Saat ini, pasar politik kontemporer membuat partai politik berbasis massa dan ideologi Islam berada dalam dilema. Di satu sisi, parpol Islam dituntut agar dapat mengartikulasikan aspek ideologis yang melekat padanya dalam wilayah praktis, yakni realisasi program kerja yang bertumpu pada nilai-nilai Islam. Tentu saja, program kerja itu harus memiliki relevansi dengan nuansa keislaman.
Jika parpol Islam tak
mampu menghasilkan program kerja yang demikian, maka identitas politik keislaman
tak akan terbentuk. Pemilih, khususnya lagi yang beragama Islam yang menilai
apakah sebuah parpol Islam sudah benar-benar menjadikan Islam sebagai landasan
manuver politiknya. Tanpa ada identitas politik keislaman yang kuat, parpol
Islam akan sulit membangun basis massa pendukung dari kalangan Islam. Sementara
itu, tentu saja parpol Islam tidak akan “dibeli” oleh pemilih yang beragama
non-Islam.
Selain itu, diperlukan
pengejawantahan program kerja tersebut agar identitas keislaman tersiarkan
kepada pemilih. Tanpa sosialisasi program kerja serta kesesuaian aktualisasinya
berdasarkan ideologi, asumsi yang berkembang adalah parpol Islam hanya
menjadikan “Islam” sebagai wacana semata. Tidak dianut secara paripurna,
dihayati, dan diaktualisasi. Alhasil, parpol Islam yang hanya dapat merangkul
pemilih dari satu segmen, yakni mereka yang beragama Islam, akan meredup
popularitasnya.
Program Kerja
Dan yang lebih
penting, ketika program kerja berbasis nuansa Islam mampu diaktualisasikan
dengan baik pada level praktis sehingga melahirkan identitas politik keislaman
yang kental, konsekuensinya timbul pula pembedaan antara parpol Islam dengan
parpol di luar ideologi Islam, misalnya parpol berideologi nasionalis
(kebangsaan), berbasis massa buruh, atau yang lebih penting parpol agama
non-Islam.
Ketika pemilih merasa
parpol Islam memiliki identitas politik tersendiri, maka asumsi semua parpol
sama saja akan menghilang. Pemilih, khususnya yang beragama Islam, akan
benar-benar merasakan nuansa identitas politik keislaman yang kuat dari parpol
Islam yang ada.
Hanya saja, itulah
masalah yang kini dialami semua parpol Islam di Indonesia. Kendati ideologi
yang dideklarasikan adalah Islam, serta menjadi parpol berbasis massa Islam,
parpol Islam dinilai tidak memiliki ciri khas khusus yang membedakannya dengan
parpol di luar ideologi Islam. Realita ini terungkap dari hasil penelitian
Lingkaran Suvei Indonesia (LSI) yang menyimpulkan popularitas parpol Islam
merosot signifikan. Penyebabnya, antara lain, disebabkan ketidakmampuan parpol
Islam menonjolkan identitas politik yang membedakannya dengan parpol
berideologi lainnya.
Bahkan, anggapan semua
parpol sama saja juga timbul dari perilaku kader dari semua parpol yang buruk.
Faktanya, tidak ada jaminan kader parpol Islam tidak akan terlibat korupsi,
demikian pula halnya dengan kader parpol nasionalis. Wa Ode Nurhayati terlibat
kasus korupsi. Ia berasal dari Partai Amanat Nasional, parpol berasas Islam.
Nazaruddin menjadi tersangka korupsi. Ia mantan kader Partai Demokrat, partai
berasas nasionalis.
Tidak hanya korupsi,
penilaian “semua parpol sama saja” juga tercermin dari bentuk perilaku
menyimpang lainnya. Arifinto tertangkap basah tengan menonton video porno
ketika Sidang Paripurna. Ia berasal dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang
dikenal berbasis massa Islam. Muhammad Max Moein terlibat skandal seks. Ia
berasal dari PDIP, partai nasionalis.
Parpol Islam dapat
tumbuh dan pernah eksis tentunya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Identitas politik keislaman yang
melekat pada parpol Islam memang hanya dapat menjaring satu segmen pemilih
saja. Namun dikarenakan jumlah pemilih Islam yang banyak, seharusnya ini
menjadi berkah bagi parpol Islam untuk dapat menjadi mesin politik yang kuat.
Di sisi lain,
aktualisasi program kerja yang sesuai dengan nuansa Islam, yang pada fase
selanjutnya menciptakan identitas politik keislaman, ternyata tak berpengaruh
banyak pada meningkatnya popularitas parpol Islam. Ini disebabkan oleh perilaku
pemilih yang tidak lagi mengedepankan faktor agama dalam memilih, tetapi lebih
melihat faktor-faktor di luar itu, seperti program kerja dan (kharisma) tokoh
pemimpin parpol. Pemilih yang ada di pasar politik Indonesia mulai cenderung
moderat, tidak lagi banyak dipengaruhi sentimen agama.
Dilematis
Ini memang dilema.
Tetapi setidaknya, ada dua solusi yang dapat ditempuh. Pertama, parpol Islam
mengikuti selera atau perilaku pemilih. Dalam artian, parpol Islam
mentransformasikan diri menjadi parpol yang moderat, tidak lagi menjadikan
faktor agama sebagai satu-satunya ideologi pembentuk identitas politik. Parpol
Islam mulai mengadopsi ide-ide di luar Islam untuk menjaring pemilih dari
beragam segmen.
Upaya paling awal dari
langkah ini adalah dengan menghasilkan dan mengaktualisasikan program kerja
yang menyentuh semua segmen pemilih, tak terkecuali pemilih beragama non-Islam.
Tentu saja upaya ini harus menjadikan ideologi nasionalisme sebagai yang utama,
sementara ideologi Islam sebagai asas sekunder: bisa digunakan, bisa tidak.
Solusi ini mengharuskan parpol Islam menanggalkan identitas politik keislaman
yang kental: Islam hanya dijadikan simbol atau jargon semata.
Kedua, parpol Islam
melakukan penguatan identitas politik keislaman tanpa harus peduli perilaku
pemilih yang perlahan bergeser menjadi moderat. Parpol Islam tetap
mempertahankan dan semakin menguatkan identitas politiknya kendati di pasar
politik yang mayoritas pemilihnya beragama Islam, mereka belum pasti mendapat
dukungan yang besar. Namun solusi terakhir inilah yang paling ideal: parpol
Islam tidak harus memudarkan identitas politik keislamannya.
Parpol Islam yang
hendak bertransformasi menjadi moderat sesungguhnya telah mengabaikan aspek
historis keberadaan parpol Islam yang telah berperan luas dalam agenda
pembangunan politik di negeri ini. Selain itu, terabaikan pula aspek kultural
dan religiusitas masyarakat Indonesia yang selalu melekat nilai-nilai Islami di
dalamnya. Hilangnya parpol Islam yang memiliki identitas politik keislaman yang
kuat di Indonesia menunjukkan tidak adanya upaya melestarikan ciri khas politik
Indonesia yang dibangun sejak dimulainya sejarah kemunculan parpol Islam di
Tanah Air.
Jadi, parpol Islam
tidak harus mengedepankan kepentingan menjaring pemilih dalam pemilu semata.
Tetapi bagaimana menguatkan dan mempertahankan eksistensi parpol Islam dari
gempuran kemunculan aneka parpol bercorak nasionalis. Sebab, itulah betuk dari
kemuliaan politik.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis 8 November
2012
0 komentar:
Post a Comment