Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 2 December 2012

Perlukah Rhoma Jadi Presiden RI?


Oleh Dewi Ayu Jamilah 
Dewasa ini, raja dangdut Rhoma Irama digadang-gadang maju sebagai calon Presiden RI pada Pemilu 2014. Meskipun belum jelas, namun hal itu menjadi kontroversi bagi pegiat dangdut dan politisi. Namun, sebelum membahas pencalonan raja dangdut ini. Dalam perjalanan musik dangdut di Indonesia, Rhoma selalu menjadi pionir musik dangdut. 

Kehadiran Rhoma dalam jelajah musik dangdut tanah air pada 70-an boleh dikata terjadi dalam momen yang pas. Suka Hardjana (2004) mencatat, Rhoma muncul dengan lagunya kala masyarakat Indonesia pada masa itu merindukan terjadinya pembalikan antiphonal yang drastis dari impian-impian politis masa lalu ke impian-impian realistis. Lagu-lagunya berada dalam poros putaran arus masyarakat kelas bawah. 
Rhoma mampu mengakomodasi citra lagu yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat yang tak muluk-muluk. Lewat dangdut Rhoma, masyarakat seolah menemukan oasis yang menyegarkan dalam mengisahkan pelik dan susahnya impitan kehidupan. Jangan heran jika kemudian Begadang (1978) serta Perjuangan dan Doa (1980) adalah lagu yang begitu populer bagi masyarakat Indonesia.
Kisah Rhoma adalah kisah dangdut. Dangdut yang awalnya disebut musik kampungan kemudian menjadi selebrasi cita-cita. Jejak sejarah dangdut tak lebih dari “musik kumuh” yang penuh dengan citra negatif namun begitu beruntung saat dielaborasi Rhoma. Lewat kuasa dalam bermain musik rock, Rhoma dengan serta-merta mengonversi musik rakyat yang paling terbelakang (dangdut) dengan ramuan selera zaman yang paling mutakhir (rock). Terobosan Rhoma itu boleh dikata frontal karena tak terjadi dalam musik-musik lain sezamannya. Begitu harum namanya hingga masyarakat menyematkan nama “raja dangdut”.
Masyarakat kelas bawah yang awalnya hanya menjadi saksi kelahiran sebuah musik kemudian harus menjadi lakon dalam kisah lagu Rhoma. Gelandangan, Kiamat, dan Gali Lubang Tutup Lubang adalah contohnya. Dangdut menjadi kendaraan imajinasi dalam usaha meraih supremasi kehidupan yang lebih baik. Dangdut ala Rhoma juga mengisahkan Islam. Banyak liriknya yang berkisah doa (voice of Moslem).
Hal itulah yang membuat banyak kalangan ulama yang merangkulnya. Dakwah lewat lagu dirasa lebih mengena daripada orasi seratus ulama. Karena itu, kultur musik dangdut yang begitu kuat tersebut bahkan berpengaruh terhadap visi dan misi Rhoma sebagai calon presiden. Rhoma menyatakan, visi dan misinya sebagai capres nanti tidak jauh berbeda dari lirik-lirik lagu dangdut yang selama ini dibawakannya.
Presiden RI?
Perjalanan musik dangdut sekarang justru tak mampu dikontrol dalam kuasa ideal seperti yang diharapkan Rhoma. Persentuhan dangdut muthakir adalah kisah tubuh dan sensualitas semata, tak lebih dari itu. Perdebatan sengit dengan Inul beberapa waktu silam menjadi masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur di musik dangdut. Panggung-panggung dangdut tanah air begitu banyak menciptakan ragam goyangan daripada memproduksi lagu dengan judul yang baru.
Era Rhoma dengan gapaian cipta lagu -685 judul- yang monumental pun telah bangkrut. Rhoma kini seolah mengalami kemandulan dalam mengisahkan Indonesia lewat lagu-lagunya. Jejak-jejak perjalanan sejarah Indonesia masa kini telah banyak terbuang dalam musik dangdut. Tidak begitu menarik lagi sebagai sebuah titian ide dan rangsangan cipta. Rhoma justru disibukkan oleh kisah pelik politik yang berusaha melenakan dirinya dari dunia musik dangdut mutakhir.
Kini tak ada lagi dentum keragaman Indonesia, ritus doa, dan kritik sosial dalam musik dangdut. Yang ada kemudian selebrasi kedangkalan tema. Tidak dijumpai lagi Gelandangan, Begadang, 135 Juta, Judi, atau Monas masa kini. Yang tampak kemudian hanya Belah Duren, Cinta Satu Malam, Keong Racun, Hamil Duluan, Pengen Dibolongin, dan lagu sejenis lainnya. Dangdut muthakir diwujudkan sebagai perayaan goyang, bukan lagi cita-cita Indonesia.
Keadaan yang seharusnya menjadi kesempatan bagi Rhoma untuk kembali meluruskan musik ini sejalan dengan kisah sejarah yang pernah dibuatnya dulu kala. Artinya, musik dangdut masih membutuhkan sentuhan perjuangan Rhoma. Sebagai “raja”, tentunya dia memiliki kuasa dalam legitimasi jalur dangdut masa kini. Sayangnya, hal itu tak terjadi. Politik telah melenakannya, politik mengalihkan pandangannya, politik memang cenderung menggiurkan.
Dangdut dalam mengisahkan Indonesia semakin sayup-sayup tak terdengar seperti sedia kala. Sementara itu, Rhoma lebih memilih lepas tangan dengan mencari gapaian dunia lain yang dirasa lebih menggairahkan, puncak kekuasaan politik. Keagungan sejarah musik dangdut sebagaimana dikisahkan Philip Yampolsky lewat Smithsonian Folksways (1991) yang menyatakan dengan jelas bahwa dangdut adalah “musik nasional” Indonesia yang semakin tak bisa dilacak lagi. Lajur Rhoma dalam musik dangdut seolah hanya menjadi mitos yang pernah tergores panjang. Rhoma tak harus menjadi presiden Indonesia. Sebab, tanpa disadari, dia sejatinya sudah menjadi “presiden” di dunianya sendiri.

Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Sabtu 1 Desember 2012


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Perlukah Rhoma Jadi Presiden RI? Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda