Dipublikasikan NU Online
Judul: Agama adalah Penyakit
Penulis : M. Yudhie Haryono, dkk.
Penerbit: Grafika Media
Cetakan: I, November 2011
Tebal: xv+239 Hal, 14,8x21 cm
Harga: Rp. 35.000,00
ISBN: 978-602-19154-0-0
Peresensi: Hamidulloh Ibda*
Agama ketika mati, ia terlahir kembali. Nyawanya semilyar. Sebab, ia diwariskan, diajarkan, dihidupi dan menghidupi manusia. Ia bagai angin yang bergerak, hidup dan memvirusi manusia di mana saja dan kapan saja. Ia juga seperti tumbuhan, bisa mati kapan saja dan di mana saja. Manusia berutang budi pada keberadaannya. Sebab, ia disimpan seperti azimat yang kapan-kapan dikeluarkan untuk perdebatan dan dijadikan obor saat perasaan kegelapan menjelang. Bahkan ia dilaknat juga dipikat (hal iii). Karena itu, agama memang sesuatu luar biasa.
Saat ini banyak sekali kekerasan atas nama agama, terorisme, radikalisme, dan sebagainya. Inilah yang menjadikan agama berubah menjadi “penyakit”. Ia tak melahirkan perdamaian, tapi justru kerusakan. Banyak kekerasan diperlihatkan telanjang atas nama agama. Bahkan, penyakit ini timbul di tubuh agama itu sendiri dan antar agama lainnya.
Agama dan kekerasan
Sebenarnya, agama selalu menyeru perdamaian dan
ketentraman. Di dunia ini, tak ada satu pun agama menyeru “kekerasan” dan
radikalisme. Di dalam buku dijelaskan, bahwa ketika pengikut suatu agama
menjadi fanatik, merasa paling benar dan menyalahkan yang lain, itulah penyebab
agama menjadi penyakit.
Zaman dulu, ketika Nabi Muhammad membawa Islam di
Mekkah, kaum Jahiliyah juga menolaknya dengan kekerasan/perang. Namun, Muhammad
dan pengikutnya tetap setia mempertahankan basis ideologinya, salah
satunya dengan berperang (hal 224). Sampai saat ini, fenomena kekerasan juga
tak kunjung reda, bahkan merajelela. Perang atas nama Tuhan dan agama masih
mengemuka, bom meledak di mana-mana. Padahal, agama selalu berseru pada
kedamaian. Inilah penyebab pemeluk agama menjadi buta tak terarah.
Beberapa tahun terakhir, terorisme menggemparkan
negeri ini. Di media massa selalu menyuguhkan terorisme. Kata terorisme semakin
popular seiring meledaknya bom di beberapa daerah. Karena itu, fenomena ini
melahirkan ketakutan, merisaukan, mengancam tatanan dunia, aksi teror itu
banyak diteliti para sosiolog. Salah satunya Mark Jeurgensmeyer, ia merupakan
guru besar sosiolog dan Direktur Global and International Studies Universitas
California di Santa Barbara, Amerika Serikat.
Di dalam penelitiannya, Mark menggambarkan bahwa
kekerasan atas nama agama bukan salah agamanya. Dalam hal ini, tentu saja agama
tak salah. Sebab, agama selalu mengajarkan kebaikan. Menurut Mark, kekerasan
merupakan respon masyarakat dalam menyikapi masalah politik. Mereka menggunakan
agama sebagai alat mengkritik, dengan memobilisasi kekerasan sebagai
alternatif.
Lalu, bagaimana cara menghentikan kekerasan,
terorisme, radikalisme atas nama agama? Menurut Mark, ada lima skenario yang
bisa menghentikannya. Pertama, power atau kekerasan. Jadi,
kekerasan harus dibalas kekerasan pula. Namun, cara ini dianggap bukan solusi
baik, karena jika kekerasan dibalas kekerasan, pasti timbul kekerasan baru. Kedua,
ancaman pembalasan atau pemenjaraan dengan kekerasan. Sehinnga, mereka takut
melakukan radikalisme. Ketiga, melakukan kompromi/negosisasi dengan aktivis
agama atau ormas agama yang terlibat kekerasan. Dari ketiga cara ini, menurut
Mark juga belum ampuh (hal 226-227). Karena itu, harus ditempuh cara yang lebih
jitu.
Keempat, pemisahan agama dan politik,
serta kembali pada landasan moral. Artinya, politisasi bisa dipecahkan melalui
sekularisasi. Selain itu, pemerintah dan penegak hukum harus menyelesaikan
kekerasan itu. Kelima, penghormatan dan mengembalikan agama pada
hakikatnya. Cara ini harus ditempuh melalui kesadaran pemeluk agama, serta
memahami “substansi agama” yang diyakini masing-masing (hal 228).
Dari lima skenario itu, Mark menjelaskan
kekerasan tak akan reda jika masyarakat, pemeluk agama, dan pemerintah tak
melakukan sinergi bersama (hal 230). Apalagi, saat ini banyak ormas radikal
yang bermunculan, seperti FPI, FUI, dan kelompok radikal lainnya. Karena itu,
pemerintah harus mempertegas Undang-undang Ormas, jangan sampai peran ormas
melampaui peran negara. Pemerintah dan petinggi agama harus
mendekontekstualisasi kekerasan, seperti doktrin perang suci atau jihad. Jika
pemeluk agama di Negara ini menjalankan ajaran dan substansi agama dengan baik,
maka kekerasan pasti musnah, begitu pula sebaliknya.
Substansi Agama
Substansi Agama
Di dalam buku ini, dijelaskan bahwa substansi
agama adalah “bertuhan” dan menjalankan perintahnya. Sesungguhnya, sejak lahir
seluruh agama membawa pesan yang mirip secara seimbang; ketuhanan (tauhid),
kemanusiaan dan lingkungan (hal ix). Sayangnya, dimensi-dimensi tersebut sudah
tak dipegang oleh para pemeluk agama. Maka, tak heran jika kekerasan atas nama
agama selalu menjamur di mana-mana.
Tentu saja kajian dan sikap tauhid itu penting,
karena ia merupakan salah satu untuk menemukan substansi agama. Namun, tauhid
idealnya tak hanya menghasilkan kesalihan ritual (vertikal) tanpa keseimbangan
sosial (horisontal), karena hanya akan membuat agama cacat secara konsepsi.
Jika dibiarkan, maka akan melahirkan “prestasi buruk dalam beragama, berbangsa,
dan bernegara”. Prestasi itu meliputi delapan dosa sosial, 1) agama tanpa
substansi (iklan), 2) kekayaan tanpa kerja keras (korupsi), 3) kolusi, 4)
nepotifsme, 5), pendidikan tanpa karakter, 6) teknologi tanpa humanisasi,
peribadatan tanpa pengorbanan (ritual), 8) perjuangan tanpa pemihakan pada si
miskim/kemubadziran (hal x).
Sudah saatnya umat beragama menjalankan agamanya
sesuai substansi tanpa kekerasan dan prestasi buruk yang menjadikan agama
menjadi penyakit. Agama harus menjadi sumber kesehatan, perdamaian, dan
ketentraman, bukan sumber penyakit. Buku ini membuka wacana kebaragamaan, agar
seluruh umat beragama menjalankan ajaran agamanya secara “kaffah” (menyeluruh)
tanpa memandang bungkusnya, namun juga substansinya. Wallahu a’lam
bisshawab.
* Direktur Rumah Baca Cendekia Semarang
* Direktur Rumah Baca Cendekia Semarang
0 komentar:
Post a Comment