Joko Widodo (Jokowi)
pantas didapuk sebagai guru yang sadar lingkungan. Apa yang ia lakukan sebagai
Gubernur DKI patut ditiru oleh pimpinan daerah lainnya, misalnya ketika dia
melantik Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur di tengah-tengah
perkampungan kumuh di daerah Pulo Jahe. Di tengah-tengah rigiditas birokrasi
yang terkesan jauh dari keseharian masyarakat, apa yang dilakukan Jokowi
merupakan angin segar dalam rangka mengembalikan fungsi pemerintah yang
seharusnya memiliki kepekaan lingkungan sekitar.
Dalam perspektif
pendidikan, jelas sekali Jokowi adalah pendukung utama diberlakukannya
pendekatan pembelajaran kontekstual. Di tengah maraknya proses pendidikan yang
lebih didominasi guru sebagai satu-satunya sumber belajar, pembelajaran
kontekstual (contextual-based learning) adalah upaya untuk menumbuhkan
kesadaran guru dan siswa tentang pentingnya membenturkan bahan ajar dengan
kondisi aktual yang terjadi di sekeliling kehidupan siswa.
Tak bisa dihindari bahwa
sistem pendidikan kita sejauh ini masih belum mampu membentuk pengalaman
belajar siswa secara autentik. Banyak aktivitas belajar yang tak membentuk
pengalaman belajar siswa sehingga apa yang diperoleh siswa sering kali tak
bermakna karena tidak berkaitan dan bersumber dari lingkungan siswa itu
sendiri. Hal itu disebabkan kebanyakan guru masih minim dalam menentukan materi
dan pengalaman belajar yang dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa
dan/atau daerah.
Kontekstualisasi
Jokowi
Hasil penelitian John
Dewey (1916) menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik bila apa yang
dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan menyangkut kegiatan atau
peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Karena itu, pembelajaran kontekstual
jelas merupakan tuntutan terpenting dari skenario strategi pembelajaran dalam
rencana kurikulum baru 2013. Dengan kesadaran pentingnya kompetensi sikap (attitude), melihat siswa sebagai subjek
didik merupakan hal imperatif.
Sebagaimana Jokowi, para
guru di ruang kelas sepantasnya memiliki pola pikir yang sama bahwa
pembelajaran bukanlah proses kosong yang berdiri sendiri, melainkan harus
dibenturkan dengan kondisi aktual di sekeliling siswa. Karena itu, kreativitas
guru dalam membangun basis pengalaman siswa melalui proses belajar-mengajar
harus menekankan kemampuan pemecahan masalah. Guru harus memiliki kesadaran
bahwa mengajar merupakan proses pemantauan yang mampu mengarahkan siswa menjadi
pembelajar yang aktif dan terkendali.
Dalam pembelajaran
kontekstual, sangat mungkin bagi setiap guru untuk mengenalkan karakter kerja
sama, saling menunjang, dan menyenangkan dengan menggunakan berbagai sumber
belajar yang terintegrasi satu sama lain.
Itu artinya, bahwa setiap
proses belajar-mengajar harus berkaitan satu dengan lainnya (relating), memberikan pengalaman atau
mengalami (experiencing) yang
dilanjutkan dengan bagaimana cara menggunakan atau menerapkannya (applying). Strategi dasar pembelajaran
kontekstual ini jelas membutuhkan kerja sama (cooperating) antara guru dengan guru, guru dan siswa, serta
antarsiswa, agar terjadi proses peralihan ilmu (transferring) dengan cara yang
natural. Artinya, setiap guru harus meyakini bahwa pendidikan merupakan proses
yang harus terus berlangsung, tidak berhenti pada hasil.
Ajaran
Belajar
Kesadaran terhadap proses
pendidikan dan proses belajar-mengajar yang benar harus bersinergi secara
positif dengan keyakinan setiap guru, yakni menjadikan anak bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Tak cukup hanya dengan, misalnya, menguji mereka dengan
secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar adalah upaya untuk
memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal anak dengan guru,
orangtua, dan lingkungan tumbuh dari pengetahuan yang mereka peroleh secara
benar.
Selain itu, membiasakan
mereka secara terus-menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh
teladan yang tiada henti dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya
kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka
sendiri. Jika para guru kita memiliki visi yang sama dalam menempatkan proses
sebagai unsur paling penting dari sebuah sistem pendidikan, dapat dipastikan
para siswa dan orangtua tak akan pernah takut ketika dihadapkan pada sebuah
ujian.
Bahkan dalam jangka
panjang, proses pendidikan yang benar melalui proses mengalami secara
aktif dan menyenangkan dapat menumbuhkan sekaligus mengembangkan watak anak
untuk menjadi manusia yang fleksibel, terbuka, tegas, toleran, sportif, setia
kawan, berani mengambil risiko, dan memiliki integritas.
Pendek kata, proses
pembelajaran kontekstual adalah upaya untuk menyeimbangkan antara pikir dan
rasa agar masa depan Indonesia terlepas dari petaka kemanusiaan karena
munculnya gejala saling curiga dan tak menghormati perbedaan. Adagium tradisi
dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia hidup saling menghormati
seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan perilaku tak berkeadaban
seperti tawuran antarwarga, warga melawan polisi, sekolah versus sekolah, dan
yang lebih parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.
Jelas sistem pendidikan
kita memerlukan roadmap baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan
saling menghargai. Mungkin baik untuk menimbang pendekatan pembelajaran secara
kontekstual sebagai bagian dari strategi implementasi kurikulum pendidikan kita
yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik.
Dalam praktiknya, semua mata ajar sains, sosial sains, humaniora, dan seni-budaya
harus proporsional diajarkan dengan membenturkan fakta yang ada di sekitar
anak-anak. Itulah hakikat pembelajaran kontekstual yang sesungguhnya.
Tulisan ini dimuat di
Koran Pagi Wawasan, Kamis /3/1/2013
0 komentar:
Post a Comment