Dipublikasikan
SUAR Okezone
Judul
Buku : Republik Darurat Nasional
Penulis : M. Yudhie Haryono, Ph.D
Editor : Eduardus Lemanto dan Sayono Eljawie
Penerbit : Kalam Nusantara
Ukuran : 13,5 x 20cm, 180 halamanng
Penulis : M. Yudhie Haryono, Ph.D
Editor : Eduardus Lemanto dan Sayono Eljawie
Penerbit : Kalam Nusantara
Ukuran : 13,5 x 20cm, 180 halamanng
Sebuah menjadi
kewajiban kaum intelektual untuk selalu berjuang, mengubah, bahkan merevolusi
bangsa ini. Mahasiswa selalu menjadi tumpuan rakyat, lewat ide dan gerakannya
ia mampu menentang, yang akhirnya bisa mengubah kondisi Republik ini.
Merdeka atau menang?
Traktat ini merupakan verbalisasi pengalaman keterceburan dan pergulatan
teoritis saya dalam waktu yang tidak singkat menghadapi pergolakan, benturan,
turbulensi, dan fluktuasi politik-ekonomi yang menerpa negeri ini. Selama dua
belas tahun, (ide) buku ini bergerak dari satu kampus ke kampus lain untuk
meneriakkan perlawanan terhadap rezim yang mendewakan politik-ekonomi
neoliberal. Pergumulan itu dimulai dari gerilya-gerilya perlawanan terhadap
rezim Firaun Soeharto hingga keruntuhannya tahun 1998.
Pergulatan pun tidak berhenti di sini karena toh nongolnya wajah-wajah baru di kursi kekuasaan pasca-Reformasi 1998 seperti Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata masih mengidap penyakit yang sama dan bahkan muncul sebagai pengelola dan pemeluk neoliberal yang lebih sangar.
Pergulatan pun tidak berhenti di sini karena toh nongolnya wajah-wajah baru di kursi kekuasaan pasca-Reformasi 1998 seperti Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata masih mengidap penyakit yang sama dan bahkan muncul sebagai pengelola dan pemeluk neoliberal yang lebih sangar.
Pernyataan ini tentunya
bukan ekspresi perasaan sentimentil maupun emosional belaka. Tidak ada cara
lain untuk membuktikannya selain menyaksikan realitas terkaparnya ekonomi akar
rumput. Kelaparan, pengangguran, perdagangan manusia (perhatikan nasib TKI dan
TKW) dan menggunungnya persoalan politik-ekonomi dan kemanusiaan di negeri ini
merupakan bukti kegagalan strategi, mental dan sikap pemerintah dalam mengelola
negara.
Persoalan-persoalan
tersebut harus dikaji ulang dengan sistem politik-ekonomi konstitusional yang
sudah lama dianaktirikan; sementara neoliberal dianakemaskan. Karenanya,
sebagaimana didesain untuk pegangan kaum muda merebut kekuasaan, naskah ini
mulai disusun, disebarkan, didiskusikan serta diedit ulang untuk menjadi buku
pegangan revolusi. Singkatnya, untuk tidak mengurangi validitas teoritis dan fakta
yang disodorkan maka data, angka, isu dan isinya dikaji secara terus menerus
supaya lebih mendalam dan semakin tajam.
Perlu digarisbawahi
bahwa ”revolusi dan kaum muda” dalam tulisan ini tidak hendak memberi batasan
pada gerakan fisik (demonstrasi) dan umur belaka tetapi juga merupakan revolusi
paradigma politik-ekonomi dari neoliberal ke politik-ekonomi konstitusional.
Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa neoliberal telah gagal, tidak cocok dan
bahkan cenderung destruktif untuk diterapkan di negeri ini. Mengapa demikian?
Kesimpulan ini berangkat dari bukti-bukti faktual yang akan ditampilkan dalam
bab-bab berikut buku ini.
Tetapi layar besar dari
fakta itu adalah buramnya gambar tentang Masyarakat-Negara Sejahtera dan bahkan
sebaliknya menampilkan Masyarakat-Negara Sekarat. Situasi ini tentunya menjadi
kebalikan telak dari cita-cita besar didirikannya negara ini sebagaimana
tertulis dalam pembukaan UUD-45 yang berbunyi”... untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia...”
Sejahtera di sini dapat
dimaknai dalam empat keadaan. Pertama, menunjuk pada keadaan yang baik yaitu
kondisi manusia yang makmur, pintar, sehat dan damai. Kedua, menunjuk pada
keadaaan keberlimpahan yakni kondisi manusia yang memiliki benda/barang untuk
keperluan hidup. Ketiga, menunjuk pada keadaan kemampuan/ketrampilan tertentu
yang merujuk pada kondisi manusia yang secara teknikal dapat mengerjakan
tugas/bekerja. Keempat, menunjuk pada situasi yang beradab sebagai pembiasaan
dari kondisi pemerintahan yang menghasilkan jangkauan pelayanan untuk memenuhi
seluruh kebutuhan masyarakat sehingga mereka mampu menjadi tuan di negeri
sendiri.
Di negara maju,
kesejahteraan menunjuk pada uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada orang
yang membutuhkan bantuan finansial (subsidi) karena tidak dapat bekerja, atau
yang keadaan pendapatannya tidak berkecukupan. Jumlah uang yang dibayarkan
biasanya jauh di bawah garis kemiskinan dan memiliki kondisi khusus: seperti
sedang mencari pekerjaan atau ketidakmampuan karena cacat fisik atau kewajiban
menjaga anak, yang membuatnya tidak dapat bekerja dan tidak menghasilkan uang.
Tentu saja,
kesejahteraan (negara maupun masyarakat) merupakan gambaran ideal dan cita-cita
semua bangsa. Karenanya, negara yang tak mampu membuat warganya sejahtera
dinilai tidak kompeten dan tidak memiliki keabsahan terhadap eksistensi negaranya.
Dalam hal ini, pimpinannya harus segera diganti atau bahkan negara tersebut
perlu diubah. Menurut catatan ekonom Edi Suharto (31:2003), “negara
disebut sejahtera karena memiliki pembangunan ekonomi (PE) dan pengeluaran
sosial (PS) yang tinggi.” Posisi negara-masyarakat sejahtera umumnya
diduduki oleh negara-negara Skandinavia yang menerapkan sistem welfare state
murni, seperti Swedia (PE US$26.652–PS 33,1%); Norwegia (PE US$24.924–PS
28,7%); Denmark (PE US$25.150–PS 27,8%); dan Finlandia (PE US$27.527–PS 27,1%).
Negara-negara Eropa Barat juga termasuk kategori ini: Belanda (PE US$18.676–PS
28,8); Prancis (PE US$21.105–PS 26,5%); Austria (PE US$20.391–PS 24,5%); Jerman
(PE US$23.536–PS 23,5%); dan Inggris (PE US$16.985–PE 22,3%). Juga negara
Selandia Baru (PE US$13.020-PS 19,0%).
Jika mengacu pada rumus di atas, menurut Sri Adiningsih (1:2009), “tentu Indonesia (PE US$5.000–PS 3%, dengan APBN 1.800T dari seharusnya 12.000T) belum dapat dikatakan sebagai negara sejahtera meskipun memiliki kekayaan alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang unggul.” Sebaliknya, bersama Kamboja, Timor-Timur, Piliphina dan Vietnam, kita termasuk negara lemah, bahkan mendekati gagal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kapabilitas manajerial dan integritas para pemegang kebijakan sehingga banyak potensi bangsa yang tidak termanfaatkan dengan maksimal.
Jika mengacu pada rumus di atas, menurut Sri Adiningsih (1:2009), “tentu Indonesia (PE US$5.000–PS 3%, dengan APBN 1.800T dari seharusnya 12.000T) belum dapat dikatakan sebagai negara sejahtera meskipun memiliki kekayaan alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang unggul.” Sebaliknya, bersama Kamboja, Timor-Timur, Piliphina dan Vietnam, kita termasuk negara lemah, bahkan mendekati gagal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kapabilitas manajerial dan integritas para pemegang kebijakan sehingga banyak potensi bangsa yang tidak termanfaatkan dengan maksimal.
Padahal, negara
sejahtera seharusnya dapat menjamin setidaknya enam jenis kebutuhan
masyarakatnya yaitu pangan, sandang, papan, pekerjaan, kesehatan dan pendapatan
yang berlimpah. Singkatnya, “negara berkuasa dan wajib untuk mengembangkan
ekonomi masyarakatnya agar terpenuhi enam kebutuhan tersebut.”
Berkaca pada hal-hal
tersebut di atas, titik tolak penelusuran kita dalam tulisan ini adalah mencari
dan menarik benang merah dari kebertautan dari tiga hal berikut. Pertama,
mengapa harus ada revolusi? Jawabannya jelas karena ada hal-hal fundamental
yang harus segera diubah demi keselamatan bangsa (rakyat banyak). Kedua, apa
yang mau direvolusikan? Bangunan politik-ekonomi neoliberal yang diarsiteki
oleh negara-negara imperial dan yang dikagumi oleh kaum tua (rezim-rezim yang
sizofrenia dengan neoliberal) telah menghimpit rumah ekonomi akar rumput. Kaum
tua ini bahkan bermain dalam air keruh yang diakibatkan oleh sistem-sistem
politik-ekonomi liberal tersebut. Ketiga, bagaimana melakukan revolusi itu?
Tidak ada cara lain selain menghadapi tubrukan kendaraan neoliberal itu dengan
mesin politik-ekonomi konstitusional.
Artinya, negara
(pemerintah) harus hadir untuk menyelamatkan (salvator) dengan menerapkan
kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat; bukan malah mencekik rakyat (predator)
dengan menerapkan kebijakan elitis yang hanya menguntungkan sebagian kecil
kelompok yakni golongan borjuasi.
Jadi, suka atau tidak
suka, kita tak dapat mengelak dari kompetisi global yang kian brutal; selain
menghadapinya. Tetapi perspektif ini memberi isyarat politis bahwa kita harus
menggunakan kaca mata skeptisisme dalam persaingan itu dan harus jeli mengintip
intrik-intrik di balik sistem politik-ekonomi neoliberal. Hal ini disadari dan
diketahui betul oleh John Perkins, Joseph E. Stiglitz dan bahkan oleh para
pemimpin di republik ini tetapi sayangnya mereka nampaknya tidak mau tahu atau
pura-pura tidak tahu. Hans Morgenthau, misalkan, pernah bilang dalam Politic
Among Nations-nya bahwa “the nature of contemporary world
politics....Persuasion, then, was tantamount to trickery, compromise meant
treason, and the threat of force spelled war”. Artinya, hubungan ini
tidak lebih dari urusan siapa lebih lihai dan licik. Fakta politik-ekonomi
semacam ini memaksa kita mengakali dan segera membangun imperium
politik-ekonomi nasional yang tentunya lahir dari sebuah gagasan awal
berdirinya negara ini.
Harus diakui bahwa bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya belajar dari bangsa lain tetapi harus mampu membuat bangsa lain belajar darinya. Karena itu, kini saatnya kita (kaum muda) membangun imperium baru itu yang tentunya berdiri di atas sebuah cita-cita bersama dengan meniupkan kembali roh baru ke dalam politik-ekonomi konstitusional seperti yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Harus diakui bahwa bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya belajar dari bangsa lain tetapi harus mampu membuat bangsa lain belajar darinya. Karena itu, kini saatnya kita (kaum muda) membangun imperium baru itu yang tentunya berdiri di atas sebuah cita-cita bersama dengan meniupkan kembali roh baru ke dalam politik-ekonomi konstitusional seperti yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tulisan di atas, saya
kutib dari penjelasan M. Yudhie Haryono, Ph.D penulis buku ini. Bagi kaum
intelektual, politikus, bangsawan, atau siapa pun yang berani merevolusi negeri
ini. Silahkan bacalah buku ini dengan seksama dan ambil esensi dan muatan
positif di dalamnya. Saya jamin, anda tidak menyesal dan rugi. Lewat
pengetahuan, kita akan mendapatkan pola pikir yang benar, pola pikir yang benar
akan melahirkan kesadaran untuk merubah negeri ini yang sedang darurat. Jadi,
tunggu apa lagi jika mau merubah dan merevolusi negeri kita ini.
Selain itu, sudah saatnya kaum intelektual di negeri ini melakukan konsolidasi nasional dalam rangka merekonsiliasi keadaan negeri ini. Apa lagi yang kita tunggu? Menunggu tak akan pernah menghasilkan apa-apa. Mimpi bangsa ini harus kita rebut, bukan kita hanya tunggu dan bermimpi.
Peresensi: Hamidulloh Ibda, Master of Training HMI Cabang Semarang, Peneliti Muda di Nusantara Centre Jakarta.
Selain itu, sudah saatnya kaum intelektual di negeri ini melakukan konsolidasi nasional dalam rangka merekonsiliasi keadaan negeri ini. Apa lagi yang kita tunggu? Menunggu tak akan pernah menghasilkan apa-apa. Mimpi bangsa ini harus kita rebut, bukan kita hanya tunggu dan bermimpi.
Peresensi: Hamidulloh Ibda, Master of Training HMI Cabang Semarang, Peneliti Muda di Nusantara Centre Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment