Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday, 9 February 2013

Memindah Ibu Kota ke Semarang

Wacana mengenai pemindahan ibu kota menarik dikaji ulang. Setidaknya, ada tiga skenario yang diajukan Presiden SBY. Pertama, mempertahankan Jakarta dengan konsekuensi pada pembenahan total atas soal macet, banjir, transportasi, permukiman, dan tata ruang wilayah. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru, atau totally new capital. Sedangkan skenario ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain.
 
Secara historis, Pulau Jawa memang mempunyai potensi multidimensional untuk menjadi pusat pemerintahan. Pada zaman kerajaan, kontinuitas kerajaan-kerajaan di pulau ini relatif terjaga, mulai zaman Hindu Buddha hingga kerajaan Islam. Berbeda dengan di Kalimantan, atau Sumatera yang tak sesubur di Jawa dalam menumbuhkan kontinuitas pemerintahan kerajaan. 
Pada masa Hindia Belanda, awalnya pusat perdagangan VOC berada di Ambon, jantung penghasil rempah-rempah. Karena kurang strategis jika dilihat dari jalur utama perdagangan Asia, pusat perdagangan VOC akhirnya dipindah ke Batavia atau Jakarta sekarang. 
Pemerintah Hindia Belanda pernah merencanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Bandung pada 1906. Sebab, kondisi Jakarta berada di daerah pantai yang rendah sehingga akrab dengan banjir (ya, banjir), dan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare. Bahkan, Gubernur Jenderal Dirk van Cloon pada abad ke-18 meninggal karena penyakit, sebagai dampak dari lingkungan Batavia yang kotor.
Presiden Soekarno juga menggagas pindah ibu kota saat peresmian Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Tampaknya, wacana sekarang yang menggulirkan lagi pemindahan ibu kota ke Palangkaraya masih berdasar atas emosi historis tentang sosok Soekarno, bukan semata dimensi ilmiah seperti geografis, tata ruang dan kota, anggaran, serta hambatan-hambatan lainnya. Keputusan memindahan ibu kota adalah suatu keputusan besar dan memakan biaya yang sangat mahal. 
Jika kita perhatikan beberapa kasus pemindahan ibu kota negara, pertimbangan utama memperhatikan aspek keterpusatan (centrality). Idealnya, ibu kota berada di tengah-tengah wilayah negara sehingga mudah terjangkau bagian lain dari wilayah suatu negara, dan Pulau Jawa bagian dari centrality. Kita bisa mempelajari negeri jiran Malaysia yang menggeser ibu kota barunya tidak jauh dari ibu kota lamanya, dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Selain  menjaga centrality, pergesaran lokasi menghemat biaya pembangunan ibu kota baru.
Pindah Semarang?
Namun, tidak semudah itu di Jakarta. Kondisi daerah satelit Jakarta juga hampir sama permasalahannya dengan kota yang dulu bernama Jayakarta itu. Pergeserannya perlu di luar satelit Jakarta. Yang cukup ideal adalah Semarang. Kota tersebut merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Tampaknya, realistis untuk memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah Semarang dengan daerah penyangga seperti Brebes, Tegal, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka (Jawa Barat).
Secara geo-historis, wilayah Semarang relatif aman karena jauh dari ancaman alam seperti saat Kerajaan Mataram Kuno yang dipindah dari wilayah Jawa Tengah-Jogja ke wilayah Jawa Timur disebabkan adanya faktor alam, yaitu bencana gunung meletus dan gempa bumi. Secara eko-historis, Semarang juga memiliki pelabuhan perdagangan penting di Jawa. Semarang mempunyai letak yang strategis dalam kancah perdagangan di Nusantara, bahkan Asia.
Secara geografis, wilayah tersebut bukan wilayah rawan gempa dan tsunami, jauh dari lempengan gempa di pantai selatan Jawa. Pergeseran pusat pemerintahan dari Jakarta ke Semarang secara transportasi darat tidak mengalami kesulitan. Semarang sejajar dengan Jakarta jika ditarik garis lurus dari pantai utara Jawa. Dalam transportasi udara juga menguntungkan karena bukan wilayah pegunungan.
Secara sosiologis, masyarakat Semarang unik. Hal itulah yang secara sosiologis menguntungkan karena tidak ada ego-etnis sehingga akan lebih mudah menerima pendatang yang multikultural. Hal itu penting agar tidak ada perasaan masyarakatindigenous, yang harus mempunyai privilege nonformal. 
Namun perlu digarisbawahi, pemindahan ibu kota bukanlah proyek coba-coba. Kita bisa melihat Argentina yang berusaha memindah ibu kota negara dari Buenos Aires ke Viedma lewat keputusan Kongres pada 1987. Namun, upaya itu gagal karena tidak siap secara finansial dan ekonomi. Tetapi, ada kisah sukses seperti pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia City yang benar-benar baru pada 1961. Mari dikaji matang-matang
Keberlanjutan pembangunan Jakarta, mesti berubah orientasi. Dari membangun kota menjadi membangun manusia. Fokuskan fungsi Jakarta sebagai pusat bisnis, keuangan, budaya, dan kreatif, serta outlet perdagangan dan industri berkelas dunia.
Bagaimana jik Semarang. Meskipun sudah ada opsi di Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Depok, Bogor, Cianjur, Sukabumi, Tangerang, Serpong, Serang, dan sebagainya. Yang jelas, Semarang menjadi “ikon” di Jawa Tenagh. Jika memang wacana ini dialokasikan di Semarang, maka perlu harus mampu mengemban fungsi politik dan pemerintahan, pendidikan dan teknologi, konservasi, permukiman dan human habitat, kreatif dan wisata, vetening dan pengolahan hasil pertanian, industri dan niaga, serta fungsi logistik, dan penyertanya. (MNF)
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan. Kamis 7 Februari 2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Memindah Ibu Kota ke Semarang Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda