Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 3 Oktober 2012
Diakui atau tidak,
polemik KPK dan Polri sangat memprihatinkan. Sekalipun pimpinan KPK menolak
pendapat MOU memandulkan taji KPK, secara moral kewajiban kelima KPK mematuhi
MOU diyakini “melebihi” kepatuhan KPK terhadap UU pembentukannya sekaligus. Hal
tersebut merupakan hambatan psikologis untuk tidak kooperatif terhadap apa yang
dicantumkan dalam MOU.
Kasus simulator SIM
merupakan bukti kegagalan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap
kepolisian.Kegagalan ini terpulang kepada sikap kelima pimpinan KPK yang
berasaskan kolektif kolegial dan sejatinya seharusnya memperhatikan bunyi
asasasas yang tercantum dalam UU RI Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas KKN.
Ada tiga hambatan
serius KPK dalam menyelesaikan kasus simulator SIM. Pertama, keberadaan MOU. Kedua,kesepakatan
penanganan barang bukti yang rentan terhadap ketidaksepakatan cara
menanganinya. Ketiga, tidak diperpanjangnya masa tugas kedua puluh penyidik
Polri di KPK. Dalam konteks kemelut ini tentu menjadi perhatian kita nasib
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Bareskrim dalam kasus tersebut
ke Kejaksaan Agung. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda bagaimana Kejaksaan
Agung menyikapi SPDP tersebut. Kegamangan Kejaksaan Agung dapat dipahami karena
SPDP ini bak “buah simalakama”; dilanjutkan terasa menyentuh hubungan baik
dengan KPK selama ini seperti penanganan kasus mantan Gubernur Sumut, SA; yang
dapat diselesaikan melalui MOU.
Jika tidak disikapi
segera SPDP Bareskrim, menyentuh sesama instansi penegak hukum yang bernaung di
bawah KUHAP sejak lama. Selain itu, kasus simulator sejak awal telah juga
memunculkan pendapat anggota Komisi III DPR RI sebagai partner kerja ketiga
institusi penegak hukum tersebut. Pandangan itu terbentuk dengan alasan melalui
fungsi pengawasan tentu Komisi III DPR RI berhak untuk mengetahui penyebab
munculnya “konflik kelembagaan” antara KPK dan Polri dalam kasus ini.
Daya tarik kasus
simulator bagi anggota Komisi III DPR RI dalam menjalankan fungsi pengawasan
tentu tidak terlepas dari tanggung jawab moral mereka, karena permohonan peningkatan
anggaran Polri termasuk untuk pengadaan simulator SIM melalui persetujuan
Banggar DPR RI. Semakin lamban penyelesaian kasus simulator SIM oleh KPK dan
Polri maka semakin kuat tarikan pengaruh politik dalam kasus ini; tidak berbeda
dengan kasus korupsi lainnya.
Jika kita teliti
status MOU tanggal 29 Maret 2012 sampai saat ini masih tetap berlaku sah dan
mengikat para pihak penandatangannya, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa
kemelut kasus ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab Kejaksaan Agung
sebagai salah satu pihak dalam “tripartite” MOU.Selain tanggung jawab hukum
(sesuai dengan KUHAP) juga memiliki tanggung jawab moral sebagai sesama lembaga
penegak hukum dalam keadaan sulit yang tengah dihadapi kedua pihak lainnya.
Atas dasar pertimbangan tersebut saya usulkan agar kasus simulator SIM
dilimpahkan kepada kejaksaan seluruhnya sejak penyidikan sampai penuntutan.
Karena itu, dengan
cara ini tidak ada pihak yang merasa dikesampingkan dan dilemahkan. Bahkan
dengan cara ini KPK dapat fokus pada kasus megakorupsi seperti Century dan
kasus Hambalang yang telah diduga menimbulkan kerugian triliunan rupiah
daripada hanya mengejar satu target saja, yaitu seorang jenderal polisi dengan
nilai yang tidak signifikan dibandingkan dengan kedua kasus di atas.
Pelimpahan perkara ini
pun dimungkinkan selain karena praktik pernah dilakukan KPK dalam kasus korupsi
lain baik kepada kepolisian maupun kepada kejaksaan, juga mengikuti MOU hal ini
dibenarkan. Kejaksaan Agung dapat berkoordinasi dengan KPK dan Polri jika perlu
atas persetujuan KPK dan Polri dapat ikut menyelesaikan masalah kasus simulator
SIM antara lain melakukan “pengambilalihan” dengan pertimbangan efisiensi dan
efektivitas penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Cara ini melepaskan
KPK dan Polri agar tidak tersandera baik secara hukum maupun secara psikologis
oleh kasus simulator SIM yang belum dapat diprediksi percepatan penyelesaianya
oleh kedua institusi tersebut.
Peran Pemerintah
Penarikan 20 penyidik
Polri dari KPK di tengah kekisruhan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan
alat simulator SIM, sangatlah tidak kondusif untuk menguatkan perang melawan
korupsi. Dengan latar belakang apa pun, kesan penggembosan lembaga antirasuah
itu tidak dapat dielakkan. Sikap verbal kepolisian terhadap KPK sekali lagi
menunjukkan iklim progresif pemberantasan korupsi belum tercipta sebagai
kultur.
Untuk kali kesekian
pula, KPK mengalami pembonsaian secara sistematis. Dari hubungannya dengan
lembaga-lembaga penegak hukum lain, opini publik oleh para tokoh di dalam
pemerintahan yang merasa terusik kepentingannya, hingga sikap-sikap parlemen
atau sejumlah anggota DPR yang cenderung tidak berpihak kepada integritas KPK.
Bahkan pintu masuk pembuatan perundang-undangan menjadi bagian dari upaya untuk
mengerdilkan kewenangan KPK.
Kasus simulator SIM
yang melibatkan perwira tinggi polisi menjadi rebutan antara KPK dan Polri.
Opini publik mendorong Polri untuk legawa menyerahkannya kepada lembaga
superbody tersebut, namun Mabes bersikeras. Padahal jika ditangani Polri
sendiri, dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan. Penanganan sepenuhnya oleh
KPK akan menunjukkan dukungan kepada perang melawan korupsi, dan itu tentu
memperkuat citra komitmen kepolisian.
Agaknya inilah momen unjuk posisi tawar. Seolah-olah keberadaan KPK “mengganggu” kewenangan kepolisian atau kejaksaan. Di tengah realitas kedaruratan kejahatan korupsi saat ini, jelas dibutuhkan terobosan besar untuk membangun atmosfer baru, yakni dengan memperkuat kepemimpinan dalam perang melawan kejahatan luar biasa tersebut. Sikap extraordinary itu adalah kemauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk benar-benar berada di depan.
Agaknya inilah momen unjuk posisi tawar. Seolah-olah keberadaan KPK “mengganggu” kewenangan kepolisian atau kejaksaan. Di tengah realitas kedaruratan kejahatan korupsi saat ini, jelas dibutuhkan terobosan besar untuk membangun atmosfer baru, yakni dengan memperkuat kepemimpinan dalam perang melawan kejahatan luar biasa tersebut. Sikap extraordinary itu adalah kemauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk benar-benar berada di depan.
Ketegasan sikap
Presiden diyakini akan membimbing dukungan kepada KPK. Sedangkan dari sisi KPK
sendiri, bargaining position yang diajukan lembaga lain itu, mesti mendorong ke
arah ketersediaan penyidik-penyidik independen, sehingga tak terjebak pada
ketergantungan. Di luar aspek teknis itu, kita yakin Presiden akan mendapat
dukungan kuat dari rakyat jika mau mendorong, lalu mengawal kepolisian dan
kejaksaan untuk bersinergi dengan KPK.
Sikap-sikap normatif
yang terasa mengambang dari Presiden dalam sejumlah isu yang seharusnya
mendorong penguatan kiprah KPK, bagaimanapun membuka celah bagi pembentukan
opini publik. Seakan-akan atas nama hukum atau justifikasi prosedur, maka kita
jadi kehilangan keberanian untuk bersikap progresif. Padahal terbukti sikap
konservatif dalam penegakan hukum masalah korupsi hanya akan memperkuat
lingkaran koruptor dan tidak menciptakan kedahsyatan efek jera.
0 komentar:
Post a Comment