Wednesday, 26 December 2012
Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Radar Bangka, Rabu 12/12/2012
Islam dan
Politik bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bahkan,
Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah pada masa
lalu sudah membangun dan menjalankan sistem politik berbasis par
excellence. Sistem yang dibangun Rasulullah itu merupakan sistem politik
religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental
maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, sistem itu menyandang dua karakter sekaligus,
yaitu Islam dan politik. Pasalnya, hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan
materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya
di dunia dan akhirat.
Bahkan, filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak
mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan.
Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal
secara solid, saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain.
Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak
membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah
didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin
sepanjang sejarah yang telah lewat. Karena itu, berpolitik bagi umat Islam
merupakan keniscayaan. Jika dunia politik di negeri ini dihuni oleh politisi
busuk, maka keadaan Negara juga akan buruk. Korupsi merajalela, banyak mafia
kasus, penyelewengan tugas Negara, dan sebagainya. Karena itu, umat Islam harus
membenahi dan merubahnya dengan terjun ke dunia politik.
Politik Islami
Memang benar, Islam bukanlah agama yang mengharuskan pemeluknya
mengurusi urusan akhirat, namun juga merupakan sebuah sistem politik (a
political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan
dari umat Islam yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan “modernis,” yang
berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam
dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan
selaras dan tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam bahasa Arab politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh
sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah
siyasah syar’iyyah. Misalnya, dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sasa -
yasusu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa
radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan
sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada
pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam
pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia
tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan
bahwa ulil amri mengurusi (yasusu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat,
mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan;
“Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masusah) bila pemeliharanya ngengat
(susah)”, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya
rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik
merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim),
pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi
kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan mereka yang berakidahkan sekularisme,
baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik
disifati dengan kedustaan, tipu daya, korupsi, dan penyesatan yang dilakukan
oleh para politisi maupun penguasa.
Maka dari itu, sudah saatnya para politisi di negeri ini
berbenah. Mereka harus kembali kepada Islam. Artinya, mereka harus berpolitik
secara Islami yang sesuai Alquran dan Assunnah. Sesuai dengan ajaran dan
perintah Rasulullah SAW. Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada
Allah SWT. Sehingga ketia mereka berpolitik pasti takut berbuat dusta,
kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa
As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jika ada politisi muslim yang melakukan
korupsi, pasti ia tak mengamalkan ajaran agama. Padahal, hakikat politik itu
“suci dan mulia”.
Umat Islam harus kembali kepada konstitusi agama, yaitu Alquran
dan Assunnah. Jika terjun ke dunia politik, mereka harus berpolitik dengan
santun, jujur, amanah, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Jika semua
politisi muslim di Negara ini berbuat demikian, penulis yakin mewujudkan
masyarakat adil makmur bukan menjadi mimpi. Jadi, sudah saatnya umat Islam
berpolitik secara Islami. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Karena hal itu
sudah menjadi keniscayaan umat Islam untuk berpolitik dengan tujuan merubah
nasib bangsa menuju kemakmuran. Wallahu a’lam bisshawab.
Related Posts
- Menggali Makna dari Quote Hamidulloh Ibda Soal Pekerjaan
Hamidullohibda.com - "Pekerjaan sebanyak apapun jika dikerjakan pasti ...
- Enam Hal yang Wajib Dihindari Saat Menulis Artikel Ilmiah
Hamidullohibda.com – Sejak tahun 2013 saat masih menjadi mahasiswa S2 ...
- 9 Perbedaan Artikel Ilmiah (AI) dengan Karya Tulis Ilmiah Tugas Akhir (KITA)
Hamidullohibda.com - Ada 9 Perbedaan Artikel Ilmiah (AI) dan Kar...
- Blogger Comments
- Facebook Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment