Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di RadarBangka, 19 Desember 2012
Apakah hukuman mati untuk koruptor
melanggar hak asasi manusia/HAM? Hal ini tentu masih menjadi kontroversi di
Indonesia. Sebagai negara yang mengakui keberadaaan pidana mati, Indonesia juga
negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya. pidana
mati menjadi polemik dan belum selesai hingga kini. Sebagai contoh terakhir
adalah adanya perbedaan pandangan hakim Pengadilan Negeri Kalianda yang memberi
vonis mati terdakwa narkotika, kemudian vonis itu dianulir Pengadilan Tinggi
(PT) dengan memberikan pidana seumur hidup.
Jika diperhatikan
alasan PT yang menganulir pidana mati itu karena pidana mati dinilai melanggar
HAM, tentunya bisa diperdebatkan dalam koridor hukum pidana. Pernyataan dalam
UUD 1945 dan UU HAM bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup”, identik dengan
Pasal 6 (1) ICCPR yang menyatakan, “Every human being has the right to life”.
Namun, dalam Pasal 6 (1) ICCPR, pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat
tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”. Jadi. walaupun
Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”,
tetapi tak berarti hak hidupnya itu tak dapat dirampas. Yang tak boleh adalah
“Perampasan hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Bahkan, dalam Pasal 6 (2)
dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “The most serious crimes”.
Pernyataan itu dapat
dilihat sebagai pandangan yang menerangkan bahwa pidana mati bukan merupakan
hal melanggar hak hidup manusia, sepanjang memang diberlakukan untuk hal-hal
yang pantas diberikan pidana mati serta dipayungi aturan hukum jelas. Hal ini
dapat dijadikan penjelasan bahwasan di Indonesia pidana mati seharusnya bukan
melanggar nilai-nilai kemausiaan, karena Indonesia juga memandang beberapa
tindak pidana sebagai serious crime, seperti terorisme, korupsi, dan juga
narkotika.
Hukuman Mati
Serious crime
merupakan syarat utama untuk dapat dijatuhkannya hukuman mati, khususnya bagi
koruptor. Kemudian syarat tak boleh adanya perampasan hak hidupnya secara
sewenang-wenang, di Indonesia juga sudah payungi keberadaan UU yang
mengakomodasi pidana mati sebagai pilihan, seperti di dalam UU Terorisme, UU
Korupsi, dan UU Narkotika. Artinya, dengan adanya aturan hukum itu, pidana mati
untuk kasus-kasus serious crime tersebut bukan termasuk perampasan hak hidup
secara sewenang-wenang.
Barda Nawawi Arief
(2010) menyatakan Pancasila mengandung nilai keseimbangan antara sila satu dan
sila lainnya. Namun, apabila Pancasila dilihat secara parsial (menitikberatkan
pada salah satu sila), ada pendapat menyatakan bahwa pidana mati bertentangan
dengan Pancasila dan ada pula yang menyatakan tak bertentangan.
Jadi, pendapat yang
menolak dan menerima pidana mati, sama-sama mendasarkan pada Pancasila. “Hak
untuk hidup” (Pasal 28A, Pasal 28 I UUD 1945 dan Pasal 9 Ayat (1), Pasal 4 UU
HAM) dan “hak untuk bebas dari penghilangan nyawa” (Pasal 33 UU HAM) tak dapat
dihadapkan secara diametral (sama sekali bertentangan) dengan “pidana mati”.
Hal ini sama dengan
“hak kebebasan pribadi” (Pasal 4 UU HAM) atau “hak atas kemerdekaan” (Pembukaan
UUD 1945) yang juga tak dapat dihadapkan secara diametral dengan “pidana
penjara”. Apabila dihadapkan secara diametral, berarti pidana “penjara” pun
bertentangan dengan UUD 1945 dan UU HAM karena pidana penjara pada hakikatnya
adalah “perampasan kemerdekaan/kebebasan”.
Logika ini menguatkan
bahwa tak ada yang salah dengan pidana mati dan penerapannya, sepanjang
dilaksanakan sesuai ketentuan. Konstruksi pemikiran diametral itu pun tak
sesuai dengan dokumen/resolusi Majelis Umum PBB mengenai makna “Torture”
(penyiksaan). Pasal 1 (1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment, General Assembly Resolution 39/46, 1987
menyatakan bahwa sanksi pidana (yang pada hakikatnya juga merupakan bentuk
penderitaan/penyiksaan) tak termasuk pengertian “torture”. Jadi, tak dapat
disamakannya pidana mati dengan pelanggaran HAM, identik dengan tak dapat
disamakannya “sanksi hukum (pidana)” dengan “torture” (“pain and suffering”)
seperti dinyatakan dalam kalimat terakhir dari Pasal 1 (1) Konvensi, yaitu It
does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental
to lawful sanctions.
Selanjutnya, tentang
pidana mati bahkan diatur pula dalam berbagai dokumen internasional mengenai
“pedoman pelaksanaan pidana mati”. Dalam Resolusi Commission on Human Rights
(Komisi HAM PBB) 1999/61 juga masih ada penegasan, bahwa pidana mati jangan
dijatuhkan kecuali untuk the most serious crimes (dengan
pembatasan/rambu-rambu).
Hal ini juga memberi
ruang bahwa pidana mati tak ada persoalan hukum bila diberlakukan ketika sesuai
ketentuan. Perlu dicatat, Indonesia tetap mengakui keberadaan pidana mati,
bahkan di dalam Rancangan KUHP baru juga tetap dicantumkan, yang menunjukkan
bahwa kita masih membutuhkan pidana mati sebagai salah satu alternatif pidana
yang dapat diberikan. Maka, secara jelas hukuman mati tak melanggar HAM. Lalu,
kapan pemerintah menerapkan hukuman mati untuk koruptor? Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment