Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday, 12 March 2013

Anas dan Political Harassment



Tragedi di tubuh Demokrat bisa jadi mengkonfirmasi teori elite klasik ala Vilfredo Pareto (1848-1923), bahwa governing elite atau elite yang memerintah dapat berkuasa karena menggabungkan sumber kekuasaan dengan kelicikan sebagai sebuah cara kerja politik. Sekuen teatrikal politik Partai Demokrat setelah monolog kasus Nazaruddin kini telah memasuki episode yang demikian baru dan mengejutkan sejak pertemuan Majelis Tinggi Partai pada tempo hari. 

Lepas dari detail strategi penyelamatan partai, termasuk soal integritas ke DPD malam lalu, poin paling penting dari episode ini adalah pengambilalihan otoritas eksekutif yang ada dalam struktur DPP di bawah Ketua Umum Anas Urbaningrum melalui rejuvinasi kewenangan Majelis Tinggi, sebagaimana dalam pidato Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Februari lalu. Dalam struktur organisasi partai, Majelis Tinggi, yang hanya berwenang pada penunjukan orang di level pusat dan provinsi (AD/ART Partai Demokrat Pasal 13 ayat 5), kini bertransformasi sebagai badan eksekutor dengan kontrol veto hampir pada semua keputusan partai. 
Korban Political Harassment
Satu hasil survei dengan angka elektabilitas satu digit (8,3 persen) kini menjadi early warning system bagi partai sekalipun, secara teoretis, perilaku memilih publik begitu fluktuatif. Apalagi hasil survei sangat mungkin berbeda antarlembaga tergantung metode sampling dan instrumentasi teknisnya di lapangan (bentuk pertanyaan, cara bertanya, dan format kuesioner). Bagi para Sengkuni-merujuk pada diskursus yang dilempar Ketua Umum Anas Urbaningrum (AU) untuk menyebut para pembisik dalam persekongkolan faksi lawannya-survei adalah legitimator absah setelah sidang opini yang diputar di media gagal untuk menelanjangi otoritas dan legitimasi AU sebagai ketua umum partai. 
Kini, dalam posisi seperti ini, AU, yang seolah tak melawan, mampu menciptakan persepsi publik sebagai korban political harassment oleh struktur kekuasaan oligarkis para Sengkuni, dan SBY sebagai Duryodhana. Sekalipun dalam persepsi elite Demokrat SBY adalah seorang savior atau juru selamat, kini, dalam persepsi publik, SBY justru masuk peran antagonistik karena partai menjadi demikian penting daripada publik keseluruhan. Dengan political salvation (penyelamatan politis) terhadap partai secara langsung itu, disengaja atau tidak SBY mengubah dirinya sebagai pemimpin komunitas politik partai daripada komunitas politik bangsa. Akhirnya, periode ini mereplikasi babak pertempuran antagonistik dalam lembaga kepartaian.
Namun, pada saat yang sama, AU sebagai orang tertinggi dalam day to day politics struktur eksekutif partai tetap mendasarkan diri pada hukum positif partai yang berlaku-sebelum pernyataan tersangka tertera dalam surat keterangan KPK. Seolah tanpa urat malu mendapat panggilan bertubi-tubi dalam persidangan para eks pembantunya, seperti Nazaruddin dan Angelina Sondakh, ketua umum dianggap sebagai posisi yang tak secara langsung berurusan dengan proyek-proyek korup pengepul dana partai dan dapur pribadi.
Di sisi lain, jika kesaksian Nazaruddin benar soal invisible hand yang dimainkan AU dalam menjarah uang negara, khususnya untuk merebut kursi ketua umum partai pada 2010, AU dan gerbong politik yang didanainya tak ubahnya sebentuk Kurawa. 
Di dalam glossary pewayangan Jawa, Kurawa adalah gerombolan buto yang bergerak melawan Pandawa di bawah kendali Sengkuni sebagai penasihat Raja Duryodhana. Namun, dalam dramaturgi on air Partai Demokrat, kita menyaksikan Anas memimpin gerombolan Kurawa melawan arogansi Duryodhana yang telah dititahkan oleh para Sengkuni sebagai pembantu dekat dan pembisiknya sebagai savior atau juru selamat bagi partai. Dalam politik, setiap perilaku, termasuk diam dan tunduk, adalah bagian dari usaha perebutan kekuasaan karena elite behavior tak lepas dari power seeking oriented
Pada saat yang sama, SBY adalah makhluk politik layaknya gagasan filsuf politik kontemporer Hannah Arendt (1906-1975) bahwa vita activa atau tindakan manusia adalah soal kapasitasnya untuk memperebutkan pengaruh dan menggunakannya sebagai agenda penguasaan sumber daya, seperti jabatan, materi, gagasan, dan martabat. Singkatnya, publik justru disuguhi oleh serial perang antagonistik antara Kurawa dan Duryodhana dalam mawacarita sengkarut faksi dalam partai pemerintah. 
Terkait dengan hal ini, hampir semua sarjana politik sepakat bahwa partai bukanlah sebuah entitas tunggal. Paling tidak, partai adalah sebentuk organ politik dengan beberapa kepentingan yang saling berbenturan di dalamnya. Bahkan, dalam banyak studi, politik intraparty, seperti yang terjadi di Demokrat, jarang dipertontonkan dengan lugas ke publik. 
Dengan nalar kerja kekuasaan yang otoritatif sebagaimana substansi pidato SBY sebagai primus inter pares Demokrat, memang mudah membersihkan partai dari aktivitas korup kader. Namun, sebagai partai dengan spektrum kepentingan kelompok yang luas, akan sulit bagi Partai Demokrat melakukan rekonsiliasi konflik dengan menguburkan narasi demokrasi yang ada di dalam partai.
Tanah Kebebasan
 Selain soal elektabilitas partai yang prospektif karena vote feeding atau kontribusi elektoral oleh kekuatan figur SBY sebagai presiden, pengorganisasi partai yang cenderung demokratis sejauh ini adalah alasan Demokrat menjadi semacam melting pot party. Yaitu, partai yang dilihat sebagai tanah kebebasan bagi siapa pun untuk mengaktualisasi ide dan kepentingan politiknya sehingga mampu menarik kalangan aktivis pergerakan dan militer, pengusaha dan aktvis buruh, serta agamawan dan kelompok liberal. 
Tapi memang, dalam pertarungan antagonistik, komunikasi elite tidak terjadi di dalam ruang-ruang lobi dan bilik-bilik negosiasi empat mata. Sebab, pluralitas kepentingan di dalam politik intraparty seperti yang sedang terjadi di Demokrat adalah sebuah conditio per quam atau kondisi inheren bagi partai sebagai sebuah organisasi kekuasaan-spektrum kepentingan yang luas di tubuh Demokrat sebagai partai gigantis yang menyerap banyak kepentingan sejak didirikan pada 2003-komunikasi elite justru terjadi melalui ruang-ruang publik dalam bahasa-bahasa semiotik dan kadang perseteruan yang sangat eksplisit.
Begitu pun, sebagai partai penguasa, bukan sebuah kebutuhan, apalagi keharusan, bagi Demokrat untuk terus melakukan repetisi publikasi aib politik melalui konferensi pers setelah perundingan dan negosiasi kepentingan. Sebab, dalam pidato SBY yang berisi solusi dan poin-poin strategi political salvation atau penyelamatan politis bagi Demokrat, pesan yang tersurat menyimpan makna bahwa benar telah terjadi pertarungan.
Apa yang terjadi di tubuh Demokrat bisa jadi mengkonfirmasi teori elite klasik ala Vilfredo Pareto (1848-1923) bahwa governing elite atau elite yang memerintah dapat berkuasa karena menggabungkan sumber kekuasaan dengan kelicikan sebagai sebuah cara kerja politik. Akhirnya, ketika sengkarut partai pemerintah menjelma sebagai pertarungan antagonistik, publik bukan lagi sebuah ruled mass atau entitas yang hanya diperintah, melainkan lebih sekadar entitas pasif yang hanya dilihat secara krusial dalam tanggal pemungutan suara.
Sumber: Wawasan, 6/3/2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Anas dan Political Harassment Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda