Dalam
pengundian nomor urut partai kontestan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, nomor
tujuh menjadi milik Partai Demokrat (PD) alias partai penguasa. Partai yang
sejauh ini masih menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan elite politik
karena sejumlah kader mereka, seperti Angelina Sondakh dan Muhammad Nazaruddin,
terlibat kasus korupsi. Menurut Ketua Fraksi PD Nurhayati Alie Assegaf, angka
tujuh merupakan angka kramat. Maksudnya kramat ialah alamat Kantor DPP Partai
Demokrat. Secara kebetulan, alamat PD di Graha Kramat VII, Jalan Kramat Raya
146, Jakarta Pusat.
Namun,
terlepas dari klaim alamat kantor, nomor tujuh tidak bisa begitu saja
diabaikan. Di satu sisi, di samping alasan tujuh menjadi nomor tren yang tak
asing didengar dan dilihat dalam keseharian. Contoh sederhana, nomor punggung
pemain sepak bola dunia abad ini, Cristiano Ronaldo, adalah nomor tujuh.
Di
sisi lain, tujuh menjadi gerakan politik melalui angka populer. Gaya politik
tersebut tidak bisa dianggap remeh. Kepopuleran tujuh menjadi daya tarik
tersendiri di saat nomor lain kesulitan menyosialisasikan nomor partai. Namun,
bukan lantas nomor lain tidak bisa bergerak dengan kualitas nomor urut partai.
Seperti angka satu yang menjadi milik Partai NasDem, jargon kebenaran bukan
mustahil akan segera dikampanyekan. Angka satu ialah angka keesaan bagi
penganut monoteisme.
Dalam
banyak hal, tujuh menjadi nomor yang membekas dalam pikiran bangsa ini. Sejauh
pengenalan terhadap angka, tujuh ialah warna pelangi yang berwarna-warni dengan
segala keindahannya. Ekspresi estetika atau keindahan tersebut tak akan pernah
luput dari dunia anak p hingga dunia orangtua. Anakh anak menyebut angka tujuh
amat sering ketika guru menanyakan berapa warna pelangi.
Nomor
tujuh selalu menyimpan rahasia. Tujuh hari dalam sepekan, tujuh lapis langit
dan bumi, tujuh warna pelangi, tujuh rongga tubuh utama, tujuh jam ideal waktu
kerja, 70 tahun usia rata-rata manusia, 70 ribu malaikat penjaga. Tujuh
keajaiban alam tak henti mengundang pesona, pencerahan Isa Al-Masih awal
Masehi, revolusi jahiliah abad ketujuh jazirah Arab. Kini, NKRI akan menapaki
usia 70 tahun pada 2015.
Mitos
“Tujuh”
Kesakralan
nomor tujuh tidak ditemui di Amerika praColumbian, tempat bangsa Maya percaya
pada tujuh lapis langit dan menganggap tujuh sebagai angka penjuru mata angin.
Tujuh penjuru angin yang diyakini masyarakat Amerika kuno sejatinya hendak
menggambarkan keluasan alam ini dengan beragam sudut arah angin.
Suatu
ilustrasi kritis bahwa tujuh penjuru mata angin kerap dipakai PD untuk
melanggengkan kekuasaan mereka. Kredibilitas jilid II SBY sejatinya masih
banyak mengundang polemik dan persoalan yang belum terselesaikan. Namun,
ketidakpuasan publik nyaris tertutupi oleh kebijakan-kebijakan yang setengah
hati.
Di
internal partai, siapa yang akan menduga 20% akan menjadi syarat kontestan
partai Pilpres 2014. Secara konstitusional, memang hal itu sudah menjadi
konsensus. Namun, di lain pihak, justru banyak partai kecil amat dirugikan dan
menjurus ada dugaan intervensi partai penguasa di balik layar untuk
melanggengkan kekuasaan di masa mendatang.
Dalam
tradisi Jawa, ada momen tertentu yang berhubungan dengan angka tujuh. Sebagai
contoh, ketika orang hamil sudah usia tujuh bulan, diadakan selamatan dengan
istilah yang disebut tingkepan. Lalu pada bayi yang telah berusia tujuh bulan,
ada prosesi yang dinamai turun tanah. Persyaratan upacara adat tertentu harus
menggunakan kembang tujuh rupa, mandi tujuh sumur. Juga tentang mitos kekayaan
yang sampai tujuh turunan.
Masa
Depan Suram?
Pertanyaan
kemudian, apa kah angka tujuh akan menjawab bahwa presiden ketujuh akan jatuh
ke PD lagi pada 2014 nanti seiring dengan nomor tujuh milik partai tersebut?
Sebuah teka-teki politik yang tidak semua orang menyadari hal itu.
Ketidaksadaran tersebut memang tak lepas dari gonjang-ganjing politik di negeri
ini.
Silih
berganti kasus korupsi menyelimuti daya kritis bangsa yang dengan sengaja
dipoles demikian oleh elite pemerintahan. Pada titik itu, tujuh akan menjadi
imaji, absurditas, teka-teki, dan misteri politik negeri ini ke depan. Dalam
sisi historis, tujuh dalam imaji bangsa Indonesia amat bermuatan ideologi.
Angka itu tidak semata-mata angka tanpa makna, tetapi bergerak dalam satu
gerakan kolonialisme.
Penulisan
tujuh yang diajarkan guru-guru pada waktu sekolah dasar dengan menggunakan
garis tengah pada hakikatnya merupakan tali atau garis bahwa pengaruh Belanda
harus tetap ada. Penulisan tersebut memang mentradisi sejak zaman kolonial
Belanda. Namun apa yang terjadi saat ini bukan tujuh dengan garis, melainkan
tujuh dalam bentuk tunggal. Tujuh bentuk baru itu ialah tujuh yang secara
identitas ideologikolonial tidak ada, tetapi lebih mencerminkan paradoks
ideologi-politik partai yang sejak saat ini tengah dimulai dan dikumandangkan.
Jadi kritislah.
Nomor
tujuh merupakan misteri bagi PD. Angka itu bisa harum bak semerbak daun tujuh
rupa atau partai tersebut akan kaya selama tujuh turunan dengan melenggangkan
diri di puncak kekuasaan. Konon, ramalan jangka Jayabaya mengingatkan. Enam
dari tujuh satrio berurutan ditafsirkan sebagai Bung Karno, Pak Harto,
Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Tinggal satu lagi satrio piningit
ketujuh, satrio pinandito sinisihan wahyu. Apakah itu nantinya
dari nomor tujuh? Kita lihat saja nanti. Hanya Tuhan yang tahu. (UM)
Tulisan dimuat di Koran Pagi WAWASAN.
Sabtu 9 Februari 2013
0 komentar:
Post a Comment