Partai
Nasional Demokrat (Nasdem) gonjang-ganjing. Itulah faktanya. Menjelang
dilaksanakan kongres 25-26 Januari mendatang, terjadi konflik pelik di tubuh
Nasdem. Berita mundurnya Hary Tanoesoedibjo (HT) dari jabatan ketua dewan pakar
diikuti mundurnya sekjen partai, Ahmad Rofiq, wakil sekjen, Saiful Haq, dan
ketua dewan pimpinan wilayah (DPW) Jawa Barat, Rustam Effendi, Senin 21 Januari
menunjukkan ada problem internal yang cukup akut dialami partai berlatar
belakang biru itu.
Mundurnya
tokoh-tokoh penting yang telah dikenal luas publik itu dipastikan akan
melemahkan akselerasi politik Nasdem yang diketahui sebagai satu-satunya partai
non-parlemen yang lolos untuk Pemilu 2014. Citra politik dan kekuatan modal
yang besar menjadi salah satu andalan partai yang memakai tagline “gerakan perubahan” itu untuk menjadi partai tiga besar.
Hasil
jajak pendapat (polling) Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Maret 2012 atau
sepuluh bulan sebelum partai ini disahkan sebagai peserta Pemilu 2014
menempatkan Nasdem berada di posisi keempat (5,9 persen) di belakang Golkar
(17,7 persen), PDIP (13,6 persen), dan Demokrat (13,4 persen).
Tentu
hasil survei ini tidak begitu mengagetkan di tengah rontoknya citra
partai-partai parlemen yang dianggap berkinerja buruk, terlibat korupsi, dan
oligarkis dibandingkan populis. Jelas efek mundurnya HT jauh lebih hebat
guncangan dan pengaruhnya dibandingkan mundurnya Sri Sultan Hamengku Buwono X
ketika organisasi ini berubah dari ormas menjadi partai politik.
Kurang
Ideologis
Sejak
awal banyak pihak melihat tujuan hadirnya organisasi Nasdem tidak lain untuk
kepentingan politik praksis dibandingkan menjadi kekuatan sipil (civil society) yang mengawal kekuasaan.
Organisasi ini dibentuk oleh Surya Paloh (SP) pasca-kekalahannya saat
persaingan dalam kongres “Golkar satu triliun” di Riau pada 2009. Naiknya
Aburizal Bakrie dirasa SP menjadi tanda tamat riwayat politiknya di partai
berlambang beringin itu.
Dengan
cepat dan cenderung terburu-buru ia mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan
Nasional Demokrat. Pemberian nama “Nasional Demokrat” dan bukan “Demokrat
Nasional” sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah kata benda majemuk dalam bahasa
Indonesia (kaidah diterangkan-menerangkan atau DM).
Pemilihan
kata “demokrat” dan bukan “demokrasi” juga memperlihatkan partai ini
berorientasi pada subjek dan bukan pada nilai atau wacana politik yang mendalam
dan filosofis. Pemilihan istilah “Demokrat” pun sebenarnya tidak meniru Partai
Demokratnya SBY, tapi Partai Demokratnya Obama di Amerika Serikat. Kritik itu
muncul sejak nama ini pertama sekali diperkenalkan ke publik.
Dengan
modal politik dan ekonomi yang dimilikinya, SP mengembangkan petualangan
politiknya dengan maksud pertama menampung pendukungnya yang anti-Aburizal
Bakrie. Secara cepat, organisasi yang mengampanyekan restorasi Indonesia ini
menjadi kekuatan politik baru dan dikenal luas.
Itu
karena ia menguasai kerajaan media melalui Media Group, sehingga memudahkan
untuk mempromosikan dan mendiseminasi gagasan politik dan kerja-kerja politik.
Kekuatan Nasdem semakin kuat ketika konglomerat media lain, HT dengan jaringan
MNC Group masuk dan menduduki posisi intelektual partai (ketua dewan pakar).
Perpaduan
dua konglomerat media ini diyakini akan mudah melakukan penggiringan wacana
politik sekaligus pembentukan citra partai secara lebih positif. Edmund Burke
menyebutkan kekuatan media massa menjadi pilar keempat demokrasi setelah
representasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Representasi
fakta dan opini melalui media massa dapat memengaruhi kebijakan politik dan
juga ingatan publik. Maka di era posmodernisme saat ini, berpolitik tanpa
menggunakan peran media sama dengan bersikap naif di tengah politik pragmatis.
Dengan
tokoh-tokoh muda berasal dari beragam latar belakang seperti pengusaha,
mantan-aktivis Golkar dan partai lain, mantan aktivis mahasiswa, pekerja media
massa, aktivis LSM, selebritas, dan aktivis perempuan membuat Nasdem menjelma
menjadi impresario harmonis di tengah politik yang semakin kompetitif.
Dengan
partai yang lebih minimal (10 partai) dibandingkan pemilu-pemilu
pasca-reformasi yaitu pemilu 1999 (48 partai), 2004 (24 partai), dan 2009 (38
partai) Partai Nasdem jelas harus bekerja lebih keras membujuk konstituen
dengan karakter pemilih yang semakin apatis dan realistis dengan momen
elektoral.
Namun,
yang menguntungkan adalah meskipun Partai Nasdem kurang ideologis dan aspek
identitas politik tidak cukup khas, popularitasnya tetap terjaga karena
partai-partai lain juga sama-sama lemah kumparan ideologisnya. Partai dengan
warna ideologi dan politik aliran yang eksklusif seperti pada Pemilu 1955, masa
Orde Baru, dan 1999, semakin tidak terlihat di dua pemilu terakhir. Partai pun
tidak lagi memiliki percakapan tentang platform dan ideologi politik yang
mendalam, tapi lebih mengarah pada program-program praksis dan retorika
populer, seperti anti-korupsi, pro-rakyat, partai terbuka, pro-perubahan.
Belajar Dari Sejarah
Perpecahan
yang terjadi di Partai Nasdem tidak dapat dilepaskan dari figur SP yang
terkenal keras hati. Padahal, rekaman sejarah menunjukkan, konflik internal
partai karena adanya sosok orang yang terlalu mendominasi akan menyebabkan
konsolidasi partai secara internal lemah dan pengaruh eksternal ke publik
mengecil.
Keluarnya
Sri Sultan HB X dari Nasdem adalah awal kerugian dari segi modal kultural.
Namun, terlihat SP tidak menyayangkan keluarnya HB X, dan masih bisa mengelola
partainya sehingga tidak terjadi eksodus besar-besaran. Saat ini konflik internal akan lebih hebat,
karena adanya ambisi SP menjadi ketua umum partai menggantikan Patrice Rio
Capella. Memang dari segi figur SP jelas jauh lebih berpengaruh dan populer
dibandingkan ketua umum partai saat ini. Bahkan, dibandingkan partai-partai
medioker lain seperti PKB, PKS, atau Hanura sosok Rio terlihat jauh tidak
populer.
Partai
Nasdem harus bisa belajar dari sejarah. Kasus PAN misalnya, ketika tokoh-tokoh
pendiri seperti Faisal Basri, Goenawan Mohamad, Albert Hasibuan keluar dari
partai yang awalnya dideklarasikan inklusif itu, PAN pun hanya ditakdirkan
menjadi partai menengah.
Faktor
Amien Rais yang terlalu memaksakan PAN menjadi lebih Muhammadiyah menjadi
penyebab utama. Demikian juga ketika PKB pecah karena sikap besar kepala
Muhaimin Iskandar yang tega menggusur seluruh unsur Gus Dur, PKB pun ambruk
popularitasnya pada Pemilu 2009.
Contoh
paling nyata juga terlihat pada Demokrat. Elektabilitas partai pemerintah
pemenang Pemilu 2009 dipastikan akan menurun drastis pada 2014. Salah satu
penyebab karena semakin tersingkir para pendiri di dalam kepengurusan terakhir,
dan di saat yang sama masuknya pemain baru yang kental watak avonturirnya
seperti Ruhut Sitompul, M Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng.
Harus diingat para pendiri lebih lekat napas historis partainya dan lebih
bertanggung jawab dibandingkan para pemain baru yang oportunis.
Ini
yang harus dipastikan SP untuk terus melakukan konsolidasi Partai Nasdem secara
lebih baik pasca-eksodus beberapa pengurus penting itu, agar partai ini tidak
layu sebelum berkembang. Mati pucuk di tengah zaman.
Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis, 31/1/2013
0 komentar:
Post a Comment