Wacana mengenai
pemindahan ibu kota menarik dikaji ulang. Setidaknya, ada tiga skenario yang
diajukan Presiden SBY. Pertama, mempertahankan Jakarta dengan konsekuensi pada
pembenahan total atas soal macet, banjir, transportasi, permukiman, dan tata
ruang wilayah. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru, atau totally new capital.
Sedangkan skenario ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat
pemerintahan ke lokasi lain.
Secara historis,
Pulau Jawa memang mempunyai potensi multidimensional untuk menjadi pusat
pemerintahan. Pada zaman kerajaan, kontinuitas kerajaan-kerajaan di pulau ini
relatif terjaga, mulai zaman Hindu Buddha hingga kerajaan Islam. Berbeda dengan
di Kalimantan, atau Sumatera yang tak sesubur di Jawa dalam menumbuhkan
kontinuitas pemerintahan kerajaan.
Pada masa Hindia
Belanda, awalnya pusat perdagangan VOC berada di Ambon, jantung penghasil
rempah-rempah. Karena kurang strategis jika dilihat dari jalur utama
perdagangan Asia, pusat perdagangan VOC akhirnya dipindah ke Batavia atau
Jakarta sekarang.
Pemerintah
Hindia Belanda pernah merencanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Bandung
pada 1906. Sebab, kondisi Jakarta berada di daerah pantai yang rendah sehingga
akrab dengan banjir (ya, banjir), dan berbagai penyakit menular seperti malaria
dan diare. Bahkan, Gubernur Jenderal Dirk van Cloon pada abad ke-18 meninggal
karena penyakit, sebagai dampak dari lingkungan Batavia yang kotor.
Presiden
Soekarno juga menggagas pindah ibu kota saat peresmian Palangkaraya sebagai ibu
kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Tampaknya, wacana sekarang yang
menggulirkan lagi pemindahan ibu kota ke Palangkaraya masih berdasar atas emosi
historis tentang sosok Soekarno, bukan semata dimensi ilmiah seperti geografis,
tata ruang dan kota, anggaran, serta hambatan-hambatan lainnya. Keputusan
memindahan ibu kota adalah suatu keputusan besar dan memakan biaya yang sangat
mahal.
Jika kita
perhatikan beberapa kasus pemindahan ibu kota negara, pertimbangan utama
memperhatikan aspek keterpusatan (centrality). Idealnya, ibu
kota berada di tengah-tengah wilayah negara sehingga mudah terjangkau bagian
lain dari wilayah suatu negara, dan Pulau Jawa bagian dari centrality. Kita
bisa mempelajari negeri jiran Malaysia yang menggeser ibu kota barunya tidak
jauh dari ibu kota lamanya, dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Selain
menjaga centrality, pergesaran
lokasi menghemat biaya pembangunan ibu kota baru.
Pindah Semarang?
Namun, tidak
semudah itu di Jakarta. Kondisi daerah satelit Jakarta juga hampir sama
permasalahannya dengan kota yang dulu bernama Jayakarta itu. Pergeserannya
perlu di luar satelit Jakarta. Yang cukup ideal adalah Semarang. Kota tersebut merupakan
ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Tampaknya, realistis untuk memindahkan pusat
pemerintahan ke wilayah Semarang dengan daerah penyangga seperti Brebes, Tegal,
Kuningan, Indramayu, dan Majalengka (Jawa Barat).
Secara
geo-historis, wilayah Semarang relatif aman karena jauh dari ancaman alam
seperti saat Kerajaan Mataram Kuno yang dipindah dari wilayah Jawa Tengah-Jogja
ke wilayah Jawa Timur disebabkan adanya faktor alam, yaitu bencana gunung
meletus dan gempa bumi. Secara eko-historis, Semarang juga memiliki pelabuhan
perdagangan penting di Jawa. Semarang mempunyai letak yang strategis dalam
kancah perdagangan di Nusantara, bahkan Asia.
Secara
geografis, wilayah tersebut bukan wilayah rawan gempa dan tsunami, jauh dari
lempengan gempa di pantai selatan Jawa. Pergeseran pusat pemerintahan dari
Jakarta ke Semarang secara transportasi darat tidak mengalami kesulitan. Semarang
sejajar dengan Jakarta jika ditarik garis lurus dari pantai utara Jawa. Dalam
transportasi udara juga menguntungkan karena bukan wilayah pegunungan.
Secara
sosiologis, masyarakat Semarang unik. Hal itulah yang secara sosiologis
menguntungkan karena tidak ada ego-etnis sehingga akan lebih mudah menerima
pendatang yang multikultural. Hal itu penting agar tidak ada perasaan
masyarakatindigenous,
yang harus mempunyai privilege nonformal.
Namun perlu digarisbawahi, pemindahan
ibu kota bukanlah proyek coba-coba. Kita bisa melihat Argentina yang berusaha
memindah ibu kota negara dari Buenos Aires ke Viedma lewat keputusan Kongres
pada 1987. Namun, upaya itu gagal karena tidak siap secara finansial dan
ekonomi. Tetapi, ada kisah sukses seperti pemindahan ibu kota Brasil dari Rio
de Janeiro ke Brasilia City yang benar-benar baru pada 1961. Mari dikaji matang-matang
Keberlanjutan
pembangunan Jakarta, mesti berubah orientasi. Dari membangun kota menjadi
membangun manusia. Fokuskan fungsi Jakarta sebagai pusat bisnis, keuangan,
budaya, dan kreatif, serta outlet perdagangan dan industri berkelas
dunia.
Bagaimana jik Semarang. Meskipun sudah ada opsi di Subang, Purwakarta, Karawang,
Bekasi, Depok, Bogor, Cianjur, Sukabumi, Tangerang, Serpong, Serang, dan
sebagainya. Yang jelas, Semarang menjadi “ikon” di Jawa Tenagh. Jika memang
wacana ini dialokasikan di Semarang, maka perlu harus mampu mengemban fungsi
politik dan pemerintahan, pendidikan dan teknologi, konservasi, permukiman dan
human habitat, kreatif dan wisata, vetening dan pengolahan hasil pertanian,
industri dan niaga, serta fungsi logistik, dan penyertanya. (MNF)
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi
Wawasan. Kamis 7 Februari 2013
0 komentar:
Post a Comment