Oleh Hamidulloh Ibda
Pengajar di Ngaliyan Institute, Direktur Eksekutif HI Study Centre IAIN Walisongo Semarang
Tak lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK)
kembali membuat keputusan yang mengejutkan dan menetaskan polemik. MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi Pasal 50
Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
terkait dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/RSBI dan Sekolah
Bertaraf Internasional/SBI (Kompas, 9/1/2013). Namun, meskipun RSBI
dihapuskan, pascaputusan MK, semangat untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan
tidak boleh turun.
Konsekuensinya tidak sertamerta papan
nama RSBI dicopot begitu saja dari sekolah. Namun, Kemdikbud harus tetap
berkoordinasi dengan MK dulu soal detail keputusannya itu bagaimana. Hal itu
penting, karena untuk mengkaji ulang keputusan MK yang menghapus RSBI MK
mengabulkan permohonan uji materi atau judicial
review Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tentang
RSBI.
Dengan dikabulkannya permohonan uji
materi ini, secara otomatis, penyelenggaraan RSBI dihapus. Keputusan MK
dibacakan langsung oleh Ketua MK, Machfud MD. Lebih lanjut, pemerintah, dalam
hal ini Kemdikbud, masih melakukan singer fan koordinasi dengan MK setelah
keluarnya putusan MK yang mengabulkan gugatan penghapusan RSBI.
Perubahan
Signifikan
Jadi, kelanjutan proses belajar-mengajar
di sekolah RSBI yang kini berjalan masih menunggu putusan Kemdikbud. Meski
demikian, perubahan signifikan akan terjadi pada sistem pendanaan di sekolah.
Sekolah-sekolah bekas RSBI tidak lagi diberi dana hibah atau blockgrant. Sistem hibah ini tetap akan
diberikan kepada sekolah-sekolah secara lebih terbuka melalui sistem hibah
kompetisi seperti yang berlaku di jenjang pendidikan tinggi.
UU Sisdiknas, terutama pasal tentang
RSBI, dibuat tahun 2003, ketika masih kental dengan suasana reformasi. Keinginan
untuk jadi bangsa yang kuat, berkelas internasional, sangat besar, dampak dari
semangat reformasi. Lebih lanjut, sekolah tetap mendapatkan kesempatan mendapat
dana bantuan untuk mengembangkan potensinya, namun tidak lagi berbasis RSBI,
melainkan berbasis kinerja. Kesempatan itu terbuka untuk seluruh sekolah tanpa
memandang status akreditasi. Seleksi akan dilakukan berdasarkan proposal program
yang diajukan sekolah.
Model hibah ini agar mereka tetap dapat
meningkatkan kualitas. Terkait pungutan-pungutan yang selama ini ada di RSBI, perlu
diatur dalam waktu dekat. Bagaimanapun, Kemdikbud butuh transisi sebab sudah
ada program-program yang direncanakan, dan anggarannya pun sudah disahkan di
DPR. Yang jelas, keputusan tersebut tidak akan memengaruhi kualitas pendidikan
di sekolah-sekolah. Karena pada prinsipnya, RSBI itu lahir dari sekolah-sekolah
unggulan.
Kegalauan
Orang Tua
Diakui atau tidak, kegalauan dirasakan
orangtua di sekolah berstatus RSBI atau yang sudah berstatus SBI. Sebab, berdasarkan putusan MK, pemerintah diharuskan
membubarkan RSBI maupun SBI karena dianggap tidak sesuai UUD 1945 dan bentuk
liberalisasi pendidikan.
Perjalanannya
memang panjang. Namun satu hal yang pasti, selalu ada keluhan menyangkut
pungutan. Satu sekolah negeri, mulai tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai SMA,
ada yang telah RSBI maupun SBI. Di dalamnya seperti ada 2 sekolah yang berlainan,
satu sisi RSBI atau SBI dan satu sisi lagi yang benar-benar negeri.
Untuk satu sisi
yang RSBI ataupun SBI, ada pungutan yang jumalahnya jutaan rupiah. Sekolah pun
bertameng Komite Sekolah, yakni pungutan jutaan rupiah itu atas kesepakatan
orangtua siswa yang tergabung dalam komite tersebut. Selalu begitu. Jadi, bila
diprotes banyak orang, sekolah akan selalu berdalih bahwa sekolah tidak ikut
campur karena itu keputusan komite. Padahal, uangnya yang jutaan rupiah dikali
ratusan siswa, bisa mencapai miliaran rupiah yang pasti masuk ke sekolah. Pasti
diterima para guru. Dan uangnya, untuk belasan item. Di antaranya, mulai lantai
berkeramik, proyektor, pendingin ruangan, sampai pagar bagus.
Bila siswa telah
lulus, semua “warisan” itu akan jadi milik sekolah. Tak mungkinlah, siswa
mengambil keramik dan lain sebagainya. Dan
bila ada siswa baru, kembali ada pungutan yang jumlahnya bila ditotal entah
berapa miliar rupiah lagi dan entah untuk apa lagi.
Kini, setelah
muncul keputusan MK, wajar kalau para orangtua siswa resah. Uang sudah keluar
banyak, anak belum lulus, status RSBI atau SBI pun dicabut. Lalu, bagaimana
uang yang telah dikeluarkan orangtua? Bagaimana jawaban sekolah? Apakah sekolah
akan bilang, “Itu kan urusan Komite Sekolah?”
Jika sampai ada
jawaban seperti itu, sungguh naif. Lebih ironi lagi apabila Mendikbud juga
mengatakan dengan nada sama. Padahal. harusnya, tanggung jawab Presiden maupun
Mendikbudlah untuk menyediakan tempat pendidikan yang nyaman. Jika
semua fasilitas itu dibeli rakyat, dalam hal ini adalah orangtua siswa, berarti
selama ini pemerintah dibikin nyaman rakyatnya. Sekarang, tinggal tunggu tanggung jawab Kemendikbud,
apakah akan membikin nyaman sekolah atau akan ada bentuk lain agar rakyatnya
yang tetap membeli ini itu? Mudahan, ada kebijakan yang benar-benar bijak.
Tulisan ini dimuat di Sinar Harapan, 10
Januari 2013
0 komentar:
Post a Comment