Oleh Dewi Ayu Jamilah
Dewasa ini, raja dangdut Rhoma Irama
digadang-gadang maju sebagai calon Presiden RI pada Pemilu 2014. Meskipun belum
jelas, namun hal itu menjadi kontroversi bagi pegiat dangdut dan politisi.
Namun, sebelum membahas pencalonan raja dangdut ini. Dalam perjalanan musik
dangdut di Indonesia, Rhoma selalu menjadi pionir musik dangdut.
Kehadiran Rhoma dalam jelajah musik
dangdut tanah air pada 70-an boleh dikata terjadi dalam momen yang pas. Suka
Hardjana (2004) mencatat, Rhoma muncul dengan lagunya kala masyarakat Indonesia
pada masa itu merindukan terjadinya pembalikan antiphonal yang drastis dari impian-impian politis masa
lalu ke impian-impian realistis. Lagu-lagunya berada dalam poros putaran arus
masyarakat kelas bawah.
Rhoma mampu mengakomodasi citra lagu
yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat yang tak muluk-muluk. Lewat
dangdut Rhoma, masyarakat seolah menemukan oasis yang menyegarkan dalam
mengisahkan pelik dan susahnya impitan kehidupan. Jangan heran jika kemudian Begadang (1978) serta Perjuangan dan
Doa (1980) adalah lagu yang begitu
populer bagi masyarakat Indonesia.
Kisah Rhoma adalah kisah dangdut.
Dangdut yang awalnya disebut musik kampungan kemudian menjadi selebrasi
cita-cita. Jejak sejarah dangdut tak lebih dari “musik kumuh” yang penuh dengan
citra negatif namun begitu beruntung saat dielaborasi Rhoma. Lewat kuasa dalam bermain musik rock,
Rhoma dengan serta-merta mengonversi musik rakyat yang paling terbelakang
(dangdut) dengan ramuan selera zaman yang paling mutakhir (rock).
Terobosan Rhoma itu boleh dikata frontal karena tak terjadi dalam musik-musik
lain sezamannya. Begitu harum namanya hingga masyarakat menyematkan nama “raja
dangdut”.
Masyarakat kelas bawah yang awalnya
hanya menjadi saksi kelahiran sebuah musik kemudian harus menjadi lakon dalam
kisah lagu Rhoma. Gelandangan,
Kiamat, dan Gali Lubang Tutup Lubang adalah contohnya. Dangdut menjadi kendaraan
imajinasi dalam usaha meraih supremasi kehidupan yang lebih baik. Dangdut ala
Rhoma juga mengisahkan Islam. Banyak liriknya yang berkisah doa (voice
of Moslem).
Hal itulah yang membuat banyak kalangan
ulama yang merangkulnya. Dakwah lewat lagu dirasa lebih mengena daripada orasi
seratus ulama. Karena itu, kultur musik dangdut yang begitu kuat tersebut
bahkan berpengaruh terhadap visi dan misi Rhoma sebagai calon presiden. Rhoma
menyatakan, visi dan misinya sebagai capres nanti tidak jauh berbeda dari
lirik-lirik lagu dangdut yang selama ini dibawakannya.
Presiden RI?
Perjalanan musik dangdut sekarang justru
tak mampu dikontrol dalam kuasa ideal seperti yang diharapkan Rhoma.
Persentuhan dangdut muthakir adalah kisah tubuh dan sensualitas semata, tak
lebih dari itu. Perdebatan sengit dengan Inul beberapa waktu silam menjadi masa
yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur di
musik dangdut. Panggung-panggung dangdut tanah air begitu banyak menciptakan
ragam goyangan daripada memproduksi lagu dengan judul yang baru.
Era Rhoma dengan gapaian cipta lagu -685
judul- yang monumental pun telah bangkrut. Rhoma kini seolah mengalami
kemandulan dalam mengisahkan Indonesia lewat lagu-lagunya. Jejak-jejak
perjalanan sejarah Indonesia masa kini telah banyak terbuang dalam musik
dangdut. Tidak begitu menarik lagi sebagai sebuah titian ide dan rangsangan
cipta. Rhoma justru disibukkan oleh kisah pelik politik yang berusaha melenakan
dirinya dari dunia musik dangdut mutakhir.
Kini tak ada lagi dentum keragaman
Indonesia, ritus doa, dan kritik sosial dalam musik dangdut. Yang ada kemudian
selebrasi kedangkalan tema. Tidak dijumpai lagi Gelandangan, Begadang, 135 Juta, Judi, atau Monas masa kini. Yang tampak kemudian hanya Belah Duren, Cinta Satu Malam, Keong Racun, Hamil Duluan, Pengen
Dibolongin, dan lagu sejenis lainnya. Dangdut muthakir diwujudkan sebagai
perayaan goyang, bukan lagi cita-cita Indonesia.
Keadaan yang seharusnya menjadi
kesempatan bagi Rhoma untuk kembali meluruskan musik ini sejalan dengan kisah
sejarah yang pernah dibuatnya dulu kala. Artinya, musik dangdut masih
membutuhkan sentuhan perjuangan Rhoma. Sebagai “raja”, tentunya dia memiliki
kuasa dalam legitimasi jalur dangdut masa kini. Sayangnya, hal itu tak terjadi.
Politik telah melenakannya, politik mengalihkan pandangannya, politik memang
cenderung menggiurkan.
Dangdut dalam mengisahkan Indonesia
semakin sayup-sayup tak terdengar seperti sedia kala. Sementara itu, Rhoma
lebih memilih lepas tangan dengan mencari gapaian dunia lain yang dirasa lebih
menggairahkan, puncak kekuasaan politik. Keagungan sejarah musik dangdut
sebagaimana dikisahkan Philip Yampolsky lewat Smithsonian
Folksways (1991) yang menyatakan
dengan jelas bahwa dangdut adalah “musik nasional” Indonesia yang semakin tak
bisa dilacak lagi. Lajur Rhoma dalam musik dangdut seolah hanya menjadi mitos
yang pernah tergores panjang. Rhoma tak harus menjadi presiden
Indonesia. Sebab, tanpa disadari, dia sejatinya sudah menjadi “presiden” di
dunianya sendiri.
Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Sabtu 1 Desember 2012
0 komentar:
Post a Comment