Pengundian nomor urut bagi 10 partai politik (parpol)
peserta Pemilu 2014 menjadi momentum dimulainya pertarungan politik untuk
memperebutkan simpati dan kepercayaan masyarakat. Sebagaimana
diketahui, KPU telah meloloskan 10 parpol, yakni 9 parpol yang telah memiliki
kursi di Senayan (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP,
Hanura, Gerindra dan pendatang baru, Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Meskipun protes partai-partai yang tidak lolos terus berlangsung, namun
penetapan itu sudah dilakukan.
Yang menarik,
justru pasca penetapan 10 parpol peserta Pemilu 2014, sejumlah pekerjaan besar
menyangkut kinerja pejabat negara, penting untuk disoroti. Pejabat negara yang
dimaksud adalah pejabat yang berasal dari parpol (eksekutif dan legislatif).
Pemilu Berkualitas
Sepuluh kontestan pemilu berikut nomornya telah ditetapkan.
Beberapa partai yang gagal mengikuti pemilu masih menggugat ke pengadilan.Tapi,
kinerja KPU patut diacungi jempol. Walaupun sekarang bisa sejenak bernafas
lega, para komisioner harus segera menetapkan tata tertib kampanye yang secara
resmi dimulai 11 Januari lalu.
Sebagian pihak menilai positif sepuluh partai politik peserta
Pemilu 2014.Walaupun hanya ada satu partai politik baru,sepuluh kontestan
merupakan jumlah ideal yang mencerminkan pluralitas bangsa. Penetapan awal
peserta pemilu dan masa kampanye yang panjang diharapkan dapat meningkatkan
kualitas penyelenggaraan dan hasil-hasil pemilu. Masyarakat berkesempatan
menilai dan menguji kualitas calon wakilnya dan program-program yang
ditawarkannya.
Tantangan
Walaupun demikian, optimisme publik akan terselenggaranya
pemilu yang bermutu adalah jalan panjang yang tidak mudah.Agar pemilu yang
berkualitas dapat tercapai, partai politik dituntut mampu menjawab tiga
tantangan.Tantangan pertama, penentuan calon legislatif (caleg) yang memenuhi
harapan masyarakat. Partai politik harus mampu mencalonkan putra/putri terbaik
bangsa untuk duduk kursi DPR dan DPRD.
Tantangan ini tidak mudah terpenuhi karena beberapa hal.
Pertama, skeptisisme dan persepsi negatif masyarakat terhadap kinerja dan
integritas anggota legislatif. Kedua, terbatasnya sumber daya manusia karena
minimnya kader,mahalnya biaya dan rendahnya minat masyarakat untuk menjadi
anggota Dewan.Ketiga, sistem pemilu terbuka dan pragmatisme partai dalam
pencalegan memungkinkan terjadinya ketegangan dan konflik internal partai
karena persaingan internal antar kader dan caleg yang tidak sehat.
Dalam masyarakat yang feodalistis dan paternalistis, figur
caleg merupakan faktor terpenting pendulang suara. Tantangan kedua adalah
program partai untuk Indonesia masa depan. Hampir seluruh kontestan adalah
partai terbuka.Ketika sebagian besar pemilih tidak terlalu fanatik dengan
ideologi, partai politik dituntut mampu menawarkan program-program yang
realistis, masuk akal dan mudah dipahami masyarakat.
Sangat sedikit partai yang memiliki blue-print bagaimana
membangun Indonesia yang bermartabat untuk jangka pendek, menengah, dan
panjang.Partai politik lebih sibuk bagaimana memenangi pemilu, mendapatkan
kekayaan dan kekuasaan. Selama ini partai politik belum mampu membebaskan diri
dari belenggu dan egoisme partai demi kepentingan bangsa dan negara. Tantangan
ketiga adalah biaya yang mahal.
Masa kampanye yang lama jelas akan menguras stamina dan
devisa. Pemilu sangat identik dengan uang. Libido kekuasaan yang tak terbentang
mendorong caleg menggunakan kekuatan uang untuk berbelanja suara. Praktik
politik yang salah dan tidak bertanggung jawab ini sudah balung-sumsum,
berurat-berakar dalam pemilu legislatif dan kepala daerah (pilkada). Untuk
membangun kultur politik yang bermutu, sudah waktunya partai politik dan para
caleg meninggalkan jauh-jauh valuta suara dan bisnis pencalonan.
Netralitas Penyelenggara
Faktor lain yang menentukan pemilu yang bermutu adalah
netralitas dan ketegasan penyelenggara. Secara kelembagaan dan perseorangan
netralitas dan integritas KPU menjadi sebuah keniscayaan. KPU adalah regulator,
fasilitator dan wasit bagi penyelenggaraan pemilu yang bersih,beradab dan
bermutu.Kemampuan KPU dalam membuat regulasi dan konsistensi pelaksanaannya
adalah jaminan terselenggaranya pemilu yang langsung, jujur dan adil.
Pengalaman menunjukkan banyaknya permasalahan pemilu dan
pilkada terjadi karena ketidakberdayaan KPU dan komisionernya dalam membendung
tekanan, iming-iming harta benda, gratifikasi dan barter politik partai dan
para caleg. KPU memang belum sepenuhnya kedap dari intervensi dan bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemilu yang bermutu juga membutuhkan netralitas
birokrasi. Para pegawai negeri adalah aparatur negara yang bertugas menjalankan
roda pemerintahan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Idealitas tersebut sangat sulit dipertahankan karena
kuatnya kekuasaan pejabat eksekutif. Birokrasi tidak berdaya di bawah
kepentingan partai para menteri, gubernur dan bupati/wali kota. Sejak era
otonomi, birokrasi menjelma menjadi agen dan lumbung kekayaan partai politik.
Dengan masa kampanye yang panjang, sangat dimungkinkan terjadinya mobilisasi
dan politisasi birokrasi oleh para menteri, kepala daerah dan pejabat eksekutif
lainnya.
Kekisruhan pemilu potensial terjadi di tangan birokrat yang
tidak netral. Yang juga sangat penting adalah netralitas media massa. Dalam era
informasi dan demokratisasi, media massa adalah pilar demokrasi. Dengan
jangkauan yang luas dan kecepatan yang luar biasa, media massa modern
berpengaruh kuat dalam membentuk opini publik. Media mampu membangun dan
merekayasa karakter dan pencitraan seseorang.Potensi terjadinya distorsi dan
penyesatan informasi serta dominasi partai politik tertentu dalam Pemilu 2014
sungguh luar biasa.
Beberapa partai politik didukung oleh raja media massa yang
menguasai jaringan koran, televisi dan radio.Jika media tidak netral, pemilu
akan kehilangan makna sebagai media pendidikan politik dan momentum membangun
masa depan bangsa yang lebih baik. Peranan partai politik, birokrasi, media
massa, KPU, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat penting untuk terselenggaranya
pemilu yang bermutu.
Seyogianya, masyarakat berpartisipasi aktif dan konstruktif
dalam pemilu wak-tunya, masyarakat memilih para wakilnya dengan cerdas, arif
dan bertanggung jawab. Setelah 16 tahun Reformasi, sekaranglah saatnya bangsa
Indonesia berdiri tegak membangun sistem dan budaya demokrasi berkeadaban,
jujur, dan bersih.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Sabtu, 26/1/2013
0 komentar:
Post a Comment