Jakarta-Puluhan. Bahkan ratusan orang mencari
nafkah di Kota Tua, Jakarta. Mulai dari menjual baju, asesoris, makanan,
minuman, oleh-oleh jajan, menyewa baju, sepeda, pertunjukan kuda lumping, band,
mengamen, dan lain sebagainya. Akan tetapi, aktivitas di Kota Tua, Jakarta yang
sesak, tak meredupkan semangat para pencari nafkah di sana.
Bangun pagi. Jualan kopi. Mangkal.
Berkeliaran di tempat strategis untuk menjual kopi dan beberapa rokok, tisu,
dan makanan kecil lainnya. Inilah yang dilakukan Suparmin (43), salah seorang
penjual asongan asal Brebes, Jawa Tengah.
Bersama koleganya, Agus Santoso (38), penjual
asal Brebes ini selalu menjual kopi setiap hari mulai jam lima pagi hingga
pukul 24.00 WIB, bahkan bisa sampai lembur pagi. Suparmin harus bersaing dan
bergerak cepat, agar tidak ketinggalan, kalah saing dari penjual asongan
lainnya.
“Ya, begini Mas, harus siap capek dan lemas.
Karena kalau tidak jualan, istri dan anak kami makan apa?” Maka saya juga harus
banting tulang untuk hidup di Jakarta”, ujar Parmin saat saya wawancarai.
Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan
sebutan Batavia Lama (Oud
Batavia), adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta.
Wilayah khusus ini memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara
dan Jakarta Barat
(Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka).
Di
balik gemerlap kota, lokasi Kota Tua ini penuh dengan “gembel” dan tempat
kumuh. Itu terlihat jelas saat saya datang ke lokasi Kota Tua pada Sabtu, (16/02)
dengan beberapa reporter Citanews.com.
Sehari
penuh, hasil dari jualan saya mendapatkan uang sekitar Rp.100.000 hingga
Rp.200.000. Itu juga masih dipotong untuk uang sewa peralatan, setoran ke bos,
dan untuk bayar preman. Inilah curhatan Suparmin kepada kami.
“Namun,
saya tetap bisa hidup dari sini, Mas. Mau tidak mau, saya harus jualan kopi,
karena tidak memiliki jaringan ijazah,” kata Parmin.
Dengan
jumlah istri satu, dan dua anak yang sekolah di SD, Parmin harus menghasilkan
uang minimal dua ratus ribu rupiah. “Itu pun masih kurang, Mas. Banyak sekali
kesusahan yang selama ini saya alami. Namun, Alhamdulillah, meskipun kesusahan
saya bis bertahan di Ibu Kota ini,” ungkapnya.
Demikian
wawancara kami dengan seorang penjual kopi. Meskipun mereka kesusahan, namun
mampu bertahan di kota Jakarta yang sangat kejam.
0 komentar:
Post a Comment