Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat
di Koran Barometer, 9/3/2013 dan di Radar Banjamasin, 3 Mei 2013
Beranikah
Anas Urbaningrum blak-blakan kepada publik? Karena sebenarnya masih banyak
koruptor yang hinggap di Partai Demokrat. Setelah berstatus tersangka oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi, seharusnya Anas berani mengambil langkah besar
dengan “membongkar fir’aun besar”. Anas harus berani dan tegas membongkar
gerbong koruptor di tubuh Demokrat.
Jika
ditelisik, penetapan Anas sebagai tersangka dalam kasus korupsi merupakan titik
balik yang menandai kejatuhan seorang politikus muda, brilian, berbakat. Anas
mampu mencapai puncak tangga kepemimpinan politik di sebuah partai dalam tempo
sangat singkat. Begitu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Mei
2010. Bahkan, kemenangan Anas dianggap sangat spektakuler karena mampu
mengalahkan calon unggulan yang direstui SBY bintang Anas bersinar cemerlang
dan terus berpendar-pendar menghiasi langit politik Indonesia.
Nasib Anas
Akan
tetapi, masa keemasan Anas berlangsung sangat pendek. Seperti permainan dalam
dramaturgi politik, kejatuhan Anas berlangsung begitu dramatis. Drama kejatuhan
Anas itu mengharubirukan jagat perpolitikan nasional, sama halnya ketika ia
berhasil meraih jabatan prestisius sebagai ketua umum partai yang sedang
memegang kendali kekuasaan.
Sungguh
sayang, drama politik ini sarat dengan ironi karena Anas tersandung kasus
korupsi yang membuatnya cacat moral. Padahal, integritas moral merupakan aspek
paling fundamental bagi siapa pun yang menjadi tokoh publik atau memangku
jabatan publik. Riwayat politik Anas yang penuh ironi berkelindan dengan Partai
Demokrat yang juga sarat dengan paradoks.
Anas
dan Demokrat merupakan fenomena paradoksal dalam praktik perpolitikan nasional,
yang menunjukkan betapa moralitas politik telah tergerus habis tak tersisa.
Paradoks Anas juga para elite politik parpol lain dan Demokrat bertumpu pada
jargon politik yang diusung partai. Demokrat dengan penuh keyakinan menegaskan diri
sebagai partai berbasis tiga nilai esensial: bersih, santun, cerdas.
Karena
itu, seluruh kader partai dan politisi Demokrat dituntut untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai utama dan harus mendasarkan setiap tindakan dan aktivitas
politik mereka pada kredo politik tersebut. Mereka pun selalu merujuk pada
figur SBY sang patron utama dan tokoh sentral partai sebagai citra ideal bagi
segenap kader Demokrat.
Gerbong Koruptor
Sebetulnya,
banyak tunas dan “gerbong koruptor” lain yang hinggap di partai demokrat. Hanya
saja, mereka belum tercium oleh KPK. Inilah yang harus ditindak tegas oleh KPK.
Karena demokrat ternyata juga parpol korup. Jargon politik Demokrat sebagai
partai bersih, santun, dan cerdas sangat jauh panggang dari api hanyalah
“sebatas jargon kosong”. Kredo politik yang diagungkan itu justru dicederai
oleh kader-kader Demokrat sendiri.
Serangkaian
skandal korupsi yang melibatkan politisi Demokrat secara bergiliran menyeruak
ke permukaan, terbongkar sampai ke akar bahkan menembus jantung kepemimpinan
partai. Tidak mengherankan jika di tengahtengah masyarakat muncul sinisme
terhadap Demokrat dengan memelintir jargon politik mereka: korupsi dengan
cerdas dan santun.
Kecerdasan untuk menelikung undangundang dan
peraturan agar tidak terjerat hu kum; kesantunan untuk mengelabui masyarakat
dengan menebarkan citra bersih guna meraih simpati publik. simpati publik.
Saksikan, Demokrat dengan lantang membuat klaim sebagai partai antikorupsi
bahkan sang Ketua Dewan Pembina kerap berpidato berapi-api, yang menegaskan
komitmen dalam pemberantasan dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam praktik
justru bertolak belakang dengan jargon partai dan retorika politik antikorupsi.
Tokoh-tokoh
politik utama yang menempati posisi sentral di kepengurusan partai terlibat
dalam skandal korupsi besar dengan daya magnitude politik demikian kuat. Fakta
keras itu menunjukkan bahwa Partai Demokrat telah melakukan pengelabuan untuk
melunakkan kata penipuan terhadap kepentingan publik yang mendambakan sebuah
tata kelola pemerintahan yang bersih.
Skandal
korupsi beruntun yang melibatkan para elite Demokrat bukan saja telah
menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, melainkan juga memicu
kemarahan publik yang selalu disuguhi perilaku tak terpuji di kalangan politisi
korup. Hal yang membuat publik semakin marah adalah politisi Demokrat terus
menyangkal suatu perbuatan tercela yang sudah sedemikian telanjang.
Mereka
tetap bersikukuh sebagai partai bersih dan memohon permakluman publik karena
pelaku korupsi bukan hanya kader-kader Demokrat. Mereka membuat political excuse bahwa parpol-parpol
lain juga melakukan hal yang sama yaitu korupsi. Itulah yang dilakukan oleh
Dipo Alam salah satu punggawa istana ketika ia me mublikasikan daftar peringkat
kader kader parpol yang terjerat hukum karena terlibat kasus korupsi beberapa
waktu lalu.
Hukum
Tak Tegas
Yang aneh, kegalauan Susilo Bambang
Yudhoyono dalam menyikapi kemelut Demokrat makin mencemaskan. Pernyataannya
yang mengharapkan Anas tak bersalah dalam kasus dugaan korupsi Hambalang, menimbulkan
beragam spekulasi yang negatif. SBY dianggap mulai panik dengan langkah Anas menyeret
nama keluarganya. Disebutkannya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai pihak
yang ikut menerima dana Hambalang membuatnya hilang keseimbangan. Pernyataan
itu bukan saja menunjukkan perubahan sikapnya terhadap Anas, tetapi lebih dari
itu dapat mengancam supremasi hukum.
Dia pula yang meminta KPK menetapkan
status Anas. Setelah Anas ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang yang
diikuti pengunduran diri sebagai ketua umum Demokrat, SBY kemudian berharap
Anas tak bersalah dalam kasus itu. Manuver ini sa-ngat mempertaruhkan
kredibilitasnya. Permintaannya kepada KPK untuk segera menetapkan status Anas
telah menyudutkan lembaga antirasuah itu. Meski sebelumnya pihak KPK telah
menjelaskan profesionalismenya dalam mengusut kasus Hambalang, insiden
bocornya draf surat perintah penyidikan/sprindik mengundang kecurigaan
keterlibatan Istana.
Implikasinya, penetapan Anas sebagai
tersangka dianggap bernuansa politik, dan sejumlah tokoh terjebak offside dengan bersimpati kepada Anas. Cara
SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat menyikapi badai di tubuh
partainya telah mengorbankan banyak hal. Selain merusak kredibilitasnya sebagai
kepala negara, aktingnya bagi Partai Demokrat telah menggiring tokoh-tokoh
antikorupsi seperti Mahfud Md, Din Syamsuddin, dan Anwar Nasution untuk
mendatangi rumah Anas guna bersimpati kepada tersangka korupsi.
Perkembangan tersebut jelas sangat
merugikan persepsi pemberantasan korupsi di negeri ini. Supremasi hukum
yang mulai dibangun lewat kinerja KPK juga terkontaminasi. Terkesan, prinsip
demokrasi yang dijalankan melalui Trias Politica tidak lagi dihormati. Pihak
eksekutif maupun legislatif bisa mengintervensi yudikatif. Padahal, salah satu
tolok ukur sukses demokrasi suatu negara adalah penegakan hukum.
Keadilan terjamin dengan lembaga
yudikatif yang steril dari intervensi pihak mana pun, tak terkecuali dari
presiden yang merangkap petinggi partai. Kita patut khawatir dengan adanya kecenderungan
menempatkan kepentingan partai di atas kepentingan negara. Partai yang
sejatinya hanya sarana untuk mengurus negara menjadi tujuan dari mengurus
negara. Keinginan elite Demokrat untuk mendapat dispensasi KPU dalam pemberkasan
daftar calon anggota legislatif, jelas sikap yang kurang menghargai norma
hukum. Bukankah ini juga berpotensi melemahkan penegakan hukum?
Yang jelas, kita menunggu ketegasan
pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. Kita semua juga menunggu ketegasan Anas
membongkar gerbong koruptor di Demokrat. Beranikah Anas membongkarnya? Kita
tunggu saja. Tuhan tidak pernah tidur.
0 komentar:
Post a Comment