Kerugian negara selalu
diidentikkan dengan tindakan korupsi karena kekayaan negara milik semua rakyat
di negara itu maka bila terjadi kerugian negara semua rakyat di negara itu akan
merasa dirugikan. Sebaliknya jika terjadi keuntungan negara maka semua rakyat
di negara itu merasa diuntungkan. Kata kata merasa masih sangat subjektif,
belum objektif maka untuk mengkongkritkan subjektif itu masyarakat harus
mengetahui apakah negara dirugikan atau negara diuntungkan dalam satu aktivitas
apapun di negara itu.
Masyarakat
awam tidak mudah mengetahuinya secara pasti. Namun, kini masyarakat sudah
familier dengan kata-kata kerugian negara. Misalnya, pengadaan alat simulasi
roda dua dan roda empat di Korps Lalu Lintas (Korlantas) tahun 2011, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menghitung kerugian negara Rp 100 milyar (Kompas,
5/12/12).
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) resmi menyerahkan hasil audit investigasi proyek Pusat
Olahraga di Hambalang tahap I ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dari hasil audit itu
ditemukan indikasi adanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang
menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 243,6 miliar (Tempo, 7/12/2012)
Kemudian
dua bulan terakhir ini, berita tentang tiga orang karyawan yang bertugas pada
bagian penyaluran kredit Bank Negara Indonesia (BNI) 46 Jalan Pemuda Medan
menjadi tersangka tindakan korupsi diberitakan berbagai surat kabar termasuk
Harian Analisa Medan. Dakwaan jaksa menyebutkan akibat perbuatan mereka
menimbulkan kerugian negara dalam hal ini BNI, Tbk sebesar 117,5 Milliar rupiah
atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu. (Sindo, 8/12/2012)
Informasi
kerugian negara wajib diketahui masyarakat pada satu negara dan Indonesia telah
memiliki beberapa Undang Undang (UU) yang berhubungan dengan informasi tentang
kerugian negara, seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan
Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 14 tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Semua
UU ini memberi akses kepada publik untuk mengetahui kondisi negara, termasuk
anggaran atau kekayaan yang dimiliki negara. Namun, dalam implementasinya masih
lemah sehingga masyarakat masih bingung apakah negara dirugikan atau diuntungkan.
Penyebabnya kurang sosialisasi kepada masyarakat dan masih rendah pengetahuan
masyarakat tentang hukum yang pada satu sisi menguntungkan pihak tertentu.
Indikator Kerugian Negara
Mengetahui
kerugian negara dibutuhkan indikator untuk menyatakan negara dirugikan atau
tidak. Indikator itu ada pada UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, pada pasal 1 ayat (2) berbunyi, “Kerugian Negara/Daerah adalah
kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Menganalisa
pasal 1 ayat 2 UU No. 1 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara tidak sulit
dengan melihat indikasi akar masalahnya, melihat modus dan prosedur kerja yang
dilakukan. Dari tiga indikasi ini akan terlihat apakah ada kerugian negara
akibat selisih harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau akibat
penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke kas negara atau
pengeluaran yang tidak sesuai dengan anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi
atau pihak-pihak tertentu.
Sederhananya
indikasi ini bisa dilaksanakan untuk menghitung kerugian negara dengan merujuk
UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tertulis, “Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.”
Kini
banyak kasus korupsi di Indonesia akibat dari transaksi menggunakan harga tidak
wajar. Menghitung kerugian negara, harga wajar dipakai sebagai pembanding
dengan harga realisasi maka dalam pengadaan barang, kerugian dihitung dari
selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Tindak korupsi sering
terjadi ketika pelepasan aset negara yang terjadi penjualan selisih antara
harga wajar dengan harga yang diterima. Pelepasan aset negara berupa tukar
guling (ruislag), selisih antara harga wajar dengan harga pertukaran (exchange value) tidak sesuai dengan
harga realisasi.
Dalam
proses penyelesaian kasus perdata akan terlihat apakah dari kasus perdata itu
ada unsur pidana dan apakah unsur pidana itu ada tindak korupsi dengan melihat
kasus yang ada berdasarkan UU dan indikator serta fakta yang ada. Bila ini
dilakukan dengan baik maka akan diketahui apakah ada kerugian negara atau
tidak.
Sudah
saatnya masyarakat bisa menghitung kerugian negara akibat dari tindakan yang
dilakukan aparat pemerintah sehingga tidak hanya sekadar mendengar, menerima
sebutan kerugian negara sekian ratus miliar rupiah. Bila masyarakat mengetahui
menghitung kerugian negara maka dapat menilai satu kasus apakah ada tindak
korupsi atau tidak dan mengetahui berapa besar kerugian yang dialami negara
sesungguhnya. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis /10/1/2013
0 komentar:
Post a Comment