Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Jumat 14 Desmber 2012
Pengelolaan
manajemen bahan bakar minyak (BBM) di negeri ini harus segera dibenahi.
Pasalnya, banyak sekali persoalan muncul atas manajemen yang bobrok atas pengelolaan
manajemen BBM. Hal itu sudah dilakukan oleh pemerintah, meskipun belum berjalan
maksimal. Untuk membantu pemerintah terkait kebijakan perekonomian nasional,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang
terdiri atas teoretisi dan praktisi ekonomi di bawah pimpinan Chairul Tandjung.
KEN bertemu setiap minggu membahas masalah-masalah ekonomi yang strategis
maupun merespons isu-isu nasional yang sedang berkembang seperti isi upah buruh
dan outsourcing. Hasilnya, disampaikan
langsung kepada presiden selaku user.
Sebagai
kepala pemerintah, SBY tak mempunyai kewajiban untuk melaksanakan setiap saran
atau masukan KEN. Sama halnya dengan saran Dewan Pertimbangan Presiden: lebih
banyak saran dan pertimbangan Wantimpres yang dilempar ke tong sampah, sehingga
Buyung Nasution mantan anggota Wantimpres marah-marah dan menuliskan pengalamannya
dalam sebuah buku.
Menaikkan Harga BBM?
Salah
satu saran KEN kepada SBY, pemerintah segera menaikkan harga BBM. Pemerintah
sebetulnya sudah lama menyetujui usul tersebut, tapi SBY tidak setuju. Hanya
presiden yang tidak setuju. Kenapa? Usut punya usut, SBY rupanya takut terhadap
dampak sosial-politik kenaikan harga BBM. Jangan lupa, pemilihan umum semakin
dekat. Pemikiran ini pun sulit dimengerti. Bukankah SBY tidak bisa mencalonkan
lagi dalam pemilihan presiden 2014? Lalu, apa yang ditakutkan SBY?
Semenjak
ramai-ramai di DPR beberapa bulan lalu – lengkap dengan demonstrasi mahasiswa
yang nyaris anarkistis – memprotes rencana pemerintah menaikkan harga BBM,
sikap pemerintah sungguh membingungkan. Di satu sisi, pemerintah “cengeng”
tidak ubahnya seperti anak kecil yang terus menangis karena permennya diambil
kakaknya; tapi di sisi lain, pemerintah tidak berani bertindak.
Di
satu sisi, pemerintah mengatakan APBN berdarah-darah karena subsidi BBM yang
terus membengkak; di sisi lain, pemerintah terkesan tidak berdaya melakukan
tindakan penyelamat, kecuali mengimbau dan mengimbau agar orang kaya tidak lagi
membeli BBM bersubsidi, suatu imbauan yang tidak pernah efektif. Sejumlah
petinggi pemerintah, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri
Keuangan, malah memberikan semacam jaminan kepada masyarakat bahwa pemerintah
belum akan menaikkan harga BBM. Pemerintah akan berusaha mencari pos lain untuk
menutup ketekoran akibat subsidi BBM yang semakin membengkak.
Kuota
Habis?
Kenyataan
inilah yang membingungkan masyarakat. Marilah kita simak beberapa angka
berikut. Kuota konsumsi BBM bersubsidi
tahun ini semula dipatok 40 juta kl senilai Rp 137,38 triliun. Angka itu
kemudian meningkat menjadi 44,04 juta kl atau Rp 153,38 triliun. Kuota ini
diperkirakan habis pada 24 Desember 2012 sehingga akan terjadi kenaikan kuota
1,2 juta kl hingga akhir tahun menjadi 45,24 kl senilai Rp 159,4 triliun.
Menjelang
tutup tahun, beberapa petinggi pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak
membeli BBM bersubsidi. Dikatakan juga
bahwa pasokan BBM bersubsidi akan dikurangi. Tanggal 2 Desember 2012 ditetapkan
Hari Tanpa BBM Bersubsidi. Tampaknya, pada hari itu, seluruh SPBU tidak akan
menjual Premium. Bahkan, diam-diam di semua SPBU Jakarta, sejak akhir pekan
lalu dikurangi pasokan BBM-nya.
Pada
umumnya, setiap SPBU biasanya dipasok 60.000 liter pada pagi hari dan sekitar
15.000 liter pada sore hari. Kini pasokan Premium hanya 30.000 liter pada pagi
hari dan sore hari sama sekali tidak ada tambahan pasokan. Cerita di beberapa
SPBU yang saya “selidiki” tidak berbeda. Di banyak daerah dari Sabang sampai
Merauke, Premium kosong di banyak pompa bensin. Kalau pun ada, terjadi antrean
sangat panjang.
Inikah
solusi yang diambil pemerintah menghadapi ledakan subsidi BBM? Yakni mengurangi
pasokan Premium secara drastis dan memaksa masyarakat mengonsumsi Pertamax.
Solusi ini amat tidak adil. Solusi
terbaik dan tidak menimbulkan “kerisauan” publik adalah menaikkan harga
Premium, katakanlah 30 persen. Dengan kenaikan sebesar itu, subsidi BBM pasti
akan berkurang signifikan. Cara ini lebih adil karena menurut pemerintah hanya
orang kaya yang menikmati BBM bersubsidi.
Jika
harga Premium dinaikkan dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 akan tercapai semacam “win-win solution”. Kedua pihak; masyarakat dan pemerintah sama-sama
berkorban. Bahwa pemerintah masih harus memberikan subsidi kepada rakyat
setelah Premium dinaikkan menjadi Rp 6.000, hal itu wajar sekali. Harga BBM saat ini belum bisa dilepas sesuai
harga pasar internasional. Jika dilepas bebas, rakyat niscaya akan berontak.
Situasi kaos pasti bisa dihindarkan.
Memangkas
pasokan sehingga terjadi kelangkaan Premium di mana-mana jelas bukan solusi
yang efektif juga. Masyarakat yang kecewa, kesal dan marah, tidak mustahil pada
tingkat tertentu akan melakukan tindak anarkistis dan kekerasan sebagai
pelampiasan atas kejengkelan dan kemarahannya. Masalahnya, SBY tidak berani menaikkan harga
BBM. Barangkali ia takut Partai Demokrat dan penggantinya akan babak belur pada
Pemilu 2014.
Inilah
salah satu karakter kepemimpinan presiden kita: takut mengambil risiko ketika
hendak mengambil kebijakan kontroversial; padahal kebijakan itu sudah
disarankan sangat kuat oleh para pembantu ekonominya. Dalam hal ini, SBY memang
berbeda jauh dibandingkan Pak Harto.
Tahun
1983 sampai 1985 Presiden Soeharto beberapa kali mengatakan bahwa pemerintah
tidak bermaksud menaikkan harga BBM. Tapi, harga minyak di tingkat
internasional terus membubung sehingga subsidi BBM makin membengkak. Tahun 1986
beberapa pembantu ekonomi Pak Harto menghadap dan menceritakan situasi sulit
yang dihadapi pemerintah sehubungan dengan makin tingginya harga minyak di
pasar internasional.
0 komentar:
Post a Comment