Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Radar Bangka, Kamis 6
Desember 2012
LAPORAN pemeriksaan investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) terhadap Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga
Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, telah rampung. Dalam laporan tersebut, BPK
menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan
dan penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara Rp
243,66 miliar.
Temuan investigatif ini mengonfirmasi sebuah kejahatan korupsi
yang dilakukan terstruktur dan sistematis. Penyangkalan yang selama ini
dilakukan pihak yang dituding bertanggung jawab terbantah.
Puluhan nama dalam laporan itu diduga ikut bertanggung jawab
atas kasus korupsi proyek Hambalang. Mulai dari pejabat setingkat menteri,
bupati, birokrasi, hingga pihak swasta atau perusahaan.
Dilacak ke belakang, dugaan korupsi dalam proyek Hambalang
adalah efek domino dari pengungkapan korupsi dalam proyek Wisma Atlet. Kedua
kasus ini setidaknya memiliki kemiripan karena berada dalam ranah korupsi di
sektor pengadaan infrastruktur. Dalam struktur korupsi pengadaan, kelompok
bisnis atau korporasi menjadi alat bagi elite politik untuk menjarah uang
rakyat. Motif ekonomi dengan memanfaatkan ruang politik tampaknya menjadi
strategi jitu para koruptor.
Korupsi dalam proyek-proyek pemerintah sudah mengarah pada
kejahatan bisnis yang dilakukan dengan perantara atau wadah bisnis yang legal.
Demikian menurut Romly Atmasasmita. Berbagai kejahatan bisnis sebagai dampak
dari dinamika ekonomi global yang berkembang pesat mendorong kelompok ini
mendesain berbagai kejahatan serupa.
Pola korupsi menjadi sangat rapi dan beragam, dimulai dari
penyuapan kepada pejabat publik, memperkaya diri sendiri secara tidak sah,
hingga praktik pencucian uang.
Hambalang menjadi contoh konkret pola korupsi yang sangat rapi.
Indikasi suap dalam memuluskan pengalokasian anggaran untuk proyek ini begitu
terbuka lebar. Aliran uang yang diduga kepada beberapa pejabat dan politikus
adalah bentuk dari upaya memperkaya diri atau kelompok secara tidak sah. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat
kejahatan ini bagi perekonomian Indonesia setidaknya berkisar pada dua hal:
aspek kerugian keuangan negara dan buruknya infrastruktur publik yang
dihasilkan. Kedua dampak ini harus diterjemahkan sebagai kerugian bagi publik
karena uang yang dikorupsi adalah hasil pajak publik.
Korupsi Berjamaah
Sebagai kejahatan yang struktural, korupsi di pengadaan sesungguhnya
bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Tahapan korupsi dilakukan sejak di
penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Walaupun audit
investigasi BPK hanya dilakukan terhadap proyek yang telah berjalan, pola dan
tahapan korupsinya mengindikasikan bahwa proyek ini bermasalah sejak di proses
penganggaran.
Jamak diketahui bahwa setiap proyek infrastruktur yang dibiayai
negara tak pernah luput dari praktik suap menyuap. Munculnya istilah fee atau
uang lelah di kalangan DPR memperkuat dugaan: praktik ini terjadi.
Korupsi proyek Hambalang adalah korupsi ”berjamaah”: semua pihak
yang disebutkan di dalam audit menjalankan perannya masing-masing. Dimulai dari
penyiapan lahan untuk pembangunan, termasuk perizinan, persetujuan teknis
pengadaan (lelang dan kontrak tahun jamak), pencairan anggaran, hingga
penetapan pemenang lelang yang dilakukan di luar prosedur baku.
Korupsi secara bersama-sama dalam proyek Hambalang menunjukkan
tipe korupsi yang terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan
kepentingan bisnis melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini
hanyalah modifikasi dan replikasi atas kejahatan korupsi pada Orde Baru. Dahulu penguasa dan kroninya
menggunakan pengaruhnya menjalankan bisnis dan memperoleh keuntungan: semuanya
dikendalikan oleh pusat kekuasaan pada saat itu.
Di era pasca-Reformasi, kejahatan tetap dilakukan penguasa dan
kelompok bisnisnya.
Dengan pola yang agak berbeda, mereka berupaya menyamarkan
hubungan antara penguasa dan kelompok bisnis dengan berbagai cara. Namun, ini
akan tetap terbukti sebagai sebuah ”perse kongkolan” manakala bukti-bukti dalam
proses hukum menerjemahkan bahwa kelompok penguasa dan bisnis saling
berkolaborasi.
Tugas Bersama
Ini tentu saja tidak menafikan keberadaan kelompok bisnis yang
masih memegang prinsip bisnis yang bersih. Maka, kontribusi kelompok bisnis
semacam ini sangat penting tidak hanya demi pengungkapan kasus, tetapi juga
mendorong menciptakan proses bisnis yang bersih.
Korupsi Hambalang prototipe kejahatan ”berjamaah”, maka
penuntasannya harus secara ”berjamaah”. Semua pelaku yang diduga ikut
bertanggung jawab patut dimintai tanggung jawab hukumnya, bahkan pejabat
setingkat menteri (aktif) sekalipun.
Dalam konteks ini, pemerintah, KPK, dan seluruh penegak hukum di
negeri ini harus bersinergi membetantas korupsi, terutama menuntaskan kasus
hambalang. Jika tak ada kerja sama antara rakyat dan pemerintah, maka
pemberantasan korupsi akan menjadi sulit. Jadi, sinergi merupakan salah satu
cara untuk menuntaskan korupsi berjamaah.(**)
0 komentar:
Post a Comment