Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday, 9 February 2013

Republik Darurat Nasional?



Dipublikasikan SUAR Okezone


Judul Buku : Republik Darurat Nasional
Penulis : M. Yudhie Haryono, Ph.D
Editor : Eduardus Lemanto dan Sayono Eljawie
Penerbit : Kalam Nusantara
Ukuran : 13,5 x 20cm, 180 halamanng
 

Sebuah menjadi kewajiban kaum intelektual untuk selalu berjuang, mengubah, bahkan merevolusi bangsa ini. Mahasiswa selalu menjadi tumpuan rakyat, lewat ide dan gerakannya ia mampu menentang, yang akhirnya bisa mengubah kondisi Republik ini.
Merdeka atau menang? Traktat ini merupakan verbalisasi pengalaman keterceburan dan pergulatan teoritis saya dalam waktu yang tidak singkat menghadapi pergolakan, benturan, turbulensi, dan fluktuasi politik-ekonomi yang menerpa negeri ini. Selama dua belas tahun, (ide) buku ini bergerak dari satu kampus ke kampus lain untuk meneriakkan perlawanan terhadap rezim yang mendewakan politik-ekonomi neoliberal. Pergumulan itu dimulai dari gerilya-gerilya perlawanan terhadap rezim Firaun Soeharto hingga keruntuhannya tahun 1998.

Pergulatan pun tidak berhenti di sini karena toh nongolnya wajah-wajah baru di kursi kekuasaan pasca-Reformasi 1998 seperti Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata masih mengidap penyakit yang sama dan bahkan muncul sebagai pengelola dan pemeluk neoliberal yang lebih sangar.
Pernyataan ini tentunya bukan ekspresi perasaan sentimentil maupun emosional belaka. Tidak ada cara lain untuk membuktikannya selain menyaksikan realitas terkaparnya ekonomi akar rumput. Kelaparan, pengangguran, perdagangan manusia (perhatikan nasib TKI dan TKW) dan menggunungnya persoalan politik-ekonomi dan kemanusiaan di negeri ini merupakan bukti kegagalan strategi, mental dan sikap pemerintah dalam mengelola negara.
Persoalan-persoalan tersebut harus dikaji ulang dengan sistem politik-ekonomi konstitusional yang sudah lama dianaktirikan; sementara neoliberal dianakemaskan. Karenanya, sebagaimana didesain untuk pegangan kaum muda merebut kekuasaan, naskah ini mulai disusun, disebarkan, didiskusikan serta diedit ulang untuk menjadi buku pegangan revolusi. Singkatnya, untuk tidak mengurangi validitas teoritis dan fakta yang disodorkan maka data, angka, isu dan isinya dikaji secara terus menerus supaya lebih mendalam dan semakin tajam.
Perlu digarisbawahi bahwa ”revolusi dan kaum muda” dalam tulisan ini tidak hendak memberi batasan pada gerakan fisik (demonstrasi) dan umur belaka tetapi juga merupakan revolusi paradigma politik-ekonomi dari neoliberal ke politik-ekonomi konstitusional. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa neoliberal telah gagal, tidak cocok dan bahkan cenderung destruktif untuk diterapkan di negeri ini. Mengapa demikian? Kesimpulan ini berangkat dari bukti-bukti faktual yang akan ditampilkan dalam bab-bab berikut buku ini.
Tetapi layar besar dari fakta itu adalah buramnya gambar tentang Masyarakat-Negara Sejahtera dan bahkan sebaliknya menampilkan Masyarakat-Negara Sekarat. Situasi ini tentunya menjadi kebalikan telak dari cita-cita besar didirikannya negara ini sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD-45 yang berbunyi”... untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia...”  
Sejahtera di sini dapat dimaknai dalam empat keadaan. Pertama, menunjuk pada keadaan yang baik yaitu kondisi manusia yang makmur, pintar, sehat dan damai. Kedua, menunjuk pada keadaaan keberlimpahan yakni kondisi manusia yang memiliki benda/barang untuk keperluan hidup. Ketiga, menunjuk pada keadaan kemampuan/ketrampilan tertentu yang merujuk pada kondisi manusia yang secara teknikal dapat mengerjakan tugas/bekerja. Keempat, menunjuk pada situasi yang beradab sebagai pembiasaan dari kondisi pemerintahan yang menghasilkan jangkauan pelayanan untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat sehingga mereka mampu menjadi tuan di negeri sendiri.
Di negara maju, kesejahteraan menunjuk pada uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial (subsidi) karena tidak dapat bekerja, atau yang keadaan pendapatannya tidak berkecukupan. Jumlah uang yang dibayarkan biasanya jauh di bawah garis kemiskinan dan memiliki kondisi khusus: seperti sedang mencari pekerjaan atau ketidakmampuan karena cacat fisik atau kewajiban menjaga anak, yang membuatnya tidak dapat bekerja dan tidak menghasilkan uang.
Tentu saja, kesejahteraan (negara maupun masyarakat) merupakan gambaran ideal dan cita-cita semua bangsa. Karenanya, negara yang tak mampu membuat warganya sejahtera dinilai tidak kompeten dan tidak memiliki keabsahan terhadap eksistensi negaranya. Dalam hal ini, pimpinannya harus segera diganti atau bahkan negara tersebut perlu diubah.  Menurut catatan ekonom Edi Suharto (31:2003), “negara disebut sejahtera karena memiliki pembangunan ekonomi (PE) dan pengeluaran sosial (PS) yang tinggi.”  Posisi negara-masyarakat sejahtera umumnya diduduki oleh negara-negara Skandinavia yang menerapkan sistem welfare state murni, seperti Swedia (PE US$26.652–PS 33,1%); Norwegia (PE US$24.924–PS 28,7%); Denmark (PE US$25.150–PS 27,8%); dan Finlandia (PE US$27.527–PS 27,1%). Negara-negara Eropa Barat juga termasuk kategori ini: Belanda (PE US$18.676–PS 28,8); Prancis (PE US$21.105–PS 26,5%); Austria (PE US$20.391–PS 24,5%); Jerman (PE US$23.536–PS 23,5%); dan Inggris (PE US$16.985–PE 22,3%). Juga negara Selandia Baru (PE US$13.020-PS 19,0%).

Jika mengacu pada rumus di atas, menurut Sri Adiningsih (1:2009), “tentu Indonesia (PE US$5.000–PS 3%, dengan APBN 1.800T dari seharusnya 12.000T) belum dapat dikatakan sebagai negara sejahtera meskipun memiliki kekayaan alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang unggul.”  Sebaliknya, bersama Kamboja, Timor-Timur, Piliphina dan Vietnam, kita termasuk negara lemah, bahkan mendekati gagal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kapabilitas manajerial dan integritas para pemegang kebijakan sehingga banyak potensi bangsa yang tidak termanfaatkan dengan maksimal.
Padahal, negara sejahtera seharusnya dapat menjamin setidaknya enam jenis kebutuhan masyarakatnya yaitu pangan, sandang, papan, pekerjaan, kesehatan dan pendapatan yang berlimpah. Singkatnya, “negara berkuasa dan wajib untuk mengembangkan ekonomi masyarakatnya agar terpenuhi enam kebutuhan tersebut.”
Berkaca pada hal-hal tersebut di atas, titik tolak penelusuran kita dalam tulisan ini adalah mencari dan menarik benang merah dari kebertautan dari tiga hal berikut. Pertama, mengapa harus ada revolusi? Jawabannya jelas karena ada hal-hal fundamental yang harus segera diubah demi keselamatan bangsa (rakyat banyak). Kedua, apa yang mau direvolusikan? Bangunan politik-ekonomi neoliberal yang diarsiteki oleh negara-negara imperial dan yang dikagumi oleh kaum tua (rezim-rezim yang sizofrenia dengan neoliberal) telah menghimpit rumah ekonomi akar rumput. Kaum tua ini bahkan bermain dalam air keruh yang diakibatkan oleh sistem-sistem politik-ekonomi liberal tersebut. Ketiga, bagaimana melakukan revolusi itu? Tidak ada cara lain selain menghadapi tubrukan kendaraan neoliberal itu dengan mesin politik-ekonomi konstitusional.
Artinya, negara (pemerintah) harus hadir untuk menyelamatkan (salvator) dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat; bukan malah mencekik rakyat (predator) dengan menerapkan kebijakan elitis yang hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok yakni golongan borjuasi.  
Jadi, suka atau tidak suka, kita tak dapat mengelak dari kompetisi global yang kian brutal; selain menghadapinya. Tetapi perspektif ini memberi isyarat politis bahwa kita harus menggunakan kaca mata skeptisisme dalam persaingan itu dan harus jeli mengintip intrik-intrik di balik sistem politik-ekonomi neoliberal. Hal ini disadari dan diketahui betul oleh John Perkins, Joseph E. Stiglitz dan bahkan oleh para pemimpin di republik ini tetapi sayangnya mereka nampaknya tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu. Hans Morgenthau, misalkan, pernah bilang dalam Politic Among Nations-nya bahwa “the nature of contemporary world politics....Persuasion, then, was tantamount to trickery, compromise meant treason, and the threat of force spelled war”.  Artinya, hubungan ini tidak lebih dari urusan siapa lebih lihai dan licik. Fakta politik-ekonomi semacam ini memaksa kita mengakali dan segera membangun imperium politik-ekonomi nasional yang tentunya lahir dari sebuah gagasan awal berdirinya negara ini.

Harus diakui bahwa bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya belajar dari bangsa lain tetapi harus mampu membuat bangsa lain belajar darinya. Karena itu, kini saatnya kita (kaum muda) membangun imperium baru itu yang tentunya berdiri di atas sebuah cita-cita bersama dengan meniupkan kembali roh baru ke dalam politik-ekonomi konstitusional seperti yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tulisan di atas, saya kutib dari penjelasan M. Yudhie Haryono, Ph.D penulis buku ini. Bagi kaum intelektual, politikus, bangsawan, atau siapa pun yang berani merevolusi negeri ini. Silahkan bacalah buku ini dengan seksama dan ambil esensi dan muatan positif di dalamnya. Saya jamin, anda tidak menyesal dan rugi. Lewat pengetahuan, kita akan mendapatkan pola pikir yang benar, pola pikir yang benar akan melahirkan kesadaran untuk merubah negeri ini yang sedang darurat. Jadi, tunggu apa lagi jika mau merubah dan merevolusi negeri kita ini.

Selain itu, sudah saatnya kaum intelektual di negeri ini melakukan konsolidasi nasional dalam rangka merekonsiliasi keadaan negeri ini. Apa lagi yang kita tunggu? Menunggu tak akan pernah menghasilkan apa-apa. Mimpi bangsa ini harus kita rebut, bukan kita hanya tunggu dan bermimpi.

Peresensi: Hamidulloh Ibda, Master of Training HMI Cabang Semarang, Peneliti Muda di Nusantara Centre Jakarta.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Republik Darurat Nasional? Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda