Tulisan ini dimuat di Koran Pagi
Wawasan, Rabu 14 November 2012
Apakah Indonesia negeri bobrok?
Rentetan masalah tak kunjung reda, justru semakin memprihatinkan. Diakui atau
tidak, ternyata tak terhitung lagi jumlah aksi kekerasan terhadap musuh yang
dinilai berbeda dalam prinsip-prinsip kehidupan, terutama agama, budaya, dan
ras/suku bangsa. Tragedi di Sampang, Madura, baru-baru ini merupakan contoh
teraktual. Perbedaan prinsip menimbulkan konflik, lalu ini diselesaikan dengan
main hakim sendiri. Biasanya yang tampaknya menang adalah kelompok mayoritas.
Jangan tanya, masih adakah Polri?
Jika dihumpun, masalah di negeri ini
memang kompleks. Mulai dari korupsi, kemiskinan, dan lain sebagainya. Lalu,
siapa yang bertanggung jawab atas hal itu? Inilah pertanyaan yang perlu dicari
jawabannya bersama-sama.
Rentetan Masalah
Soal korupsi? Tiap hari kita dibuat
muak oleh berita-berita korupsi, terutama yang dilakukan oleh para pejabat yang
seharusnya memberantas korupsi. Berita
yang paling memuakkan kita pastilah institusi negara penegak hukum (Polri) yang
seharusnya memberantas korupsi, justru sengaja melawan penegak hukum lainnya
(Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) untuk melindungi para pejabat tinggi Polri
yang diduga korupsi dalam proyek pengadaan simulator kemudi untuk ujian Surat
Izin Mengemudi senilai Rp 196,87 miliar. Jangan bertanya, di manakah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono?
Meskipun telah 67 tahun merdeka,
ternyata lebih dari 30 juta (lebih dari 12 persen) penduduk Indonesia masih
miskin. Bila digunakan standar miskin buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
angka ini bisa lebih dua kali lipat.
Karena miskin, berjuta-juta anak
buta pengetahuan dasar, tak mampu bersekolah, terpaksa putus sekolah, dan tak
sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena miskin, mereka tak
bersekolah, sehingga mereka tetap bodoh. Karena tak bersekolah, mereka tetap miskin,
bahkan semakin miskin dengan segala dampak buruk ikutannya. Ini lingkaran setan
yang tak pernah bisa dipatahkan oleh pemerintah. Bayangkan, sebuah distrik yang
memiliki 70 kampung di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, sama sekali tidak
memiliki sekolah dasar (Kompas, 19/7/2012).
Gara-gara kerakusan para koruptor,
Indonesia berada di peringkat kelima dunia dalam hal gizi buruk. Pada 2030,
sebagian besar penduduk negeri ini berusia produktif (20-55 tahun). Ini disebut
masa emas demografi yang biasanya terjadi hanya sekali dalam usia sebuah
bangsa. Akan tetapi bagaimana mungkin
mereka kelak bisa sangat produktif (mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita) bila
sewaktu dalam rahim ibu hingga anak berusia di bawah lima tahun (balita)
menderita gizi buruk? Mungkinkah mereka yang sangat kekurangan gizi menjadi
mesin penggerak perekonomian nasional?
Simaklah data ini. Dari kurang-lebih
230 juta penduduk negeri ini, 146 juta (63 persen) di antaranya tergolong
perokok aktif. Sebanyak 84,8 persen perokok aktif di negeri ini tergolong
miskin atau sangat miskin (berpenghasilan kurang dari Rp 20.000 per hari). Sebanyak 429.948 kematian yang berkaitan
dengan rokok terjadi tiap tahun di Indonesia atau 1.172 perokok meninggal
setiap hari. Tak kurang dari Rp 1,5 triliun diraup oleh 10 perusahaan televisi,
165 majalah, dan 103 koran dari iklan rokok.
Fakta lainnya: sebanyak 91,7 persen
anak berusia 13-15 tahun mulai merokok akibat pengaruh iklan rokok. Hampir
semua (99,7 persen) anak Indonesia pernah/sering sekali melihat iklan rokok di
layar televisi, dan 68 persen di antara mereka berkesan positif terhadap rokok.
Sebanyak 71 persen keluarga Indonesia memiliki satu perokok di dalam setiap
keluarga.
Sebesar 12,43 persen pengeluaran
orang Indonesia tersedot untuk belanja rokok. Bagi mereka merokok enam kali
lipat lebih penting daripada untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Sebanyak
66 perokok pasif di Indonesia adalah perempuan, padahal umumnya perempuan kawin
dan melahirkan anak (Tempo, 3/7/2012). Tak tersangkal, ini jelas merupakan
ancaman besar bagi masa depan Indonesia.
Kini Indonesia berada di peringkat
ketiga dunia dalam hal pemasaran narkoba. Negeri ini menjadi pasar subur,
besar, dan empuk bagi para pedagang narkoba internasional, padahal harganya
naik puluhan kali lipat dari negara asalnya. Sebanyak 3,8 juta (2,2 persen)
penduduk negeri ini, sebagian di antaranya masih anak (di bawah 18 tahun),
mengonsumsi narkoba. Sebanyak 5,1 juta penduduk Indonesia diperkirakan
mengonsumsi narkoba tahun ini.
Pada periode Januari-November 2011
saja, tak kurang dari Rp 28 miliar dibelanjakan untuk narkoba. Sebanyak 90
persen risiko penularan HIV dari pemakaian narkoba melalui jarum suntik. Pada
1997, tindak pidana narkoba di Indonesia baru 602 kasus, sedangkan tahun lalu
melonjak 4.000 persen menjadi 26.500 kasus. Sebanyak 52-75 persen penghuni
penjara di Aceh terpidana narkoba, sebagian di antaranya anak-anak (Tempo, 8/7/2012). Tak dapat disangkal, ini merupakan ancaman besar bagi bangsa dan
negara kita.
Harapan?
Kita kembali ke
pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini. Masih adakah harapan hidup di negeri
ini? Bila ada, apa yang masih bisa kita harapkan? Apa dasarnya kita berharap?
Siapakah yang masih bisa kita harapkan untuk memperbaiki negara ini?
Jawabnya; kita sendiri. Jangan
pernah berharap kepada pemerintah pusat dan daerah, DPR dan DPRD,
Parpol-parpol, para politikus, para rohaniwan, para aktivis LSM, serta lainnya/
SDM (selamatkan diri masing-masing) dengan bekerja keras, gigih, dengan
mengandalkan pertolongan Tuhan. Wallahu
a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment