Tulisan ini dimuat di Radar Bangka, 3 November 2012
Oleh Hamidulloh Ibda
Diakui atau tidak, hukum di negeri sudah semrawut.
Tanpa penetapan batas-batas wilayah, tanpa territorial grenzen, dapat kiranya
berakibat pemerintahan daerah bakal mengalami kekacau-balauan status hukum,
bagai kekacau-balauan Menara Babel. Kekacauan hukum tersebut memang sering
terjadi, apalagi diperparah dengan penafsiran para pihak sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Kekacauan itu tercermin dengan Putusan MK, Selasa 5
Juni 2012 bahwa “Penjelasan Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara
bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat.”
Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi mengajukan Permohonan
Pengujian Pasal 10 UU No 39 Tahun 2009 terhadap UUD 1945. UU No 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 “Dalam hal
terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat
mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Bunyi Penjelasan Pasal 10
adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat
karier dan bukan merupakan anggota kabinet.”
Menurut pemohon, presiden harus dan wajib menjelaskan kepada
publik penanganan secara khusus apa yang membutuhkan pengangkatan wakil
menteri. Pasal 10 juga menekankan pada kata “secara khusus”, artinya tidak umum
dan atau selektif, tapi faktanya presiden mengangkat 20 wakil menteri dari 34
kementerian yang ada.
Timbul pertanyaan, apakah pengangkatan 20 wakil menteri tersebut
masih sesuai dengan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara?
Jawabnya: tidak, maka dengan demikian pengangkatan 20 wakil menteri oleh
presiden tersebut terbukti tidak memiliki dasar hukum baik undang-undang maupun
UUD 1945, tambah pemohon.
Terhadap permohonan pengujian pasal tersebut, amar putusan MK
berbunyi: mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; Penjelasan Pasal 10 UU
No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 No 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916)
bertentangan dengan UUD 1945; Penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No 166,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Kekacauan Penafsiran
Dalam pertimbangannya MK berpendapat, meskipun Pasal 10 UU
39/2008 dari sudut kewenangan presiden mengangkat wakil menteri tidak merupakan
persoalan konstitusionalitas, tetapi pengaturan yang terkandung dalam
Penjelasan Pasal 10 UU a quo dalam praktiknya telah menimbulkan persoalan
legalitas yakni ketidakpastian hukum karena tidak sesuainya implementasi
ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian atau peraturan perundang-undangan
di bidang pemerintahan dan birokrasi.
Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata berisi norma baru
padahal “Penjelasan... tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma”.
Menurut Mahkamah persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil
menteri, antara lain: Pertama, terjadi eksesivitas dalam pengangkatan wakil
menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan latar belakang dan filosofi
pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam membentuk
kementerian negara, jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai
hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan.
Kedua, saat mengangkat wakil menteri, presiden tidak menentukan
beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan
memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai
negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Ketiga, menurut
Penjelasan Pasal 10 UU a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari
PNS, tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut
merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional.
Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil
menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon
IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai
Akhir (TPA) yang diketuai Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi
yang bersangkutan.
Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil
menteri tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun
2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali
menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan
sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011)
pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat
dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk
diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.
Kacau Tingkat Tinggi
Terhadap amar putusan MK tersebut timbul berbagai penafsiran,
terutama terhadap keberadaan para wakil menteri yang ada sekarang. Ini karena
yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum hanyalah penjelasan, yang berarti
keberadaannya tidak dipersoalkan; hanya saja posisinya perlu disesuaikan
kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden karena mengandung ketidakpastian
hukum.
Barangkali perlu dipertegas oleh presiden bahwa para wakil
menteri yang sekarang itu tidak lagi hanya pejabat karier dan anggota kabinet,
tidak lagi seperti sebelumnya bahwa mereka adalah pejabat karier dan bukan
anggota kabinet.
Yang menjadi persoalan, kalau para wakil menteri itu sebagai
anggota kabinet, berarti sama dengan menterinya dan akan menjadi dua nakhoda
dalam satu kapal. Akan terjadi penyimpangan dari ketentuan yang ada bahwa
kementerian (yang tentunya dipimpin seorang menteri) hanya 34 dan kalau
ditambah 20 akan menjadi 54. Kalau itu yang terjadi keppresnya akan digugat
lagi di PTUN, dan bisa saja para pemohon menguji lagi pasal-pasal lainnya di
MK.
Kemungkinan sekali, kalau presiden tetap menetapkan 20 wakil
menteri itu menjadi anggota kabinet, juga akan di-”rebut”-kan oleh para
penggiat Hukum Tata Negara, dan ada baiknya kembali ke Pasal 10, yaitu “Dalam
hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden
dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.” Dengan demikian,
tidak perlu sebanyak 20, atau paling tidak dalam keppres masing-masing perlu
dijelaskan urgensi dan relevansi adanya wakil menteri dalam suatu kementerian.
Walaupun sudah ada Putusan MK mengenai wakil menteri ini,
kelihatannya persoalan belum selesai. Kelihatannya apa pun yang dilakukan
pemerintah, apalagi presiden, telah diintai pegiat hukum untuk dipermasalahkan secara
hukum pula. Itu semua terjadi karena kekacaubalauan hukum seperti dikutip di
atas. Kita menunggu proses selanjutnya, namun presiden tentunya akan taat
kepada Putusan MK, lebih hebat Bupati Bogor yang tidak mengindahkan Putusan
Mahkamah Agung tentang Gereja Yasmin yang tidak kunjung dieksekusi. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Post a Comment