Oleh Dewi Ayu Jamilah
Diakui atau tidak, pemberian
grasi atau pengampunan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada
penjahat narkoba sangat “sesat dan keliru”. Selama ini, perbuatan SBY
memberikan grasi memang menjadi sorotan publik, terutama kalangan politik dan
hukum.
Kita pantas bertanya, sudah berapa kali SBY memberikan
grasi kepada mereka pelaku kejahatan narkoba? Seolah-olah Presiden memberikan kesempatan
berbuat jahat dan mendukung kejahatan narkoba. Jika Kepala Negara saja bertindak
demikian, penulis yakin kejahatan narkoba pasti akan terulang, bahkan
merajalela.
Maka dari itu, jika tidak ada tindakan tegas dari
pemerintah, maka penjahat narkoba pasti menjamur dan bisa dilakukan semua
kalanga, termasuk remaja dan anak-anak. Apalagi, SBY selalu “memaafkan” mereka
dengan memberikan grasi. Lalu, di mana peran pemerintah Indonesia dalam
memberantas kejahatan narkoba? Apakah pemerintah hanya tutup telinga dan mata?
Pemerintah harus segera memerintahkan kepolisian dan
penegak hukum terkait untuk melakukan penyelidikan yang transparan atas dugaan
kejahatan narkotika yang dilakukan Meirika Pranola alias Ola yang sebelumnya
mendapatkan grasi. Dalam hal ini, Presiden
harus bertanggung jawab kepada rakyat atas keputusan tersebut. Pasalnya, atas keluarnya
keputusan grasi tersebut, banyak kalangan marah, mengutuk, dan menolak perilaku
menyimpang yang dilakukan SBY.
Tanggung Jawab SBY
Sesuai berita di media massa, pelaku yang bersangkutan
terlibat kembali dalam kejahatan narkoba. Karena itu, semua kalangan ingin
proses hukum secepatnya bertindak. Dan ini merupakan tanggung jawab besar yang
diemban SBY jika tak segera menuntaskan polemik grasi tersebut. Jika Ola terbukti
bersalah, maka SBY harus segera meninjau kembali grasi yang diberikan. SBY
seharusnya menjadi contoh untuk memerangi narkoba, bukan memberikan grasi. Dalam
hal ini, yang terpenting proses penyelidikan cepat, objektif, dan transparan,
agar tidak terjadi “kongkalikong” hukum antara presiden dan pelaku.
Secara terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD,
menyatakan grasi yang diberikan untuk pengedar narkoba, Meirika Franola atau
Ola, sebagai “sebuah kecerobohan”.
Menurut Mahfud MD, pemberian grasi itu agak ceroboh karena Mahkamah Agung (MA) sendiri tidak merekomendasikan hal itu (Kompas, 10/11). Karena tidak ada rekomendasi dari MA, Mahfud mempertanyakan apa yang menjadi dasar bagi Presiden memberikan grasi tersebut.
Menurut Mahfud MD, pemberian grasi itu agak ceroboh karena Mahkamah Agung (MA) sendiri tidak merekomendasikan hal itu (Kompas, 10/11). Karena tidak ada rekomendasi dari MA, Mahfud mempertanyakan apa yang menjadi dasar bagi Presiden memberikan grasi tersebut.
Karena itu, Mahfud MD juga menduga “mafia narkoba” telah
masuk ke lembaga yang bisa memberi masukan kepada Presiden untuk memberikan
grasi kepada pengedar narkoba. Apalagi, mafia itu tidak terlihat dan bisa masuk
ke mana-mana. Bisa masuk ke polisi, pengadilan, kehakiman dan lain-lain. Mahfud
menilai SBY telah kecolongan dengan pemberian grasi tersebut. Sebab, Presiden
biasanya cermat dalam mengambil tindakan dan kebijakan.
Ini mendesak untuk segera dituntaskan. Yang terpenting, SBY
harus segera mempelopori dan menuntaskan polemik ini. SBY dan berbagai kalangan
perlu bersinergi, terutama dengan Ketua MK yang menjadi kolega politik dalam
menuntaskan kontroversi grasi narkoba.
Tindakan Tegas
Jika tak ingin menuai kritikan dan kutukan keras, maka
pemerintah terutama SBY harus melakukan tindakan tegas. Pasalnya, selama ini
tindakan SBY terkesan “plin-plan” dalam menindak pelaku kejahatan narkoba. Setidaknya,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, Presiden SBY harus mencabut
grasi tersebut. Pasalnya, jika diberikan grasi, maka penjahat narkoba akan
“mengulangi” perbuatannya. Apalagi, pemerintah Indonesia “seperti banci” dalam
menegakkan hukum. Ini sangat mendesak untuk segera direalisasikan.
Kedua, untuk menetaskan efek jeras, maka hukuman mati harus
ditegakkan. Pasalnya, ada dugaan bahwa Ola mengulang kejahatannya dari dalam
jeruji penjara. Jaksa juga bisa kembali menuntut Ola dengan hukuman mati.
Justru itu lebih mudah daripada meminta Presiden untuk mencabut grasi yang
sudah diberikan. Ini membuktikan belum adanya efek jera dari hukuman yang
diberikan pemerintah kepada pelaku kejahatan narkoba.
Ketiga, agar ke depan tak ada lagi kejahatan narkoba, maka
pemerintah harus menindak tegas siapa saja yang melakukan kejahatan narkoba.
Tindakan tegas itu harus sesuai jalur hukum yang ada. Artinya, semua penjahat
narkoba harus diukum setimpal dengan perbuatannya, bukan justru diberikan
grasi. Pemberian grasi bukanlah cara tepat untuk menumpas penjahat narkoba,
bahkan hal itu akan menjadikan “motivasi” mereka untuk mengulangi perbuatannya.
Inilah yang harus diperhatikan pemerintah.
Keempat, agar kejahatan narkoba tak terulang, maka
pemerintah perlu bersinergi dalam menegakkan hukum dengan berbagi elemen, mulai
dari BNN, MK, Kepolisian, LSM, dan masyarakat. Yang terpenting, pemerintah
harus cerdas, tegas, dan bijaksana menindak pelaku kejahatan narkoba, bukan
sebaliknya. Tanpa adanya tindakan tegas dari pemerintah, pasti semua orang bisa
seenaknya sendiri melakukan kejahatan narkoba. Wallahu a’lam bisshawab.
Tulisan ini dimuat di
Koran Pagi Wawasan, Rabu 21 November 2012
0 komentar:
Post a Comment