Tulisan ini
dimuat di Radar Bangka, Senin 15 Oktober 2012
Penjelasan
yang disampaikan Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono pada Senin (8/10) lalu mendapat apresiasi dari berbagai
kalangan. Sikapnya yang jelas dan tegas atas perseteruan antara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menggugurkan apresiasi
sejumlah kalangan di jejaring sosial maupun media massa beberapa hari terakhir.
Betapa tidak, tanpa mengetahui sesungguhnya apa yang telah dan tengah
diupayakan Presiden dalam menghadapi kemelut tersebut, mereka mempertanyakan
(peran) Presiden yang seolah-olah mendiamkan saja soal ini. Padahal, sebenarnya
sejak awal terjadinya ketegangan hubungan antar-kedua institusi penegak hukum
itu, Presiden telah mengupayakan beberapa hal.
Tentunya hal itu dilakukan dengan
mengedepankan upaya-upaya yang sesuai dengan undang-undang ataupun nota
kesepahaman yang disepakati bersama. Selanjutnya, Presiden pun selalu mengikuti
setiap perkembangan yang terjadi. Juga langsung memberikan instruksi kepada
Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo ketika ketegangan meningkat hingga
akhirnya mereda.
Hanya saja, hal ini tidak terekspos
karena memang tidak menjadi kewajiban Presiden untuk menyampaikan kepada LSM
ataupun politikus tertentu mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan.
Kondisi inilah yang tampaknya kemudian berkembang menjadi “berita panas” yang
bergulir bagai bola salju yang menggelinding. Akhirnya, Presiden pun turun
tangan mengambil alih masalah tersebut. Perseteruan antar-kedua institusi
penegak hukum ini sebelumnya sempat mencuat beberapa waktu lalu, menyusul
perbedaan pendapat yang tajam antara Susno Duadji (Polri) dan Bibit Samad
Riyanto - Chandra M Hamzah (KPK). Tentu kita masih ingat istilah yang
disebutkan Susno waktu itu, yakni Cicak vs Buaya. Nah, kali ini terjadi
lagi.
Meskipun begitu, Presiden mengaku
tetap menomorsatukan sikap hati-hati, cermat, dan bijak jika harus memasuki
wilayah kerja KPK. Sebab, ini menyangkut hal sangat sensitif, mengingat KPK
bukanlah berada di bawah Presiden. Ia merupakan lembaga negara yang independen.
Karena itu, sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah munculnya praduga
bahwa Presiden memengaruhi KPK.
Namun, mengingat situasi yang
berkembang menjadi tidak sehat, ia pun mencoba memediasi perseteruan Polri
dengan KPK. Setidaknya ada tiga perbedaan pandangan di antara keduanya, yakni
mengenai siapa yang menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM, penanganan
personel penyidik KPK dari Polri, dan sikap elemen Polri yang berupaya
menangkap seorang perwiranya yang menjadi penyidik di KPK karena diduga
melanggar hukum beberapa tahun lalu.
Dengan penjelasan sistematis, jelas,
dan tegas, Presiden menjawab persoalan-persoalan tersebut, menyusul pertemuan
antara dua petinggi KPK dan Kapolri dengan didampingi Menteri Sekretaris
Negara. Untuk penanganan kasus korupsi simulator SIM dengan salah satu
tersangkanya, Djoko Susilo, ditangani oleh satu lembaga, yaitu KPK. Ini juga
sesuai dengan Pasal 50 UU 30/2002 tentang KPK.
Dari pemaparan tersebut, jelaslah
bahwa Presiden tidak pernah tinggal diam. Ia justru menaruh perhatian yang
tinggi, namun tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyelesaikan
masalah sehingga didapat solusi yang tepat sasaran. Kita patut mengapresiasi
sikap kenegarawanan tersebut. Menjadi penengah yang bijak, tanpa membuat salah
satu pihak kehilangan muka. Sebab disadari, masih-masing pihak punya dasar
pijakan yang kuat. Selanjutnya yang harus dikawal adalah tindak lanjut dari keputusan
tersebut. Ini semua demi menuju Indonesia yang lebih baik.
Menghentikan Revisi RUU KPK
Revisi RUU KPK dimungkinkan
terlaksana, sepanjang untuk memperkuat KPK. Itu salah satu rekomendasi SBY.
Tapi kenyataannya-termasuk sebelum Presiden berpidato, dalam upaya menengahi
perseteruan Polri dan KPK-banyak pihak meragukan keinginan DPR itu. Bahkan, di
kalangan DPR sendiri suara terpecah, karena tak sedikit yang beranggapan bahwa
revisi RUU KPK itu hanya akan melemahkan KPK.
Sejauh ini memang belum ada pihak
yang mampu meyakinkan bahwa revisi yang akan dilakukan terhadap RUU KPK adalah
untuk memperkuat peran KPK. Rencana Komisi III DPR merevisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK justru dinilai akan memangkas kewenangan KPK dalam
penuntutan dan penyadapan. Kalau revisi benar terjadi, maka KPK kehilangan
kekuatan, sekaligus menguntungkan koruptor.
Karena itu, apa yang diungkapkan
Presiden SBY pantas menjadi bahan pertimbangan bagi DPR. Apakah revisi dimaksud
menguntungkan atau menguatkan KPK atau sebaliknya melemahkan? Jika betul
kenyataannya melemahkan, kenapa harus diteruskan? Sebaiknya DPR mengambil
langkah stop rencana merevisi RUU KPK tersebut.
Sepantasnya recana DPR merevisi RUU
KPK dibatalkan jika memang bukan untuk menguatkan KPK. Penghentian rencana itu
harus tuntas agar tidak menabrak aturan main. Karena revisi UU KPK sudah
merupakan Program Legislasi Nasional, maka penghentiannya harus dilakukan
melalui rapat paripurna DPR. Dalam rapat tersebut seluruh fraksi mengemukakan
pendapat mereka. Pemerintah selayaknya segera membuat kesepakatan dengan DPR
guna mencabut RUU KPK itu. Jangan biarkan urusan revisi RUU KPK berlarut tanpa
ujung. Wallahu a’lam bial-shawab. (**)
0 komentar:
Post a Comment