisi UU KPK. Jangan berpura-pura memburu tikus dengan
membakar lumbungnya. Wallahu a’lam. (**)
0 komentar:
Post a Comment