Pendidikan kita gagal. Mungkin banyak
yang ragu dan percaya dengan ucapan itu. Karena dalam gelegar era Reformasi,
salah satu soal yang di lupakan orang adalah pendidikan. Dalam Reformasi, orang
hanya bicara soal reformasi kehidupan politik dan pemulihan ekonomi. Bahkan
enam tututan Reformasi yang disuarakan mahasiswa pun tidak menyebutkan
pembenahan dunia pendidikan. Padahal kalau dirunut secara mendalam, semua
persoalan yang melanda bangsa Indonesia berakar pada gagalnya sistim pendidikan
Indonesia.
Secara normatif, rezim Orde Baru memang
sudah memberikan perhatian yang cukup terhadap dunia pendidikan. Terbukti dalam
tempo yang tidak terlalu lama setelah konsolidasi Orde Baru, angka buta huruf
sudah bisa ditekan menjadi 15% dengan program Inpres-nya, hampir tidak ada lagi
desa yang tidak memiliki gedung Sekolah Dasar (SD). Bila pada tahun 1973 hanya
60% dari anak-anak Indonesia yang masuk sekolah, pada tahun 1997 hampir semua
anak sekolah. Dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun, program Wajib Belajar
Sembilan Tahun sudah bisa dinikmati hampir 90 persen anak usia sekolah di
Indonesia.
Tingkat pendidikan tinggi juga mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Semua ibu kota provinsi di Indonesia memiliki
perguruan tinggi. Bahkan banyak ibu kota kabupaten juga memiliki perguruan
tinggi. Pada tahun 1997 di Indonesia ada 57 perguruan tinggi negeri dan 1.284
perguruan tinggi swasta. Persoalannya, pendidikan pada zaman Orde Baru ini
bukan melayani anak didik, tetapi rezim Orde Baru. Sistem pendidikan yang
dibangun, bukan sistem yang mempersiapkan pribadi-pribadi yang merdeka.
Status
Quo
Tetapi sistem yang menancapkan kuku
hegemoni. Ini kerena rezim Orde Baru, khususnya Soeharto, sadar betul bahwa
pendidikan adalah sarana efektif untuk mempertahankan “status quo”. Kalau
kita coba menganalisa secara objektif tentang pembangunan bangsa ini, kita
harus berkata bahwa pembangunan nasional ini masih tertinggal jauh dibanding
dengan negara tetangga yang awal mulanya sama-sama sebagai negara berkembang.
Memang ada banyak faktor yang sangat berpengaruh terhadap laju pembangunan itu
adalah faktor pendidikan.
Faktor ini mempengaruhi semua lini
kehidupan. Kegagalan dari pendidikan bangsa ini dapat di lihat dari fenomena
kasuistik. Pada tahun 70-an negara Malaysia mengundang guru-guru dari Indonesia
untuk memberikan pendidikan. Dalam kurun waktu tiga dekade Malaysia mampu
menciptakan sistem pendidikan yang tergolong baik di Asia. Kita bisa melihat
perkembangan tersebut berdampak positif bagi pembangunan masyarakat Malaysia.
Income perkapita mereka yang luar biasa tinggi dibanding negara kita yang sudah
mencapai 1:4.
Mengapa
kita gagal?
Mengapa kita gagal? Sistem pendidikan
kita terlalu terbebani atau sarat dengan beban. Sebagai indikator bisa dilihat
dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, para pelajar tidak
mempunyai kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Kurikulum mendorong
bagaimana seseorang itu menguasai semua aspek pengetahuan.
Dari SD saja anak didik sudah di sodori
sekitar 18 (delapan belas) mata pelajaran. Seakan-akan masyarakat Indonesia
diciptakan untuk menjadi presiden semuanya. Kondisi seperti ini menjadi
masalah, kalau semua mau mengatur, maka siapa lagi yang mau diatur. Ini sistem
pendidikan yang tidak fokus, semua orang dididik menjadi menjadi presiden,
seorang yang mempunyai bakat di bidang olahraga, tetapi di paksa dulu agar dia
memahami sejarah.
Dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia
(SDM), sesuai dengan potensi dan kemampuan generasi muda bangsa perlu adanya
sarana dan prasana yang memadai untuk mengembangkan kreativitas-anak bangsa. Peningkatan
ini juga telah terbukti dengan diberlakukannya otonomi daerah, yang nantinya
diharapkan daerah dapat mengatur daerahnya masing-masing.
Peran
Pemerintah
Terkait dengan otomoni daerah, sekarang
ada peluang untuk mereformasi sistem pendidikan ini. Semenjak diberlakukannya
otonomi daerah, banyak kesempatan bagi masing-masing daerah untuk memperbaiki
sistem pendidikannya sesuai dengan kultur dan geografis daerahnya. Otonomi
daerah memberikan kebebasan untuk mengatur pendidikan mulai jenjang pendidikan
SD sampai dengan jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk
hak, kewenangan, dan kelembagaannya.
Tinggal sejauh mana kemampuan pemerintah
daerah untuk menciptakan kurikulum pendidikan yang kondusif serta
menerapkannya. Sesuai dengan amanat UUD 1945 pendidikan itu adalah untuk semua.
Pendidikan untuk semua mengasumsikan bahwa semua orang berhak mendapat
pendidikan.
Kalau kemudian ternyata pendidikan itu
membutuhkan biaya, padahal tidak semua orang mampu, maka negara wajib membantu
warga negaranya yang tidak mampu itu. Di
Indonesia, kerena melemahnya kemampuan negara untuk memberikan pendidikan
kepada warga negaranya, maka muncul upaya-upaya untuk mengembalikan beban itu
kepada masyarakat.
Pembangun pendidikan di Jawa Tengah,
bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Apa yang menjadi kebutuhan Jateng di
masa mendatang, kebutuhan tersebut harus sudah dapat terbaca pada saat ini.
Dalam hal ini, Jateng mempunyai kekayaan alam yang melimpah, baik itu kekayaan
bumi dan laut, dan tidak menutup kemungkinan adanya emas.
Dengan demikian salah satu tantangan
yang harus dijawab adalah harus dapat memanfaatkan potensi daerah yang ada
secara maksimal. Pemikiran serta kajian ke arah penggalian potensi daerah
tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting dan strategis. Dengan melihat
hal tersebut, maka pendidikan di Jateng, mestinya dapat dipola untuk
kepentingan itu. Jadi dengan demikian pendidikan tidak perlu dengan sarat beban
yang luar biasa.
Pemerintah daerah dengan otonomisasi
memberikan kesempatan pembangunan yang luar biasa terhadap pendidikan. Jangan
ada lagi diskriminasi, baik itu dalam pendidikan, hukum, kesempatan usaha dan
seterusnya. Untuk membangun Jateng yang memiliki kekayaan yang luar biasa
banyak, juga dalam membangun jangan sampai melupakan anak cucu, misalnya
mengambil kesempatan yang tidak positif, seperti memperkaya diri sendiri dan lupa
terhadap keberadaan diri.
Pemerintah juga perlu serius
memperhatikan dengan serius dunia pendidikan. Masyarakat diharapkan mendukung
program yang ada untuk meningkatkan pendidikan, dengan selalu mengawasi anak dalam
belajar dan pergaulannya. Pendidikan di keluarga sangat dibutuhkan dan
lingkungan tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi
Wawasan. Rabu, 6 Februari 2013
0 komentar:
Post a Comment