Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan,
Rabu 17 Oktober 2012
Benar suara kata bijak berdengung. Semakin keadilan ditegakkan,
semakin banyak yang akan meruntuhkan. Semakin tinggi pohon mahoni, semakin
besar badai yang akan merobohkan. Semakin tegak “bahu” KPK, semakin berat beban
dan tantangan yang dipikul di pundak KPK. Semakin tinggi jangkauan tangan dan
kaki KPK, semakin tajam pula pisau-pisau yang ingin “memotong”.
Itulah yang sedang dialami oleh KPK. Semakin hari, KPK harus
menghadapi begitu banyak tantangan yang cukup berat karena lembaga antikorupsi
ini semakin gerilya memberantas dan mengungkap kasus korupsi. Tantangan dan
perlawanan yang dihadapi oleh KPK memang tiada habisnya. Benarlah kata sang
ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD bahwa pelemahan KPK terjadi secara
sistematis dan berkelanjutan. Sistematis artinya tersusun secara rapi tanpa
meninggalkan kesan yang tidak baik dan berkelanjutan artinya terus-menerus
tanpa ada titik akhir.
Pernyataan Mahfud memang bukan tanpa sebab. Jika kita telusuri
dari masa-masa sulit yang telah dilalui oleh KPK mulai sejak dilahirkan tahun
2003, cukup banyak peristiwa yang ingin mehilangkan eksistensi KPK. Pertama,
ketika Antasari Azhar (mantan ketua KPK) ditahan, banyak dugaan bahwa kasus
tersebut tidak terlepas dari balas dendam para koruptor. Saat Antasari Azhar
yang kini berstatus narapidana itu ditangkap, Komisi III DPR menyatakan saat
itu KPK sudah tidak memiliki legitimasi lagi, sebab pimpinannya ditangkap
sehingga fungsi kolektif kolegialnya telah habis.
Kedua, pelemahan KPK kembali terjadi ketika dua pimpinan KPK
lainnya, Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah sempat dituding menerima
suap dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus yang melibatkan Anggoro. Kasus ini
juga disinyalir adalah sebuah “aksi balas dendam” oleh para koruptor baik yang
sudah ditangkap maupun yang masih berkeliaran.
Ketiga, saat KPK menginginkan gedung baru kepada DPR, betapa
sulitnya mereka mendapat persetujuan atas gedung baru KPK tersebut. Padahal,
gedung baru itu adalah kebutuhan cukup vital karena dinilai, gedung yang ada
sudah tidak cukup lagi menampung para personelnya. Peristiwa ini menimbulkan
rasa simpati dari rakyat Indonesia. Sampai-sampai rakyat melakukan pengumpulan
koin untuk pembangunan gedung baru tersebut.
Keempat, kasus perseteruan antara KPK dengan Polri mengenai
kasus korupsi proyek Simulator SIM oleh Inspektur Jenderal Djoko Susilo
menambah ”lawan” KPK. Komplikasi atas kasus ini, Polri menarik para personelnya
yang bekerja di KPK. Yang terakhir, seperti terjadi saat ini, pengusulan revisi
Undang-undang (UU) No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang disinyalir akan
memangkas/ membonsai kewenangan KPK, secara khusus dalam penyadapan dan
penuntutan.
Misi Korupsi
Kalau kita telaah, usaha-usaha pelemahan tersebut
mengindikasikan bahwa pelakunya sangat berambisi untuk melakukan korupsi.
Mereka begitu bernafsu ingin menggerogoti anggaran negara demi kepentingannya
sendiri. Perbuatan yang sangat mengecewakan dan menajiskan. Mereka yang adalah
wakil-wakil rakyat tega-teganya ingin “menghancurkan” satu-satu harapan rakyat
untuk mengungkap sindikat korupsi yang terjadi di negeri ini (yang mana rakyat
saat ini mengalami krisis kepercayaan kepada keberadaan Polri dan Penegak Hukum
dalam memberantas korupsi). KPK yang adalah harapan rakyat untuk memberantas
korupsi, malah ingin dibungkam oleh wakil rakyat sendiri.
Pengusulan revisi UU No. 30 Tahun 2002 memang cara sistematis
yang dilakukan oleh DPR. Mereka memanfaatkan kesempatan atas momen yang
terjadi. Dengarkanlah komentar beberapa anggota DPR terkait revisi UU tersebut.
Mereka mengatasnamakan harmonisasi dan integrasi dengan adanya revisi UU ini.
Mereka beralasan, semangat utama merevisi Undang-Undang KPK adalah
mengintegrasikan proses penegakan hukum antara KPK dan dua lembaga penegakan
hukum lainnya, yaitu kejaksaan dan kepolisian. Mereka mencontohkan, polemik
penanganan kasus korupsi pengadaan simulator alat uji surat izin mengemudi
adalah salah satu contoh koordinasi yang kurang baik. Sebuah alasan yang tak
masuk akal lagi tak masuk hati nurani.
DPR seharusnya merevisi perbuatan dan perilakunya. Kesalahan
bukan pada undang-undangnya, tetapi pada perilaku dari pelaku koruptor. DPR
seharusnya membenahi dan memperbaiki citra buruk yang selama ini kelam di mata
rakyat. Banyak perilaku DPR yang menyimpang dari amanah yang harus mereka
pegang dan laksanakan. Bila kita mengingat-ingat berbagai perilaku DPR di
masa-masa yang lalu, sungguh sangat melukai dan menyakiti hati rakyat.
Jika DPR dapat menjamin bahwa mereka bersih dari korupsi, tak
perlu ada revisi tersebut. Dan jika memang DPR berniat memperbaiki hubungan KPK
dan Polri atau KPK dan Kejaksaan, revisi tersebut tak dapat diterima, alias gak
nyambung. Jika mereka DPR serius "mendamaikan" lembaga-lembaga
tersebut, banyak cara elegan yang dapat dilakukan. Misalnya, mengajak ketiga
lembaga tersebut duduk bersama, mencari solusi atas perseteruan, memberikan
motivasi-motivasi agar lebih baik lagi kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam
melayani masyarakat. Itu baru OK. Revisi UU No. 30 Tahun 2002 justru ingin “membunuh”
KPK secara perlahan-lahan. Inikah yang dinamakan dukungan kepada KPK?
0 komentar:
Post a Comment